SURABAYA,TIMEX.FAJAR.CO.ID – Pelaku industri hasil tembakau (IHT) terus menyuarakan keberatan atas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai turunan dari Undang-Undang nomor 17 Tahun 2023. Mereka merasa bahwa RPP itu belum punya dasar yang kuat. Pemangku kepentingan pun mengusulkan agar pasal mengenai tembakau dipisahkan dari RPP kemudian dikembangkan menjadi aturan tersendiri.
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur (Jatim) Anik Maslachah menjelaskan, diskusi yang dilakukan bersama dengan pelaku industri terus dilakukan seiring dengan proses pematangan RPP Kesehatan di tingkat pusat. Dia sadar dengan keluhan dari banyak pelaku IHT yang merasa aturan itu bertepuk sebelah tangan.
“Saya sadar pentingnya sebuah peraturan di berbagai aspek. Namun, jangan sampai sebuah regulasi malah menciptakan instabilitas,’’ paparnya di sela Rembug Tembakau di Surabaya kemarin (19/5).
Hal itu mengacu kepada beberapa laporan yang meneliti bagaimana dampak dari pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan. Contohnya, jumlah rokok per kemasan yang bakal dibatasi menjadi minimal 20 batang per rokok. Aturan tersebut juga melarang cairan nikotin selain dengan kemasan 10 dan 20 mililiter per kemasan.
“Potensi kerugian akibat RPP itu bisa capai Rp 103,08 triliun. Kami jelas berkepentingan karena cukai hasil tembakau itu merupakan sumber penerimaan negara terbesar di Jatim yang diterjemahkan melalui dana bagi hasil,’’ paparnya.
Karena itu, dia merasa bahwa skema terbaik adalah melepaskan pasal tentang tembakau dari RPP Kesehatan. Lalu, isu tersebut bisa dikembangkan menjadi aturan independen.
’’Harusnya bisa diteliti lebih jauh lagi. Yang paling penting, pembahasannya mengundang semua stakeholder sehingga ketemu titik tengah,’’ tegasnya.
Wakil Ketua Perkumpulan Pengusaha E-Liquid Indonesia (PPEI) Agung Subroto Agung Subroto mendukung usulan itu. Dia menambahkan, sudah seharusnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mempertimbangkan opini dari pelaku industri terkait. Sebab, mereka yang bakal terdampak dari kebijakan tersebut.
Apalagi, kondisi industri rokok elektrik sendiri sebenarnya masih muda. Didominasi oleh usaha menengah dan kecil. Pertumbuhannya cukup besar. Tahun lalu, mencapai 80 persen. Sedangkan, TKDN untuk bahan baku rokok elektrik alias e-liquid hampir 100 persen. “Alatnya yang masih harus diimpor dari Tiongkok,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Industri Wajib Cukai Kadin Jatim Sulami Bahar mengatakan, pelaku usaha sering kecewa dengan kebijakan pemerintah yang tak melihat semua aspek. Misalnya, bagaimana dampak pengetatan kanal penjualan yang menguntungkan rokok ilegal.
“Karena rokok tak boleh lagi didisplay, maka penjualannya pun semakin bersifat rahasia. Di saat yang sama, rokok ilegal yang sejak lama rahasia bisa jauh lebih meluas karena produknya tidak lagi terjadi di pandangan mata,” paparnya. (bil/dio/thi)