Belum Efektif Jalankan Tugas
KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi NTT masih menunggu pengajuan pengurus baru dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT. Salah satunya adalah sertifikasi yang bukan dari OJK tetapi dari lembaga sertifikasi profesi (LSP).
Kepala OJK NTT, Japarmen Manalu kepada Timor Express di ruang kerjanya, Jumat (31/5) menjelaskan, pergantian komisaris di tubuh Bank NTT akan mulai efektif setelah diajukan semua berkas termasuk sertifikasi ke OJK NTT, lalu akan direview. Jika sudah lengkap, maka OJK NTT akan mengirimkan berkas tersebut ke OJK pusat di Jakarta untuk menindaklanjuti.
"Jadi perlu ditegaskan bahwa kalau berkasnya belum lengkap, maka OJK NTT akan meminta untuk dilengkapi. Setelah semuanya lengkap, akan dikirim ke Jakarta atau OJK pusat yang akan melakukan uji kepantasan dan kepatutan atau UKK," jelasnya.
UKK kata dia, bukan hanya melibatkan orang OJK, tetapi juga melibatkan pihak lain seperti mantan-mantan pimpinan bank umum dan lainnya. Dia berharap agar berkas tersebut segera dikirim agar bisa diproses lebih cepat.
Japarmen menjelaskan, kalau terlalu lama untuk diajukan berkas tersebut, tentunya akan mempengaruhi penilaian terhadap governance. Jadi komisaris utama yang adalah Sekda NTT, Kosmas Lana dan Komisaris Independen, Alo Liliweri belum efektif menjalankan tugas.
Dia berharap tahapan pembentukan kelompok usaha bank (KUB) antara Bank NTT dan Bank DKI bisa segera diproses. OJK terus melakukan komunikasi dan monitor serta terus didorong agar bisa dilaksanakan.
Japarmen menjelaskan bahwa tentang KUB dengan Bank DKI sudah dilakukan evaluasi dan rapat bersama dengan Bank NTT dan memang kinerjanya belum seperti yang diharapkan. OJK selalu memberi perhatian rutin tiga bulan sekali dengan lembaga jasa keuangan.
"Yang namanya jasa keuangan, salah satu yang dilihat adalah laba. Kebetulan laba Bank NTT menurun tajam daripada nanti berkurang kepercayaan masyarakat terhadap bank, mungkin cara pergantian direksi dan komisaris harus dilakukan dan pergantian di sebuah lembaga merupakan hal yang wajar," jelasnya.
Ia mengatakan, per November 2023 lalu, komunikasi dengan Bank DKI sudah mulai dilakukan, didampingi juga dengan kantor OJK Jakarta dan OJK NTT. Pada tanggal 4 Maret 2024, sudah dipertemukan antara Bank DKI dan Bank NTT bersama OJK Jakarta dan OJK NTT serta Sekda NTT.
"Kita mengawal juga. Kita lakukan koordinasi dengan OJK Jakarta dan komunikasi juga dengan Plt Dirut Bank NTT untuk informasi perkembangan KUB sudah sejauhmana dan kendalanya apa saja," tambahnya.
Japarmen menjelaskan, yang ditekankan adalah bagaimana memperkuat bank daerah menjadi tuan di negeri sendiri. Contohnya Bank NTT yang sudah memahami karakter masyarakat NTT, masa harus dikuasai oleh bank lain.
"Supaya bisa terwujud, tentu harus mampu membayar orang-orang yang profesional dan mampu mengembangkan teknologinya. Jadi berdasarkan hitungan itu, maka modal inti minumnya Rp 3 triliun. Modal inti terdiri dari modal disetor, cadangan dan laba tahun berjalan setelah dikurangi dengan tafsiran utang pajak dan ada lagi namanya modal pelengkap atau CKPN," jelasnya.
Dia menjelaskan, SE OJK mengenai pemenuhan modal inti minum sejak tahun 2020 dan dalam rencana bisnis Bank NTT tidak perlu KUB dengan harapan laba sekian, kemudian laba yang sudah ada dibagikan kepada Pemprov NTT dan pemkab dan pemkot dan waktu itu akan disetor kembali untuk tambahan modal disetor.
Namun laba tidak seperti direncanakan karena ada Covid-19 dan laba yang disepakati untuk disetor kembali ternyata pemprov dan pemkab serta pemkot tidak menyetor kembali karena untuk penanganan Covid-19 di daerah masing-masing. Hal ini pun tidak bisa dilarang.
"Jadi ini penyebabnya, harus dimaknai secara keseluruhan. Sekarang modal inti Bank NTT sebesar Rp 2,3 triliun lebih dan dari 12 BPD se-Indonesia, yang modal inti belum mencapai Rp 3 triliun yang paling tinggi adalah Bank NTT. Karena ada yang masih di bawah Rp 1 triliun malah," tambahnya.
Dia melanjutkan, jadi nantinya kalau rencana KUB dengan Bank DKI dijalankan tidak harus sampai ke Rp 3 triliun untuk modal inti. Bisa saja hanya Rp 100 miliar, tetapi akan ada kewajiban dari Bank DKI untuk membuat surat pernyataan bahwa dalam hal terjadi kesulitan di Bank NTT, Bank DKI siap untuk membantu," jelasnya.
Dia menambahkan, misalnya Bank DKI memberikan Rp 100 miliar, lalu kalau laba Bank NTT sebelum KUB Rp 100 miliar, semuanya dimiliki oleh pemprov dan pemkab, kemudian masuk Bank DKI dengan Rp 100 miliar, lalu laba Bank NTT naik menjadi Rp 300 miliar, jadi 10 persen dari laba itu diberikan ke Bank DKI sebesar Rp 30 miliar dan sisanya Rp 270 miliar untuk Bank NTT untuk pemprov dan pemkab.
"Inilah yang belum dipahami. Bank NTT dan Bank DKI pasti saling bersinergi dan potensi untuk menaikkan laba jauh lebih besar. Konsepnya tumbuh bersama. Kalau misalnya Bank DKI masuk lalu labanya turun, berarti merugikan. Tetapi kecil sekali kemungkinannya laba menurun," jelasnya.
Dia mengatakan, nanti kalau KUB Bank DKI berjalan, pasti akan ditempatkan orang Bank DKI untuk melakukan pengawasan. Diharapkan dapat memperbaiki tata kelola. Ini juga merupakan salah satu sasaran dari POJK tahun 2020 mengenai KUB, agar ada perbaikan terhadap governance. (thi/ays)