JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Majelis Masyayikh menggelar workshop review draf 2 standar mutu pendidikan non formal pesantren. Acara workshop dibuka pada Selasa (2/7) di Hotel Mercure Ancol Jakarta dan akan berlangsung selama tiga hari.
Pembukaan dihadiri 54 undangan yang terdiri atas unsur Majelis Masyayikh, perwakilan Dewan Masyayikh Pondok Pesantren dari hampir seluruh Indonesia, Kementerian Agama, dan para akademisi, yang diamanati untuk menanggapi dan me-review dokumen yang telah disusun.
Ketua Majelis Masyayikh KH Abdul Ghaffar Rozin yang akrab disapa Gus Rozin menyampaikan, beberapa hal penting dalam pembukaan tersebut. Menata regulasi pesantren bukan hal mudah. Sebab, bukan hanya sebatas amanah regulatif yang menjadi legalisasi dokumen tetapi akan menentukan kemajuan pesantren.
”Pendidikan non formal pesantren ini menjadi roh (yang mendasari) pendidikan pesantren di kemudian hari. Ini menjadi kewajiban kita semua (untuk mewujudkannya),” ungkap Gus Rozin.
Dokumen standar mutu pendidikan non formal pesantren itu bertujuan agar lulusan pesantren yang menempuh pendidikan (yang dikenal dengan pengkajian kitab kuning) dapat diakui negara dan mendapatkan hak-hak sipil sebagaimana lulusan pendidikan lain. Tak hanya itu, ijazah atau syahadah pendidikan non formal pesantren juga dapat diakui negara.
Gus Rozin menegaskan, upaya penyusunan dokumen itu bukan untuk menyeragamkan pendidikan pesantren. Melainkan untuk melindungi kemandirian dan kekhasan pesantren serta mewakili berbagai jenis pendidikan non formal pesantren yang ada di seluruh Indonesia.
”(Lulusan pendidikan pondok pesantren non formal) ada yang tasawuf saja, ada yang lughoh saja, ada yang hadis saja. Ini semua model pesantren harus dilindungi, sehingga lulusannya itu diakui negara dan kemudian mendapatkan hak-hak sipilnya,” jelas KH Abdul Ghaffar Rozin.
Selain itu, Gus Rozin menyampaikan, dokumen yang dihasilkan dari diskusi-diskusi Majelis Masyayikh mendasarkan pada aspek keterbacaan dan keterpakaian.
”Dokumen itu (baiknya) gampang dibaca, gampang dipahami, bukan dokumen yang kemudian memerlukan tafsir yang sangat mendalam. Keterbacaan itu menjadi penting sehingga segala macam pesantren itu bisa membaca dan memahami dengan mudah. Tetapi itu saja tidak cukup, tentu dokumen ini bisa dipakai atau tidak (doable). Jangan-jangan dokumen yang kita bikin ini terbaca tetapi tidak terpakai. Ini menjadi prinsip yang penting ketika melakukan review,” papar Gus Rozin.
Sementara itu, KH Abdul Ghofur Maimoen atau Gus Ghofur, anggota Majelis Masyayikh yang membidangi Divisi Kurikulum dan Pembelajaran menyatakan, dokumen pendidikan non formal pesantren merupakan dokumen dengan penyusunan paling lama. Sebab, tidak ada contoh sebelumnya.
Sehingga, menjadi dokumen penting yang akan disahkan. Dokumen ini meliputi kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren, kerangka dasar dan struktur kurikulum pesantren, serta kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana amanat UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
”Karena ini belum ada contohnya, kalau Ma’had Aly sudah ada asosiasinya, sehingga penulisan tinggal kita serahkan kepada asosiasi, begitu juga Muadalah Salafiyyah dan Muallimin. Tetapi pendidikan non formal itu belum ada pengakuan dan belum ada drafnya. Makanya diskusinya paling lama,” ujar Gus Ghofur.
Dokumen itu akan diselesaikan pada September. Gus Ghofur mengatakan sesuai dengan timeline, acara itu bisa dijalankan, kemudian uji publik dan finalisasi terakhir.
”Kemudian siap di-launching dan bisa diaplikasikan dengan baik pada September,” ucap KH Abdul Ghofur Maimoen. (jpc/thi/dek)