KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Peta politik dalam mengusung pasangan calon kepala daerah pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) NTT pada 27 November mendatang mulai mengerucut.
Jagoan Partai Golkar, Emanuel Melkiades Laka Lena mendapat dukungan dari partai politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) saat Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu. Salah satunya adalah Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto, Presiden RI terpilih. Bahkan PAN yang juga tergabung dalam KIM menyatakan mendukung politikus yang akrab disapa Melki Laka Lena ini.
Padahal, sebelumnya santer tersiar kabar bahwa dukungan Gerindra bakal berlabuh pada sosok Simon Petrus Kamlasi yang sebelumnya telah mengantongi dukungan dari Partai Nasdem besutan Surya Paloh.
Dengan bergabungnya Gerindra dan PAN ke Golkar dengan mengusung Melki Laka Lena merubah peta politik menuju Pilgub NTT. Bahkan beredar informasi, ada upaya Jakarta agar dalam Pilgub NTT nanti, cukup head to head antara Melki dan Ansy.
Andalan PDI Perjuangan, Fransiskus Lema yang akrab disapa Ansy Lema kini tengah berjuang mencari partai koalisi guna memenuhi syarat saat pendaftaran ke KPU nanti. Terkini, Partai Hanura tengah didekati agar bisa berkoalisi dengan PDI Perjuangan dengan mengusung Ansy Lema sebagai calon gubernur.
Dan sepertinya, nama untuk calon gubernur NTT, baik usungan Golkar dan PDI Perjuangan, sudah mantap untuk Melki Laka Lena dan Ansy Lema. Sekarang yang masih menjadi tanda tanya adalah siapakah sosok yang bakal mendampingi Melki maupun Ansy.
Beberapa nama seperti Johni Asadoma (Non parpol), Jane Suryanto (PSI), dan Gabriel Beri Bina (Gerindra) diberitakan menjadi pendamping Melki Laka Lena. Begitupun dengan nama-nama yang diembuskan akan berpasangan dengan Ansy Lema. Misalnya Refafi Gah (Hanura), Anita Gah (Demokrat), Pdt. Mery Kolimon (Rohaniawan/non parpol), Bobby Lianto (Pengusaha/non parpol).
Dari nama-nama yang disebutkan di atas, sosok seperti Anita Gah dan Pdt. Mery Kolimon memastikan tidak berminat ada di panggung Pilgub NTT. Padahal nama-nama ini muncul dengan sejumlah pertimbangan, baik karena kepentingan partai koalisi juga karena elektabilitas figur.
Menyikapi hal ini, pengamat politik yang juga dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona menyebut, ada dua figur lain yang patut diperhitungkan siapapun calon gubernur NTT nanti.
Kedua figur ini, kata Mikhael, secara geopolitik, sesungguhnya memiliki nadi atau isi terdalam dari emosi pemilih di NTT. "Kalau dicek, sesungguhnya pemilih kita itu masih terpetakan secara kultural dalam versus-versusan. Misalnya Flores versus Timor, Protestan versus Katolik, Timur versus Barat, kayak begitu. Tapi sejak Pilgub lima tahun lalu (2018), tensi ini kan sudah menurun sejak adanya kasus Ahok pada Pilkada Jakarta," ungkap Mikhael kepada media ini, Rabu (24/7).
Menurutnya, kejadian Ahok saat Pilkada Jakarta itu melampaui semua sekat kultural, yang akhirnya menyatukan rakyat NTT dalam situasi saat itu, sehingga Victor Bungtilu Laiskodat (VBL) bisa menjadi brand yang diterima melampaui sekat kultural.
"Tetapi, kita lihat juga di Pilgub lima tahun lalu, sosok seperti Emi Nomleni juga melampaui sekat kultural. Dia diterima di Flores, diterima dikalangan Katolik, dan juga melampaui sekat kultural sehingga sosok seperti Emi ini menarik," bebernya.
Selain itu, lanjutnya, sosok seperti Inche Sayuna, brand-nya juga kalau dipikir hampir mirip dengan Emi Nomleni sebagai perempuan dan juga orang Timor.
Baik Emi maupun Inche, kata Mikhael, keduanya mempunyai kualitas secara empirik sebagai figur yang bisa menjadi pendamping dari salah satu calon gubernur, entah siapa.
"Tapi pertanyaannya, apakah dua orang ini bisa didorong menjadi pendamping Ansy Lema? Saya kira bisa. Tidak masalah. Asalkan ada partai yang menerima Ibu Emi dan atau ibu Inche sebagai figur wakil, karena mereka merupakan representasi Timor sehingga emosi wilayah Timor terwakilkan melalui sosok dua orang ini," jelasnya.
