Dipenuhi Rumput Kering Banyak Fasilitas Pendukung Rusak
Taman Wisata Muara Abu di ada di wilayah Kelurahan Oesapa Barat, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang merupakan proyek prioritas penataan kawasan permukiman kumuh oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Taman serta sejumlah faslitas penunjang yang ada kini sudah tidak terawat dan banyak yang rusak.
IMRAN LIARIAN, Kupang_
TANGGAL 2 Oktober 2022, Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono telah meninjau langsung lokasi Taman Wisata Muara Abu. Saat itu hadir juga kepala wilayah, dalam hal ini Lurah Oesapa Barat, Christian E. Chamdra.
Saat itu, Taman Wisata Muara Abu dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti permain anak-anak dan termasuk MCK. Desain tata Ruang Terbuka Publik (RTP) itu sangat baik dan menjadi sentral bagi anak-anak untuk bermain di sore hari.
Selain itu, untuk orang dewasa selain untuk bersantai juga dimanfaatkan untuk berolahraga seperti jalan santai dan jogging.
Seiring berjalannya waktu, terpantau media Timor Express, Selasa sore (9/7), lokasi Taman Wisata Muara Abu masih ramai dengan anak-anak yang lagi asyik bermain. Selain itu, ada warga yang lagi jalan santai bersama keluarga dan ada juga lagi jogging.
Lokasi Taman Wisata Muara Abu memang berada di area muara itu tak jauh dari pemukiman warga. Kendati demikian, bagian selatan taman tersebut ditumbuhi rerumputan kering serta pohon duri.
Terkesan, kurang diperhatikan atau ditata secara baik. Tumbuhnya rumput kering jelas sangat menggangu pemandangan. Estetika taman pun mulai redup.
"Taman Muara Abu masih dikelola Pemerintah Kelurahan Oesapa Barat," jelas Christian E. Chamdra, selaku Lurah Oesapa Barat.
Karena itu, Christian berkomitmen untuk merapikan kembali lokasi Taman Muara Abu dengan melakukan pembersihan rumput kering yang ada saat ini.
"Kami akan coba ajak warga untuk merapikannya," ujar Lurah Oesapa Barat.
Menyikapi hal itu, Hamza H. Wulakada, selaku Aktivis Lingkungan, Dosen dan Peneliti Universitas Nusa Cendana (Undana) mengaku kecenderungan perilaku masyarakat urban perkotaan cenderung apatis terhadap kondisi di luar lingkungannya karena disibukkan dengan rutinitas kehidupan perkotaan sehingga cenderung individualis.
Mereka hanya berkepedulian terhadap tempat tinggalnya dan tempat kerjanya. Sementara urusan ruang yang memperantarainya terasa bukan menjadi tanggung jawabnya.
Ruang itu yang biasa dikenal dengan ruang ketiga bagi masyarakat perkotaan seakan menjadi tanggung jawab pemerintah semata.
"Masing-masing kita hanya berkepentingan dengan kenyamanan di tempat hunian dan di tempat kita bekerja, karena memang kecenderungan hidup masyarakat dilingkungan seperti ini cenderung bersifat sementara," ungkapnya.
Jika dalam pendekatan pembangunan lingkungan perkotaan tidak diidentifikasikan masyarakat sekitar lokasi fasilitas penopang ekologi perkotaan maka fasilitas yang megah dibangun akan membutuhkan anggaran untuk perawatan dan pemeliharaannya. Sehingga, kata Hamza, dalam proses awal seyogyanya sudah ada tahapan edukasi pelibatan masyarakat dalam perencanaan, pembangunan hingga fungsi pelestariannya.
Dikatakan, konteks pelestarian inilah yang penting karena pemerintah tidak harus selalu bertanggung jawab atas fasilitas itu. Kesadaran komunal dari masyarakat sekitar juga harus dibangun agar merasa memilikinya sehingga pasca fasilitas itu dibangun, baik pengelolaannya berbasis komunitas setempat dan instansi teknis hanya bertugas melakukan fungsi koordinasi, pengawasan dan pengendalian.
Jika kesadaran komunal masyarakat sekitar tidak dibangun berbasis komunitas maka akan ada kecenderungan untuk tidak peduli terhadap apapun yang disediakan.
"Kita masih memandang taman kota sebagai elemen estetik ruang perkotaan," ujarnya.
Lebih dari itu, kata dia, taman kota sebenarnya menjadi tuntutan dan standar kota layak huni yang menjadi agenda baru perkotaan (new urban agenda) ke depannya. Taman Kota tidak sekedar ruang ketiga yang menjadi wahana bersosialisasi, berolahraga dan berekreasi tapi lebih dari itu, Taman Kota berfungsi sebagai ruang penopang ketiga elemen lingkungan air, tanah dan udara.
Syarat 30 persen dari ruang terpola harus menjadi ruang terbuka hijau untuk menjamin siklus air tetap berjalan semestinya, menjadikan tanah yang dilintasi menjadi media produktif untuk tumbuhan penyangga oksigen dalam proses evapotranspirasi.
"Perihal ini yang kadang kita sepelekan, mungkin spot terbatas minim kontribusinya tapi jika distribusinya terpenuhi 70%:30% maka diperkirakan dapat menopang kehidupan ekosistem sekitarnya," kata Hamza sapaan akrabnya.
Sampah dan limbah akan menjadi masalah yang menimbulkan polusi air, tanah dan udara.
Persoalan yang terjadi adalah perilaku pengunjung yang bukan dari wilayah sekitar sehingga merasa tidak bertanggung jawab maka cara yang paling efektif adalah urusan perawatan dan pemeliharaan harus berbasis komunitas setempat.
Silahkan saja dianggarkan melalui Karang Taruna, atau bahkan ke depan masyarakat akan secara mandiri membayar imbal jasa lingkungannya. Biarkan masyarakat setempat yang menjaga dan melestarikannya.
Kondisi Taman Muara Abu di Kelurahan Oesapa Barat, bahkan bukan sekedar taman kota biasa karena berada ditepian muara sehingga fungsinya sebagai penangkal abrasi pantai, menjaga ekosistem pesisir lebih penting untuk Kota Kupang yang ada dikawasan pesisir.
Taman ini bukan sekedar ruang ketiga untuk berekreasi dan berolahraga, dan bukan sekedar menyangga air, tanah dan udara tapi lebih dari itu adalah fasilitas pencegah abrasi sekaligus upaya memitigasi bencana pesisir.
"Kita menyayangkan jika fasilitas yang sekian bagus dibangun dibiarkan terlantar tidak terpelihara, ini hanya persoalan manajemen dan tata kelola," ungkapnya.
Masyarakat sekitar harus diberikan kepercayaan untuk mengelolanya dan hak untuk melestarikannya. Jika demikian maka mereka akan merasa memiliki, siapapun yang hadir dan beraktivitas disana akan memenuhi budaya berkunjung yang disepakati.
"Jika pengunjung diberlakukan nyaman maka suatu ketika tak pelak ada standarisasi pembiayaan yang menjadi imbal jasa lingkungan ke depannya," pungkas Hamza. (gat/dek)