Caleg Terpilih Wajib Mundur saat Maju Pilkada

  • Bagikan
IST RAPAT. Ketua KPU RI, Hasyim Asyari dalam rapat konsultasi rancangan PKPU Pencalonan Pilkada di Komisi II DPR RI, Jakarta, Rabu (15/5) kemarin.

Mundur Usai Disahkan sebagai Calon

Perludem Kritik Cara Kerja KPU Sempat Buat Gaduh

JAKARTA, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Polemik terkait status calon legislatif terpilih pada pemilu 2024 yang maju dalam pilkada 2024 tuntas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akhirnya menetapkan caleg terpilih yang maju dalam pilkada 2024 wajib mundur.

Hal itu disepakati dalam rapat konsultasi rancangan Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan Pilkada di Komisi II DPR RI, Jakarta, Rabu (15/5) kemarin.

Hadir dalam rapat itu pimpinan KPU, pimpinan Bawaslu, pimpinan DKPP, perwakilan Kementerian Dalam Negeri dan anggota Komisi II.

Dengan keputusan itu, rencana sebelumnya dipastikan berubah. Pekan lalu, Ketua KPU Hasyim Asyari sempat merencanakan caleg terpilih yang maju pilkada hanya diwajibkan menyerahkan surat bersedia mundur pascadilantik sebagai anggota DPR. Kemudian, pelantikan dimungkinkan digelar usai hasil pilkada diketahui. Formula itu menuai kritik, karena dianggap mengakali hukum untuk mengakomodir calon pilkada yang kalah agar tetap bisa dilantik sebagai legislatif.

Dalam penjelasannya di DPR kemarin, Hasyim mengatakan kewajiban mundur usai ditetapkan sebagai calon kepala daerah untuk memberikan kejelasan. Termasuk kepastian statusnya. "Jadi agar jelas jalur yang ditempuh, apakah menjadi calon kepala daerah atau jadi anggota DPR, DPD," ujarnya.

Disinggung soal sikapnya yang terkesan tidak konsisten, Hasyim beralasan setiap rumusan norma hukum terbuka ruang diskusi. Jika dalam diskusi ditemukan implikasi dari penerapan norma yang tidak sesuai, maka ada ruang penyesuaian.

Sesuai tahapan, pendaftaran pilkada 2024 digelar pada 27-29 Agustus 2024. Kemudian, penetapan digelar pada 22 September 2024. Nah, begitu ditetapkan sebagai calon pilkada, yang bersangkutan wajib mundur sebagai caleg terpilih.

Dokumen pernyataan mundur, harus disampaikan lima hari usai ditetapkan yang jatuh pada tanggal 27 September. Surat itu, kemudian menjadi basis bagi KPU mengubah surat keputusan terkait caleg terpilih. "Tinggal menunggu partai, siapa yang diusulkan sebagai calon terpilih," imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyentil Hasyim untuk hati-hati dalam berstatment. Jangan sampai, KPU menyampaikan sikap yang memicu polemik. Sebagai pelaksana UU, tugas KPU melaksanakan ketentuan UU. "Kami juga kemarin sudah menegur," ujarnya.

Doli mengatakan, untuk menghindari polemik, norma dalam PKPU diputuskan harus sejalan dengan ketentuan. Adapun jika ada pihak-pihak yang berkeinginan berbeda, dia menilai ruang itu bisa diusulkan dalam revisi UU Pemilu ke depannya.

Ketua DKPP Heddy Lugito meminta penyusunan PKPU harus jelas. Dengan begitu, tidak memicu multi tafsir. Belajar dari pengalaman pemilu 2024 lalu, ketidakjelasan memicu multi tafsir yang bisa bermasalah. "Akhirnya berujung pada pengaduan ke DKPP," ujarnya.

Selain regulasi, KPU harus membuat pedoman pelaksanaan yang mudah dipahami.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, dibatalkannya rencana yang disusun KPU menjadi bukti bahwa ada tindakan penyelenggara pemilu yang bermasalah. "Tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang harus akuntabel, profesional, tertib dan berkepastian hukum," ujarnya.

Apalagi, pernyataan ketua KPU yang belum menjadi sikap resmi lembaga telah mengakibatkan kegaduhan dan keresahan di tengah masyarakat. Baginya, itu masuk kategori melanggar kode etik. "Mestinya KPU tidak melakukan tindakan yang memicu kontroversi, spekulasi dan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat," imbuhnya.

Sebagai pelaksana UU, lanjut dia, KPU harus bekerja sesuai apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Termasuk pula putusan Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, kemarin DPR dan penyelenggara melakukan evaluasi pelaksanaan pemilu 2024. Dalam kesempatan itu, mayoritas anggota sepakat diperlukannya revisi Undang-undang Pemilu. Berbagai persoalan disoroti, mulai dari kecurangan, kelemahan sistem pemilu hingga persoalan teknis.

Anggota Komisi II Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengusulkan pelaksanaan pemilu serentak dievaluasi. Dia menginginkan di 2029 pilpres tidak digabungkan dengan pileg. Usulan itu, bukan tanpa alasan. Selain meringankan secara teknis, pemisahan juga baik untuk meningkatkan kualitas pileg.

"Biar pilegnya nggak tertutup sama pilpres," ujarnya.

Jika dipisahkan, publik akan punya ruang menilai partai. Misalnya dengan menggelar debat antarcaleg atau debat antarpartai.

Anggota komisi II dari Fraksi Demokrat Ongku Hasibuan menyoroti integritas penyelenggara. Di berbagai daerah, dia mengaku menemukan indikasi keberpihakan. Ke depan, Ongku mengusulkan KPU dan Bawaslu berasal dari perwakilan partai politik agar saling mengawasi.

"Karena independen itu cerita kosong, pelaksanaan di lapangan, karena juga dia ada kaitan-kaitan dengan organisasi tertentu yang terafiliasi," ujarnya. (far/jpg/ays)

  • Bagikan