KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Pemotongan gaji untuk tabungan perumahan rakyat (Tapera) dinilai sangat merugikan masyarakat, khususnya buruh. Sebab, gaji buruh yang tidak seberapa harus dipotong untuk hal lainnya, misalnya seperti BPJS Kesehatan, PPh 21, kematian dan kecelakaan kerja.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Provinsi NTT, Serlina Asbanu kepada Timor Express, Selasa (4/6) mengatakan, buruh menolak kebijakan pemerintah yang mewajibkan pekerja mengikuti program Tapera.
"Untuk Tapera itu ditolak untuk seluruh Indonesia, bukan saja di NTT. Sebab, Tapera itu memungkinkan ladang korupsi baru dan sangat merugikan buruh dan masyarakat. Karena gajinya sudah dipotong BPJS, ada lagi pajak, ditambah lagi Tapera ini sangat merugikan buruh dan masyarakat yang mau ikut Tapera, sehingga dari kami serikat buruh tolak," tegas Serlina.
Sebagai Ketua Exco Partai Buruh NTT, Serlina menyampaikan ada beberapa alasan mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini.
Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK.
Sekarang ini, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bahkan, Serlina menyebut, dirinya masih menemui ada buruh di NTT yang diupah di bawah UMP NTT.
"Satu juta ke atas (rata-rata gaji buruh NTT), sedangkan UMP kan dua juta sekian," kata Serlina.
Dirinya mempertanyakan bagaimana mungkin gaji yang kecil itu bisa untuk mencicil rumah. Apabila dihitung upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan, maka iurannya sekitar Rp 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000.
“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada rumah seharga Rp 12,6 juta atau Rp 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah," ucapnya.
“Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” tambahnya.
Alasan kedua mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh daya beli buruh turun 30 persen. Hal ini akibat upah tidak naik hampir tiga tahun berturut-turu dan tahun ini naik upahnya murah sekali. Bila dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
“Dalam UUD 1945 tanggung jawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah. Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh disuruh bayar 2,5 persen dan pengusaha membayar 0,5 persen, ” tambanya.
Menurutnya, program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program jaminan kesehatan.
Sedangkan alasan keempat, program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI, Polri dan masyarakat umum.
"Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di Asabri dan Taspen. Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera," tuturnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD NTT, Hugo Kalembu mengatakan, Tapera memang bertujuan baik, namun momentum pelaksanaannya belum tepat serta kondisi perekonomian NTT juga belum sepenuhnya baik pertumbuhannya.
"Potongan 3 persen dari gaji karyawan negeri, swasta, TNI dan Polri tentu sangat memberatkan bagi karyawan dengan penghasilan sebesar upah minimun," terang Hugo.
Tapera pun juga akan sangat berat bagi pemberi kerja karena mereka harus menanggung 0,5 persen dari 3 persen tersebut. Lanjutnya, beban pekerja dengan gaji kecil semakin berat karena harus menanggung potongan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Tapi, selain itu juga citra asuransi dimata masyarakat turun dengan beberapa kasus besar penyelewengan dana misalnya, Asabri sebesar Rp 23 triliun dan Jiwa Sraya sebesar Rp 17 triliun. Masyarakat juga khawatir jangan-jangan iuran Tapera mereka juga mengalami nasib yang sama," tandasnya.
Karena itu, dia menilai Tapera saat ini belum tepat diterapkan.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) NTT, Kosmas Lana mengatakan, Tapera merupakan program yang sebenarnya sudah lama.
"Sudah lama Tapera itu, itu oleh Taperum. Sudah lama itu. Saya juga ada itu barang," sebutnya.
Menurutnya, kepemilikan rumah yang terstandar merupakan salah satu sub indikator soal kemiskinan.
"Luas lantainya ditentukan, luas bangunan, jumlah kamar, itu dari satu aspek soal rumah," katanya.
Menurutnya, sebagai bagian dari pemerintah daerah (ASN), program tersebut harus disambut baik.
"Iya dong (harus disambut baik)," tandasnya. (cr1/ays)