Perlu Redistribusi Anggaran Pendidikan 20 Persen
JAKARTA, TIMEX.FAJAR.CO.ID– Polemik kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) disebut bukan hanya tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN). Tetapi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga memiliki peran.
Pengamat kebijakan pendidikan Cecep Darmawan mengatakan, kenaikan UKT merupakan tanggung jawab Kemendikbudristek. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada publik dan mahasiswa. ”Mahasiswa demo di mana-mana ya pemerintahnya diam saja. Yang suruh maju pimpinan perguruan tingginya, terus ke mana pemerintahnya?” cetus dia dalam diskusi bertajuk Nanti Kita Cerita tentang UKT Hari Ini di Jakarta kemarin (18/5).
Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu menilai alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 belum mencukupi. Pasalnya, anggaran tersebut harus dialokasikan untuk berbagai macam keperluan pendidikan.
”Saya lihat redistribusinya enggak bagus. Kenapa? Kalau hitungan anggaran untuk investasi dan operasional perguruan tinggi saja, itu masih kurang 10 persen. Apalagi kalau dibagi dengan anggaran di Kemendikbudristek,” ungkapnya.
Angka tersebut bila dibandingkan dengan bantuan sosial (bansos) Rp 400 triliun masih terbilang kurang. ”Bansos saja Rp 400 triliunan lebih. Ini hanya puluhan triliun untuk perguruan tinggi yang sekian banyak,” sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih meminta anggaran pendidikan tersebut dialokasikan untuk meringankan beban kampus dan mahasiswa. Mengingat, kenaikan UKT di sejumlah kampus sampai mengakibatkan mahasiswa kesulitan untuk kuliah.
Padahal, kata Fikri, berdasar data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Kenaikan UKT yang mencekik itu justru dinilainya akan memperkecil ruang sejumlah kelompok mengakses pendidikan tinggi.
”Tidak semua anak Indonesia mengenyam pendidikan tinggi. Kalau begitu, ya sudah enggak ada diskriminasi, mereka diringankan. Bagaimana caranya supaya APBN 20 persen itu untuk meringankan mereka,” paparnya.
Fikri meminta pemerintah tak lepas tangan atas isu UKT, terutama pada sejumlah kampus berstatus perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH). Meski telah memiliki hak otonom untuk mengelola anggarannya, bukan berarti pemerintah bisa lepas tangan sepenuhnya. ”Jangan bebankan kepada perguruan tinggi dengan alasan PTNBH, lalu tujuannya komersialisasi,” tegasnya.
Komisi X DPR RI segera memanggil Mendikbudristek untuk membahas kenaikan UKT. Mengingat, dalam Peraturan Mendikbud Nomor 2 Tahun 2024 disebutkan, penentuan UKT harus berkonsultasi dan mendapat persetujuan dari Kemendikbudristek.
Sementara itu, Koordinator Aliansi Mahasiswa Menggugat Najib Abdul Mugni Jayakarta mengungkapkan, para mahasiswa berencana kembali turun ke jalan untuk menuntut penurunan besaran UKT. Aksi digelar sebagai buntut kenaikan UKT hingga 50 persen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menurut Najib, aksi lanjutan itu dilakukan lantaran rektor UIN Jakarta hingga kini enggan melakukan audiensi dengan para mahasiswa. ”Sehingga kami akan ada aksi lanjutan untuk menuntut (pembatalan, Red) kenaikan UKT itu,” katanya.
Kenaikan tersebut, terang Najib, mendapat banyak protes lantaran terlalu tiba-tiba. Apalagi, kenaikannya terbilang cukup besar, yakni 30–50 persen. ”Mungkin mereka (mahasiswa baru, Red) juga merasa seperti kaget atau dijebak karena mereka tahunya pasti nominal UKT di tahun sebelumnya,” jelas dia.
Najib menuding pihak kampus dan pemerintah berperan besar atas kenaikan UKT. Hal itu tentu menyedihkan karena pendidikan yang sangat penting malah dinomorduakan.
Seperti diketahui, kenaikan besaran UKT terjadi di berbagai kampus dan memicu gelombang protes. Diawali dengan kasus di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang mendapat penolakan tegas lantaran UKT naik hingga lima kali lipat. Ada pula kasus uang pangkal Universitas Indonesia (UI) yang mencapai Rp 161 juta untuk mahasiswa sarjana dan vokasi jalur seleksi mandiri pendidikan kedokteran.
Di sisi lain, mahasiswa jalur seleksi mandiri juga membayar biaya iuran pengembangan institusi (IPI) yang terbagi menjadi empat kelompok pada tahun akademik 2024–2025. Sebaliknya, hanya ada satu kelompok IPI pada periode sebelumnya. Kasus lainnya terjadi di Universitas Negeri Riau (Unri). Mahasiswa yang berdemo kenaikan besaran UKT malah dilaporkan ke polisi oleh rektor. (mia/c9/fal/thi)