Anggaran Pilkada 2024 Masih Tertahan

  • Bagikan
Tito Karnavian

KPU Kurang Rp 7,79 Triliun, Bawaslu Rp 2,78 Triliun

JAKARTA,TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali menyoroti kesiapan pemerintah daerah (pemda) dalam mendukung Pilkada 2024. Pasalnya, hingga sebulan jelang pendaftaran calon, masih banyak pemda yang belum mencairkan anggaran kepada KPU dan Bawaslu masing-masing.

Tito mengatakan, jumlah daerah yang belum merealisasikan dana pilkada secara nasional cukup besar. Dari 541 pemda, baru 215 yang sudah mencairkan anggaran untuk KPU. Artinya, ada 326 pemda yang menahan anggarannya.

’’Yang sudah direalisasikan dari Rp 28,75 triliun, baru Rp 20,97 triliun,’’ ujarnya dalam rakor persiapan pilkada yang disiarkan virtual kemarin (9/7).

Untuk Bawaslu, kondisinya jauh lebih buruk. Tidak hanya belum cair, bahkan masih ada 23 pemda yang belum menandatangani besaran anggaran untuk Bawaslu dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Seluruh pemda itu berada di Aceh.

Dari hasil penelusurannya, belum adanya NPHD disebabkan keterlambatan pembentukan pengawas pemilihan (panwaslih) kabupaten/kota.

’’Yang sudah terbentuk, tolong Pak Pj (Gubernur) dan bupati/wali kota segera koordinasi dengan panwas yang baru,’’ kata Tito.

Secara nasional, lanjut dia, Bawaslu membutuhkan Rp 8,55 triliun untuk 541 daerah. Catatan Kemendagri, baru cair Rp 5,77 triliun. Terdapat 183 pemda yang telah mencairkan 100 persen.

’’Jadi, masih ada yang belum disalurkan,’’ kata mantan Kapolri itu.

Plt Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengapresiasi komitmen Mendagri. Meski terkesan teknis, anggaran memegang peran penting dalam memastikan pelaksanaan tahapan berjalan.

’’Karena KPU ini kalau untuk pilkada tanpa dari jajaran pemda, anggaran, dan seterusnya, kita tidak bisa melakukan tahapan-tahapan,’’ tuturnya.

Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengakui, di Aceh ada sedikit kendala dalam pembentukan panwaslih. Sesuai UU Aceh, rekrutmen panwaslih menjadi kewenangan DPRK setempat. Nah, proses oleh DPRK disebut Bagja sedikit terlambat akibat pemahaman yang kurang.

Yang teranyar, misalnya, pengawas yang dipilih DPRK berstatus belum lima tahun keluar dari partai politik. ’’Kami kembalikan ke DPRK,’’ kata Bagja. (far/c6/bay/jpg/rum/dek)

  • Bagikan