11 Warga Tulungagung dan Trenggalek Telantar di Atambua

  • Bagikan
ORANIS HERMAN/TIMEX POSE BERSAMA. Dandim 1604/Kupang, Kolonel Inf. Wiwit Jalu Wibowo (keenam dari kiri) pose bersama 11 orang warga Tulungagung dan Trenggalek saat silaturahmi di Kodim 1604/Kupang, Minggu malam (14/7).

Kerja Dua Minggu di Timor Leste

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID– Sebanyak 11 orang warga Tulungagung dan Trenggalek Provinsi Jawa Timur telantar di Atambua Kabupaten Belu. Mereka dipulangkan dari Timor Leste setelah bekerja selama dua minggu.

Ke-11 warga Tulungagung dan Trenggalek yang telantar itu masing-masing Muniran, Yusuf Alma Arif, Ahmad Nur Ahrudin, Sarni, Budi Ismanto, Kuswanto, Sutrisno, Dian Agus Setiawan, Misdi, Ukuh Setiawan dan Nova Imam Prasetio.

Penyuluh Sosial Dinas Sosial Provinsi NTT, Suheriyanta kepada wartawan di Kodim 1604/Kupang saat acara silaturahmi Dandim 1604/Kupang bersama warga Tulungagung dan Trenggalek eks TKI di Timor Leste, Minggu (14/7) malam menjelaskan, ke-11 orang warga Tulungagung dan Trenggalek itu masuk ke Timor Leste dan bekerja sebagai buruh bangunan di Kota Dili.

Mereka mengikuti salah satu warga Tulungangung yang telah lebih dulu bekerja di Timor Leste. Mereka masuk ke Timor Leste secara legal dengan mengantongi paspor.

Setelah bekerja selama dua minggu di Kota Dili-Timor Leste, ke-11 orang buruh itu diberhentikan dari pekerjaan tanpa alasan yang jelas dan tanpa memberi upah selama dua minggu bekerja. Ke-11 orang itu kemudian diantar keluar dari wilayah Timor Leste hingga tiba di Kota Atambua, Kabupaten Belu tanpa memiliki uang.

Suheriyanta mengaku, setelah telantar di Kota Atambua, ada anggota Kontak Kerukunan Sosial (K2S) Atambua menolong ke-11 orang itu dengan berkoordinasi bersama K2S Kota Kupang. Informasi tersebut kemudian diteruskan ke paguyuban Tulungagung Trenggalek Bersatu (TTB) Kota Kupang.

“Kami ditelepon oleh K2S Belu atas nama Pak Jito yang melaporkan bahwa ada warga Jawa yang berasal dari Tulungagung dan Trenggalek berjumlah 11 orang yang dibuang dari Dili di taruh di perbatasan. Setelah itu, kami berkomunikasi dengan pemerintah baik pemerintah NTT maupun Kementerian Sosial,” jelas Suheriyanta.

Ia mengaku, baik Pemerintah Provinsi NTT maupun Kementerian Sosial tidak mempunyai anggaran untuk memulangkan ke-11 orang itu dari Atambua hingga Kota Kupang dan ke daerah asal.

“Pemerintah NTT dari Atambua sampai di sini (Kota Kupang) tidak ada biaya untuk pemulangan. Dari Kementerian Sosial juga sama atau tidak ada biaya. Saya langsung telepon ke Pak Sekda Tulungagung. Di situ Pak Sekda Tulungagung merespon dan kaget. Besok paginya beliau rapat dengan seluruh jajarannya dan sekitar jam satu siang kami dapat telepon dari sana dan kepala Dinas Sosial Tulungagung menyatakan siap untuk memulangkan mereka. Membiayai mereka pulang dari Kupang ke Surabaya,” kata Suheriyanta.

Setelah itu, kata Suheriyanta, pihaknya berkoordinasi untuk memulangkan ke-11 orang itu dari Atambua ke Kota Kupang.

“Di sini saya langsung menghadap kepala Dinas Sosial Provinsi NTT, beliau menjawab biaya tidak ada, tetapi memakai tempat untuk transit silakan. Kemarin kami dikasih sarana dan prasarana dari Dinas Sosial Provinsi NTT yakni rumah singgah Dinas Sosial Provinsi NTT di Kelurahan Pasir Panjang Kota Kupang. Di situ tinggal selama 10 hari,” ujarnya.

Dijelaskan, selama berada di rumah singgah Dinas Sosial, untuk makan dan minum 11 orang ditanggung oleh paguyuban Jawa yang ada di Kota Kupang yakni K2S dan TTB.

“Sampai akhirnya biaya datang dan kami pesan tiket kapal laut dan Senin (kemarin, Red) kembali ke Surabaya. Tiba di Surabaya akan dijemput oleh pemerintah Tulungagung di pelabuhan Tanjung Perak,” kata Suheriyanta.

Ditanya apakah ada indikasi TPPO, ia menjawab tidak ada. Karena yang membawa untuk bekerja memakai paspor dan sebagainya. Setelah dua minggu kerja dipisahkan kemudian dikirim ke perbatasan.

“Kita harapkan, rekan-rekan yang ada di Jawa yang mau bekerja harus ada kontrak perjanjian kerja antara yang membawa maupun yang mempekerjakan supaya apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau tidak ada kontrak kerja agak sulit kita menelusuri tentang itu legal maupun ilegal,” kata Suheriyanta.

Sementara Dandim 1604/Kupang, Kolonel Inf. Wiwit Jalu Wibowo kepada wartawan mengaku, ingin bersilaturahmi dengan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Timor Leste dan telantar di Kota Atambua.

“Kami mengharapkan agar dengan kejadian ini maka rekan-rekan yang nantinya kembali dari sini bisa menyampaikan ke rekan-rekan yang lain yang mungkin berkeinginan ataupun yang mungkin ingin kembali ke sini atau ke Timor Leste untuk bekerja, setidaknya harus siap terlebih dahulu. Diketahui lebih dulu siapa yang mengajak terus kemudian latar belakangnya seperti apa dan semuanya harus jelas supaya kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” kata Dandim 1604/Kupang yang juga berasal dari Tulungagung. (ays/gat/dek)

  • Bagikan

Exit mobile version