Menelusuri Jejak NTT dalam Sejarah Mata Uang Rupiah di MuBI, Kota Tua Jakarta (2-habis)
Semangat untuk mengetahui jejak Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam uang Rupiah kita sejak era kemerdekaan, membuat saya begitu serius mengamati apa saja yang dipamerkan dalam tiap zona itu. Dan cerita tentang NTT dalam pameran “Rupiah Berkisah tentang Timur” membuat kita anak NTT patut berbangga.
MARTHEN BANA, Kupang
SAAT memasuki zona kekayaan alam ini, kita melihat jejak Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam uang kertas pecahan Rp 5.000 emisi tahun 1992, di mana pada salah satu sisinya ada lanskap danau Kelimutu, danau tiga warna nan unik di Kabupaten Ende, Flores. Gambar pemandangan alam danau Kelimutu ini bahkan masih tampak di bagian belakang uang pecahan Rp 50.000 tahun emisi 2022 yang dikombinasi bersama Tari Legong dan Bunga Jepun dari Bali.
Selain terdapat uang-uang bernuansa Indonesia Timur, dalam pameran ini juga Bank Indonesia menampilkan beberapa rempah-rempah yang tumbuh banyak di Indonesia Timur seperti pala dan cengkeh.
“Jadi dari kekayaan alam kita ini, baik alam, flora dan fauna, kesenian, budaya, para pahlawan yang tergambar dalam uang Rupiah kita, tak sekadar sebagai alat pembayaran atau transaksi, tapi juga media promosi,” terang Educator MuBI, Kanti.
Selanjutnya masuk ke zona dua, disini menjadi wadah memperlihatkan kekayaan budaya, baik itu rumah adat, alat musik, tarian dan kain-kain tenun daerah.
Di sini, jejak NTT kita temukan uang kertas pecahan Rp 50 tahun emisi 1958. Pada salah satu sisi uang ini, tampak lopo, rumah adat suku Timor sebagai gambar desainnya. Begitu juga dengan pecahan (uang kertas) Rp 500 tahun emisi 1958 tampak rumah adat Minahasa, Sulawesi Utara, yakni Walewangko (rumah pewaris), rumah Tongkonan dari Toraja, Sulawesi Selatan dan rumah adat lainnya.
Untuk kekayaan budaya seperti kain tenun, ada kain tenun legendaris dari Sumba, yakni kain motif penuh makna.
“Kain tenun Sumba ini hadir dalam uang rupiah BI seri kebudayaan terbitan tahun 1952 pecahan Rp 50. Pada bagian depan uang ini, ada gambar pohon kalpataru yang dipercaya sebagai salah satu dari lima pohon suci di surga dan pada bagian belakang uang pecahan ini, terdapat gambar kain tenun Sumba yang memiliki muatan estetika dan nilai filosofis yang tinggi,” papar Kanti sambil menunjuk selembar kain/selimut Sumba yang dipajang dalam bingkai kaca.
Kanti lalu mengajak kami menuju zona pahlawan. Di zona ini dipajang siapa saja tokoh pahlawan dari Indonesia timur yang ada dalam pecahan uang. Tampak beberapa tokoh pahlawan seperti Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Frans Kaisiepo dari Papua, Kapitan Pattimura dari Maluku, Dr GSSJ Ratulangi atau Sam Ratulangi dari Sulawesi Utara dan pahlawan nasional asal NTT, Prof Dr Ir Herman Johannes yang akrab disapa pak Jo.
Di situ dijelaskan bahwa pak Jo merupakan seorang cendekiawan, politikus dan ilmuwan Indonesia. Pak Jo merupakan guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) yang lahir di Rote, 28 Mei 1912. Semasa di UGM, pak Jo pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknik, Dekan FMIPA dan rektor kedua UGM. Selain sebagai ilmuwan, pak Jo juga pernah berkarier di militer.
Berkat keahliannya di bidang fisika dan kimia, pak Jo berjasa dalam memblokade gerak pasukan Belanda selama agresi militer I dan II dengan memasang bom di jembatan Kali Progo. Atas jasanya selama perang kemerdekaan, pak Jo yang meninggal di Jogjakarta, 17 Oktober 1992, dianugerahi Bintang Gerilya (1958) dan gelar pahlawan nasional tahun 2009 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Di zona terakhir dalam pameran ini, terpampang jelas perjalanan BI di wilayah timur di Indonesia. Misalnya gambar kantor perwakilan (KPw) BI pertama di Maluku dan lainnya. Zona ini menceritakan tentang sejarah BI dan juga regulasi-regulasi secara singkat.
Dalam pameran ini, terdapat 66 pecahan mata uang dari edaran tahun 1947 hingga yang terbaru tahun emisi 2022. Kunjungan di MuBI hari itu diakhiri dengan sesi foto dengan latar gedung MuBI. (ays/dek)