KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID– Revisi Undang-undang (RUU) Penyiaran yang dinilai bermasalah dan banyak pasal-pasal yang berpotensi merugikan kemerdekaan pers, maka puluhan perwakilan organisasi jurnalis se-Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar aksi di Kantor DPRD Provinsi NTT, Jumat siang (7/6).
Puluhan jurnalis tersebut tergabung dalam organisasi tingkat Provinsi NTT. Mereka diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Jaringan media Siber Indonesia (JMSI), Jurnalis Online Indonesia (Join) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Adapun sejumlah jurnalis senior yang turut hadir menyampaikan aspirasi tersebut.
Aksi tersebut mendapat respon positif dari DPRD Provinsi NTT, dimana Wakil Ketua Komisi I, Ana Waha Kolin beserta beberapa anggota dewan menerima para jurnalis untuk berdiskusi di ruang rapat Kelimutu DPRD NTT.
Dalam ruang tersebut, salah satu Anggota Aji Kota Kupang sekaligus jurnalis senior, Ana Djukana membacakan lima poin penolakan RUU Penyiaran. Poin pertama, adanya ancaman terhadap kebebasan pers. Pasal-pasal bermasalah dalam revisi tersebut memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatur konten media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draft Pasal 8A huruf q, Pasal 50B huruf C dan Pasal 42 ayat 2.
Adapun kebebesan berekspresi berpotensi terancam. Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancanan sejumlah pasal yang berpotensi mengekang kebebasan pers. Selain itu, potensi adanya kriminalisasi jurnalis pun tak bisa dipungkiri.
“Adanya ancaman pidana bagi jurnalis yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi jurnalis,” tegas Ana.
Lanjutnya, independensi media pun juga ikut terancam. Revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf pasal 51E.
Poin terakhir, yaitu RUU Penyiaran Berpotensi Mengancam Keberlangsungan Lapangan Kerja Bagi Pekerja Kreatif.
“Munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya,” ujarnya.
Karena itu, puluhan jurnalis yang tergabung dalam Forum Jurnalis NTT Untuk Reformasi ini menyerukan agar menghentikan dan melibatkan pers dalam penyusunan kebijakan.
“DPR RI segera menghentikan pembahasan Revisi Undang-Undang Penyiaran yang mengandung pasal-pasal bermasalah ini dan DPR RI harus melibatkan organisasi pers, akademisi dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi,” tambahnya.
Ana juga menegaskan, harus memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.
“Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu, kami akan terus mengawal proses legislasi ini dan siap melakukan aksi massa jika tuntutan kami tidak dipenuhi,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPRD Provinsi NTT, Ana Waha Kolin menerima rekomendasi dan poin-poin tuntutan yang diserahkan tersebut dan selanjutnya akan menyampaikan ke pimpinan dan masing-masing fraksi DPRD untuk menindaklanjutinya.
“Memutuskan UU itu domainnya ada di DPR RI dan kita semua sangat menolak diskriminasi pers. Pasti kami akan konsolidasi internal di DPRD NTT dan masing-masing fraksi untuk bisa disampaikan ke DPR RI,” tandasnya, (cr1/gat)