Konflik Buaya dengan Manusia Sejak Tahun 2023
KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID- Berdasarkan data dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT, sejak tahun 2023, terdapat 15 kejadian akibat dari konflik buaya dengan manusia.
"Jadi, dari ke-15 orang korban yang diserang buaya itu ada lima orang yang meninggal dunia," kata Kepala BBKSDA NTT, Arief Mahmud, Selasa (9/4).
Dijelaskan Arif, kejadian konflik tersebut terbanyak di Pulau Timor dengan jumlah tujuh kejadian, di Pulau Sumba enam kejadian serta Flores dan Lembata masing-masing saty kejadian.
"Khusus di tahun 2024 sejaj Januari hingga April 2024, terdapat dua kejadian konflik yang mengakibatkan satu orang meninggal," ungkapnya.
Menurutnya, interaksi negatif antara satwa liar buaya dengan manusia di NTT cukup tinggi dibanding provinsi lain. Beberapa hari lalu, BBKSDA NTT berhasil menangkap seekor buaya dengan panjang 397 cm.
Buaya jantan itu sangat meresahkan warga di perairan Seribu, Kabupaten Rote Ndao.
Buaya jantan itu kemudian berhasil ditangkap pada 9 April.
"Jadi, setelah ditangkap, buaya itu jugsa sudah dievakuasi ke kandang penampungan sementara di Kupang untuk proses lebih lanjut," jelasnya.
Awalnya, kata dia, pihaknya menerima laporan dari masyarakat terkait munculnya seekor buaya di Perairan Mulut Seribu.
Masyarakat mencatat buaya tersebut beberapa kali terpantau pada tanggal 7 Maret, 22 Maret, dan 2 April lalu.
"Buaya itu sempat menerkam ternak warga berupa kambing dan meresahkan nelayan baik pencari ikan, budidaya rumput laut budidaya lobster serta mengganggu aktivitas masyarakat," ungkapnya.
Staf Resort Suaka Margasatwa Harlu yang berkedudukan di Desa Dalama kemudian melakukan verifikasi laporan serta assesment kondisi lapangan guna memastikan kebenaran laporan dan penyiapan data dukung untuk dilakukannya operasi penangkapan/relokasi buaya.
Kemudian, pada tanggal 6 April lalu, anggota Unit Penanganan Satwa BBKSDA NTT yang ditugaskan kemudian bertolak ke lapangan untuk melakukan upaya penanganan. Tim selanjutnya berkordinasi dengan Kepala Desa Daiama serta warga pelapor.
"Sekira pukul 02.00 Wita hingga pukul 04.00 Wita, buaya itu berhasil ditangkap," ujarnya.
Penyelesaian interaksi negatif ini sebenarnya harus dilakukan dengan memperhatikan akar permasalahan yaitu perbaikan habitat berupa hutan mangrove yang rusak. Selain itu, membatasi aktivitas masyarakat pada kawasan yang diperuntukan sebagai habitat satwa.
Insiden buaya yang muncul di area publik, katanya, dimungkinkan terjadi karena buaya yang mencari habitat baru akibat habitat aslinya yang rusak atau adanya persaingan teritorial yang mengakibatkan individu buaya tertentu harus pindah.
"Kasus tertentu, buaya juga berinteraksi dengan masyarakat saat mereka melintas untuk pindah atau mencari makan," jelasnya.
Solusi jangka pendek yang diambil pemerintah saat terjadi interaksi negatif khususnya pada areal publik atau wilayah yang dekat dengan pemukiman, kata Arief, menangkap dan merelokasinya ke tempat tertentu.
Cukup banyaknya buaya saat ini berada pada penampungan sementara di BBKSDA NTT, perlu dilakukan upaya untuk mengubah masalah menjadi peluang, misalnya dengan dibangunnya fasilitas lembaga konservasi umum yang dimanfaatkan untuk wisata.
"Diperlukan partisipasi para investor untuk memanfaatkan peluang tersebut dengan dukungan pendampingan proses perizinan oleh BBKSDA NTT," ungkapnya.
Kepada masyarakat juga diimbau untuk tidak mengambil langkah sendiri saat terjadinya pertemuan dengan buaya, tidak membuang sisa makanan di laut yang dapat memancing kehadiran buaya serta melaporkan kejadian interaksi negatif buaya melalui Call Center BBKSDA NTT. (r1/gat)