Mikhael melanjutkan, kalau dilihat secara kasat mata, baik Emi Nomleni maupun Inche Sayuna, keduanya merupakan pimpinan DPRD. Punya peran sebagai perempuan yang menggerakkan banyak aktivisme perempuan di NTT dalam isu-isu gender dan sebagainya, mereka terlibat. Begitu pula dipanggung urusan rohani/religius, dan juga urusan kultural, agama, budaya, dan sebagainya, bahkan sampai pada urusan kesenian seperti mempromosikan kain tenun NTT dan sebagainya, keduanya terlibat.
Oleh karena itu, menurut Mikhael, secara komparatif, sosok Emi Nomleni maupun Inche Sayuna punya kualitas sebagai calon wakil gubernur ideal.
Nah, yang menarik adalah ada partai yang belum mendeklarasikan dukungan mereka kepada calon gubernur maupun wakil gubernur, yakni Partai Demokrat dan PSI. "Nah, bagaimana cara ibu Emi dan Ibu Inche membangun komunikasi atau calon gubernurnya Ansy membangun komunikasi dengan PSI dan Demokrat supaya salah satu bisa menerima kedua figur ini sehingga tidak dipersoalkan. Misalnya Ibu Emi kan dari PDI Perjuangan, posisinya dia tidak dilihat sebagai PDI Perjuangan, tetapi mungkin dia tetap kader PDI Perjuangan, hanya dia didorong oleh Demokrat atau PSI," ujar Mikhael.
Kalau seperti ini, menurut Mikhael, posisinya sulit karena komunikasi di level itu hanya bisa diselesaikan di Jakarta (DPP). Demikian juga dengan Inche Sayuna yang merupakan kader Partai Golkar. "Ibu Inche memang sempat juga ada friksi di internal bersama Golkar sehingga mungkin posisinya lagi tidak terlalu strategis di Golkar. Tapi, Ibu Inche berpeluang juga kalau ditarik menjadi wakilnya Ansy Lema. Ini kan politik, Inche bisa memilih, apakah tetap berkarir di Golkar, atau keluar lalu membangun komunikasi dengan Ansy agar didorong untuk maju," urai Mikhael.
Mikhael menyatakan, saat ini hampir semua calon wakil memilih untuk mengamankan posisi mereka yang sekarang. Contohnya Anita Gah yang sebelumnya digadang-gadang akan berpasangan dengan Ansy, justru lebih memilih untuk berkarir di Senayan sebagai anggota DPR RI karena suara dukungan begitu signifikan untuknya. Sehingga sekarang, figur gubernur kesulitan mencari calon wakilnya.
"Dimasa lalu, kita selalu punya tokoh yang memang selalu siap menjadi wakil. Di Flores ada mantan Bupati Sikka, Paulus Moa misalnya, tetapi di zaman sekarang seperti Ansar Rera, Alex Longginus, dan lain-lain, mereka itu tidak punya cukup brand untuk menjadi simbol agar bisa didorong menjadi wakil. Di Timor juga sama. Kita kehilangan stok yang punya cukup brand untuk didorong sebagai wakil," bebernya.
Saat ini, demikian Mikhael, hanya tersisa nama seperti Emi Nomleni. "Emi ini harus diakui punya kekuatan bahkan kalau kita dalam marketing politik, kita menyebutnya, dia selalu masuk dalam level top of mind. Lalu ada istilah recognition. Ketika kita meletakkan figur-figur untuk menunjukkan siapa yang dipilih, orang langsung mengingat, oh ada ibu rambut putih. Ibu rambut putih (Emi Nomleni, Red). Itu mudah mengaktifkan memori orang bahwa dia ini siapa. Itu merupakan kelebihan Emi Nomleni. Saya kira kalua dia ini didorong, mudahlah me-marketing dia, mudahlah membranding dia," tutur Mikhael.
Begitupun dengan Inche Sayuna, tinggal saja kerja, karena selama ini Inche masih tidur sehingga Namanya belum disebut-sebut. "Kalau mau disebut, dia butuh kecepatan. Kalau Ibu Emi, memang sudah punya brand sebagai ibu rambut putih, dan hampir semua perempuan di Flores, dimana saja sangat menyukai figur Emi. Ini terbukti waktu di Pilgub 2018 lalu, suara ibu Emi terpaut hanya beberapa, mungkin seratus dua ratus ribu suara saja dari Victory Jos. Jadi kekuatan Ibu Emi dalam pasar politik teruji kualitasnya. Sehingga kalau disebut nama Emi dan Inche, saya setuju bahwa mereka punya kualitas untuk didorong menjadi calon wakilnya Ansy kalua memang tidak ada lagi figur lain lagi," katanya.
Bagaimana dengan nama seperti Pdt. Mery Kolimon yang sempat didekati untuk mendampingi Ansy? "Kalau Ibu Pdt. Mery, kan afiliasinya belum terlalu kuat, misalnya kekuatan politik Timor itu butuh waktu sehingga saya berpandangan, sosok Emi Nomleni merupakan figur tepat dengan Ansy Lema," pungkasnya. (yl)