Buah Simalakama Kerja Sama KUB Bank NTT dan Bank DKI
KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Publik terus mendesak Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia Kalake segera menerbitkan surat persetujuan prinsip kelompok usaha bank (KUB) dengan Bank DKI. Posisi Ayodhia pun bagaikan buah simalakama. Ketika menyetujui KUB, maka Bank NTT akan kehilangan kemandiriannya. Namun, jika tidak menyetujui KUB berarti Bank NTT akan turun status menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).
Demikian diungkapkan anggota Komisi III DPRD Provinsi NTT, Hugo Rehi Kalembu kepada Timor Express, Senin (6/5). Hugo menyebut, jika persetujuan kerja sama Bank NTT dengan Bank DKI tak dikeluarkan, maka otomatis Bank NTT akan turun status menjadi BPR. Adapun konsekuensinya, dana transfer umum maupun transfer khusus ke daerah tidak melalui Bank NTT lagi, melainkan akan ditransfer melalui bank himbara, seperti BRI, BNI dan Bank Mandiri.
Selain itu, layanan mobile banking pun juga tak diperbolehkan lagi, layanan bank devisa dicabut, penerimaan pajak dan retribusi daerah pun juga tidak melalui Bank NTT lagi. Semua itu akan berimbas pada PHK atau pemutusan hubungan kerja pegawai Bank NTT secara besar-besaran.
Tetapi, jika persetujuan kerja sama tersebut langsung dikeluarkan tanpa arah perjanjian kerja sama yang jelas, maka Bank NTT dapat kehilangan kemandiriannya.
"Manakala ketentuan buyback saham, jangka waktu kerja sama KUB dan keikutsertaan Bank DKI pada manajemen Bank NTT tidak diatur jelas dalam PKS. Bank NTT akan terus berada di bawah bayang-bayang Bank DKI dan posisi beberapa direksi dan jabatan strategis di bawah direksi bisa jadi diisi oleh Bank DKI dan atau bahkan Dirut Bank NTT bisa diisi oleh Bank DKI," jelas Hugo.
Menurutnya, hal tersebut sudah terjadi pada KUB Bank Jabar Banten (BJB) dan Bank Bengkulu. BJB menyetor Rp 250 miliar dan Dirut Bank Bengkulu pun dijabat oleh personel BJB. Hal tersebut dimungkinkan karena posisi Bank DKI dan BJB sebagai bank induk, sementara Bank NTT dan Bank Bengkulu sebagai bank anak sesuai ketentuan Pasal 5 POJK Nomor 12/POJK.03/2020.
"Menurut informasi yang dapat dipercaya, dalam proses pembahasan PKS mulanya Bank DKI menyetujui adanya klausula buyback saham Pemprov DKI oleh Pemprov NTT, tetapi kemudian dalam negosiasi selanjutnya, mereka menolak. Inilah sinyal yang mungkin saja menyebabkan Penjabat Gubernur NTT masih menimbang-nimbang dengan matang untung ruginya menerbitkan persetujuan prinsip seperti yang didesak banyak pihak," jelasnya.
Adapula pertanyaan mengganjal di hati publik, mengapa Bank NTT seolah dibiarkan dalam kondisi seperti ini? Padahal, lanjut Hugo, sejak terbitnya POJK Nomor: 12/POJK.03/2020, para pemegang saham termasuk pemegang saham pengendali (PSP) sudah mengambil langkah antisipasi yang tepat.
"RUPS pada 26 April 2021 memutuskan agar pemda provinsi dan kabupaten/kota menambah penyertaan modal untuk memenuhi Modal Inti Minimum (MIM) Bank NTT Rp 3 triliun sampai akhir 2024. Bahkan, RUSP sudah menyepakati agar 50 persen dividen tahunan mulai tahun buku 2020 dikembalikan sebagai tambahan penyertaan modal untuk menggenapi MIM secara bertahap," jelasnya.
