Ratusan Siswa NTT Tidak Lulus
KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Ratusan siswa kelas XII dinyatakan tidak lulus saat pengumuman kelulusan SMA dan SMK, Senin (6/5) lalu. Dari total 93.953 siswa SMA dan SMK se-Provinsi NTT peserta ujian, sebanyak 198 siswa diantaranya dinyatakan tidak lulus.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Ambrosius Kodo kepada Timor Express, Selasa (7/5) menyampaikan, untuk SMK, dari total 322 sekolah dengan rincian 165 sekolah negeri dan 157 sekolah swasta, total peserta ujian sebanyak 30.775. Peserta yang dinyatakan tidak lulus sebanyak 94 orang dengan persentase 99,69 persen.
Adapun kabupaten yang persentase kelulusan 100 persen adalah Kabupaten Lembata, Rote Ndao, Nagekeo, Manggarai Timur, Sabu Raijua dan Kabupaten Malaka. Persentase 16 kabupaten lainnya berkisar 98,87 hingga 99 persen lebih.
Untuk SMA, dari total 614 sekolah, di mana negeri sebanyak 394 sekolah negeri dan 220 sekolah swasta dengan total peserta ujian sebanyak 63.178, yang tidak lulus sebanyak 104 orang dengan persentase 99,84 persen.
Adapun 11 kabupaten dengan persentase 100 persen adalah Kabupaten Manggarai Timur, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Nagekeo, Manggarai Barat, Rote Ndao, Lembata, Manggarai, Ngada, Belu dan Kabupaten TTU. Sementara kabupaten lainnya berkisar antara 98,90 hingga 99 persen lebih.
Ambrosius mengatakan, meski bersyukur dengan angka kelulusan yang puluhan ribu tersebut, namun apabila melihat angka 198 yang tidak lulus, masih menjadi perhatian tersendiri. Sebab, masih ada ratusan siswa yang tidak lulus.
Untuk itu, akan dilakukan evaluasi untuk mencari apa penyebab utama dari ketidaklulusan tersebut. Padahal, menurutnya, dengan ujian sekolah ini harusnya peluang siswa lulus terbuka luas apabila memenuhi kriteria saat rapat dewan guru. Misalnya, memenuhi standar nilai rapor dan pertimbangan karakter lainnya.
"Kita tentu akan evaluasi supaya hal ini bisa diupayakan ada perbaikan di tahun akademik selanjutnya, agar sedapat mungkin kita menekan angka ketidaklulusan," katanya.
Ketika ditanya terkait persentase kelulusan tahun 2023 lalu, Ambrosius mengaku belum mendapatkan data.
Ambrosius menekankan ada tiga kriteria atau fokus pendidikan NTT yakni literasi, numerasi dan pendidikan karakter yang menjadi acuan. Karena itu, ia menilai sekolah masih perlu berjuang untuk memastikan kualitas lulusan dapat bersaing di tiga kriteria tersebut ketika melanjutkan ke pendidikan tinggi atau pun dunia kerja.
"Ujung-ujungnya akan diukur ketika mereka bersaing di seleksi masuk perguruan tinggi dengan soal-soal yang terstandar nasional. Berapa output kita, alumni melanjutkan kemana, apakah tes-tes dengan soal-soal terstandar nasional mereka mampu tidak," tegasnya.
Dia berharap agar sekolah memberikan perhatian kepada siswa yang bermasalah secara kehadiran, maupun dari sisi literasi dan numerasi. Ambrosius sangat yakin seberapa mengenalnya guru terhadap siswa mana yang lemah di numerasi, literasi maupun karakter.
"Saya kira mereka (guru) sangat tahu itu. Harus ada perlakuan khusus, pendampingan khusus, bagaimana meningkatkan output, mesti ada pendampingan teristimewa di semester akhir, sehingga begitu siswa selesai, mereka keluar dengan kemampuan yang mumpuni," katanya.
Terpisah, pakar pendidikan dari Undana, Marsel Robot mengatakan, angka ketidaklulusan sebanyak 198 itu tidak siginifikan untuk menunjukkan kualitas pendidikan NTT menurun atau tidak. Sebab, dia melihat yang terpenting adalah kualitas dan bukan soal kuantitas.
Menurut Marsel, adanya Kurikulum Merdeka yang terkesan amburadul tidak menjadi acuan bahwa pendidikan di NTT berkualitas. Sebab, meskipun harus memperhatikan kemampuan siswa, namun ujung-ujungnya harus mengukur kemampuan siswa secara kolektif, padahal cara mengajar tiap guru berbeda, namun cara mengevaluasinya masih sama.
"Menurut saya kurikulum ini masih buruk. Harus ditelusuri mengapa anak itu tidak lulus, jangan sampai ada persoalan administrasi atau masalah lain. Angka ini tidak signifikan," jelas Marsel.
Menurutnya, apabila ditemukan siswa yang memprihatinkan dari segi nilai dan sebagainya, maka guru harus memberikan efek jera. Sayangnya hal itu tidak dilakukan. Pasalnya, dari sisi kualitas guru masih belum meyakinkan.
Banyak guru yang belum memahami bagaimana metode pendekatan terhadap sisiwa. Masih banyak yang menggunakan model-model klasik sehingga bisa menjenuhkan siswa.
"Artinya tidak mengikuti zaman, sekarang orang lebih melihat tiktok daripada cara guru mengajar, karena tiktok lebih akrobatik dalam menyampaikan sesuatu," sambungnya.
Dikatakan, untuk melawan kecenderungan globalisasi atau teknologi, maka guru harus dilatih sedemikian rupa supaya ada pembaharuan dalam model pembelajaran atau metode yang bisa menarik minat siswa.
"Justru itu yang menjadi penekanan daripada ada guru penggerak, guru merdeka dan seterusnya jadi persoalan kualitas guru didalam penguasaan materi dengan metode yang relevan bagi generasi milenial sekarang," jelasnya.
Guru pun harus bisa menjelaskan apa pentingnya materi yang diajarkan kepada siswa. Hal itu agar siswa memahami konteks materi tersebut.
Marsel menyinggung perihal mengukur kualitas lulusan, di mana tidak saja melalui soal berjumlah puluhan nomor, melainkan ada portofolio yang berisi mengenai kompetensi-kompetensi lain yang dimiliki siswa. Misalnya, siswa yang hebat bermain gitar, bermain bola dan sebagainya.
"Justru ujian-ujian seperti itu tidak cukup mengukur kemampuan orang, masih ada ujian-ujian lain. Ujian tulis kecil nilainya, tapi cara berkomunikasi, menulis dan sebagainya itu ujian yang butuh waktu lama," sambungnya.
Terakhir, dia berharap sekolah dapat menekankan lingkungan literatif yang baik kepada siswa dengan disiplin budaya literatif dalam berbagai lini. Sebab dengan literasi, dapat meningkatkan kemampuan siswa seperti analitis, kemampuan memahami, berkomunikasi dan sebagainya. (cr1/ays)