JAKARTA, TIMEX.FAJAR.CO.ID – Presiden Joko Widodo memanggil Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie dan mantan Deputi Bidang Informasi dan Komunikasi Publik Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro, Rabu (16/5) lalu. Keduanya diberikan jabatan sebagai staf khusus presiden.
Padahal, masa jabatan Jokowi tinggal lima bulan lagi. Kabar Grace dan Juri ditunjuk sebagai staf khusus presiden datang dari Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana. Penugasannya pun langsung hari itu juga atau setelah mereka dipanggil.
“Bapak presiden berturut-turut menerima bapak Juri Ardiantoro dan ibu Grace Natalie ke Istana Merdeka. Mereka berdua dipanggil untuk mendapatkan penugasan sebagai Staf Khusus Presiden RI,” katanya.
Sayangnya, ketika Rabu (16/5) Jawa Pos (grup Timex) menghubungi Ari untuk menanyakan bidang apa yang akan dipegang Grace dan Juri, dia tidak menjawab. Grace sendiri malu-malu mengakui jabatan barunya. Seusai bertemu Jokowi, dia sempat memberikan pernyataan bahwa mendapat penugasan dari Kepala Negara. Dia bertemu Jokowi ditemani Mensesneg Pratikno.
“Nanti kalau sudah bisa dishare, saya izin dulu,” katanya ketika ditanya tugas apa yang akan diemban.
Keputusan Jokowi yang memanggil dua orang untuk dijadikan stafsus mendapatkan kritik. Grace dan Juri merupakan pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto. Selain itu, PSI selama ini memang dikenal merapat dengan Jokowi. Sebelumnya Sekjen PSI Raja Juli diberikan jabatan sebagai Wakil Menteri ATR/BPN.
Pengamat politik Ujang Komarudin menyebut jika penunjukan Grace dan Juri sebagai aksi bagi-bagi kursi jabatan.
“Suka tidak suka, jabatan Jokowi yang akan selesai lima bulan lagi dimanfaatkan oleh orang-orang dekatnya untuk bisa menjadi staf khusus presiden,” ungkapnya, kemarin.
Menurutnya langkah Jokowi ini tidak elok karena mengangkat orang di akhir jabatannya. Namun presiden punya kuasa dan kewenangan dengan hak prerogatifnya.
“Sebenarnya kalau Jokowi butuh dukungan kinerja, rasanya tidak perlu juga. Selama ini staf khusus sudah berjalan dan tidak ada masalah. Ini soal power sharing saja,” tutur Ujang.
Menurutnya, hak prerogatif presiden ada batasannya. Tidak bisa serta merta menambah jumlah kursi jabatan atau sembarangan mengangkat orang. Yang terpenting harus melihat portofolionya.
“Hak prerogatif ini harus bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa dan negara. Harus disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran yang ada,” bebernya. (lyn/jpg/ays)