Pemprov sendiri bersama DPRD sudah menyepakati Perda Perubahan Nomor 3/2022 tentang Penyertaan Modal ke Bank NTT dengan rincian alokasi per tahun. Tahun 2021 Rp 85 miliar, tahun 2022 Rp 92,087 miliar, tahun 2023 Rp 92 miliar dan tahun 2024 Rp 92 miliar. Pemda kabupaten/kota pun juga sudah menandatangani komitmen tambahan modal per tahun dengan Bank NTT.
"Anehnya, keputusan RUPS ini tidak dijalankan, seolah-olah Bank NTT diarahkan pilihannya pada KUB sebagai jalan keluar terbaik. Dalam rapat-rapat Komisi III dengan Bank NTT dan OJK, Komisi III diyakinkan tak perlu khawatir dengan pemenuhan MIM, karena ada alternatif penyelesaian melalui kerja sama KUB. Ternyata, dalam perjalanan negosiasi pembuatan PKS, baru disadari adanya nuansa take over terselubung, di mana Bank NTT berada pada posisi dilematis. Menjelang 31 Desember 2024, posisi tawar Bank NTT dalam pembahasan PKS KUB akan sangat lemah dan terpaksa menerima butir-butir PKS KUB yang merugikan Bank NTT," terang Hugo.
Dikatakan, inilah buah simalakamanya. Di mana, menyetujui KUB berarti kehilangan kemandirian, tidak menyetujui KUB berarti turun status menjadi BPR.
Menurutnya, masih ada jalan keluar, yakni ada dua langkah yang bisa dipertimbangkan oleh para pemegang saham.
Pertama, persetujuan prinsip PSP Bank NTT haruslah dengan syarat adanya klausula buyback saham, limitasi waktu KUB dan kadar campur tangan Bank DKI pada penentuan personel manajemen Bank NTT.
Kedua, bila ketiga syarat tersebut gagal disepakati dalam PKS KUB, maka kerja sama KUB dengan Bank DKI tak perlu dilanjutkan. Karena itu, RUPS tanggal 8 Mei 2024 hendaknya memfokuskan diri pada upaya untuk mencari alternatif pendanaan melalui beberapa skenario dalam waktu tujuh bulan tersisa dengan mempertimbangkan usul mantan Dirut Bank NTT, Daniel Tagu Dedo dengan beberapa varian.
Pertama, Bank NTT menerbitkan dan menjual obligasi senilai sisa kurang MIM seperti yang pernah dilakukan oleh Bank NTT di bawah kepemimpinan Daniel Tagu Dedo sebagai dirut dan sangat berhasil. Acara launching-nya pun dihadiri juga oleh pimpinan Komisi III saat itu. Kedua, para pemegang saham dapat memutuskan dalam RUPS agar dividen tahun buku 2023 dan 2024 dikembalikan sebagai tambahan penyertaan modal untuk menutup sebagian sisa kurang MIM.
Ketiga, Pemprov NTT dapat melakukan penjadwalan ulang pembayaran cicilan pokok pinjaman PEN sebesar LK Rp 200 miliar dan hanya membayar bunga pinjaman saja dulu sebesar LK Rp 64 miliar. Tentu dengan mengajukan permohonan khusus ke Kementerian Keuangan dan PT SMI.
Keempat, alternatif untuk melantai di pasar modal dapat menjadi pilihan terakhir.
"Jika masih ada kekurangan MIM dengan menjual saham Seri B kepada publik. PSP dapat mengajukan relaksasi kepada OJK dengan rentang waktu satu tahun untuk mempersiapkan Bank NTT masuk ke pasar modal dan menjadi bank initial publik offering (IPO)," tuturnya.
"Waktu kita tidak banyak, dibutuhkan kecepatan, komitmen, kejujuran dan persamaan persepsi di kalangan para pemegang saham, PSP, manajemen Bank NTT dan stakeholder lainnya. Kita menaruh harapan besar pada RUPS Bank NTT pada 8 Mei 2024 agar mengambil keputusan yang tepat dan komprehensif tentang nasib Bank NTT ke depan. Kita harus menghindari catatan sejarah bahwa di zaman kita lah Bank NTT kecintaan dan kebanggaan rakyat NTT menjadi kerdil dan bahkan turun status menjadi BPR," tandas Hugo. (cr1/ays)