Stunting NTT di Angka 37,9 Persen

  • Bagikan
IST POSE BERSAMA. Sekda NTT, Kosmas Lana pose bersama Deputi Dalduk BKKBN RI, Bonivasius Ichtiarto, Kepala BKKBN NTT dan jajaran saat acara peringatan Harganas ke-31 tingkat Provinsi NTT di aula El Tari Kupang, Selasa (30/7).

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi NTT merayakan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 terpusat di aula El Tari Kupang, Selasa (23/7).

Acara dihadiri oleh Deputi Pengendalian Penduduk (Dalduk) BKKBN RI, Bonivasius Ichtiarto dan Sekda NTT, Kosmos D Lana serta Forkopimda NTT.

Puncak perayaan Harganas dengan mengusung tema “Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas” ini sekaligus peluncuran Population Clock NTT. Aplikasi ini menampilkan data jumlah penduduk, jumlah kelahiran dan jumlah kematian di NTT.

Kepala Perwakilan BKKBN NTT, Dadi Ahmad Roswandi dalam laporannya mengatakan, Harganas merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam merevitalisasi peran keluarga dalam mengatasi persoalan-persoalan yang menghambat pencapaian cita-cita pembangunan.

Harganas ditetapkan pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39/2014, tanggal 29 Juni ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional, meskipun bukan merupakan hari libur.

Penyelenggaraan Harganas ini, stunting  masih menjadi isu prioritas. Program penanganan stunting di Indonesia harus jadi fokus bersama tahun 2024 mengingat Indonesia punya target menurunkan prevalensi stunting sampai 14 persen di tahun 2024.

“Diharapkan penyelenggaraan Harganas tahun ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sosok keluarga bagi pembangunan bangsa dan Negara,” katanya.

Ia juga melaporkan bahwa data capaian stunting Provinsi NTT melalui hasil Survey Status Gizi Indonesia atau SSGI (tahunan) tahun 2022 sebesar 35,3 persen, sedangkan nasional 21,6 persen dan hasil survei kesehatan atau SKI (lima tahunan), pada tahun 2023 adalah 37,9 persen sedangkan nasional 21,5 persen, masih sangat tinggi jika disandingkan dengan capaian nasional.

Tahun 2025, secara nasional menargetkan penurunan stunting mencapai 18,8 persen dan NTT ditargetkan 33,1 persen, sehingga masih ada 4,8 persen yang harus dikejar untuk mencapai target NTT tahun 2025.

“Menilik pada tren capaian dari tahun ke tahun dan target yang harus dicapai pada tahun 2025, maka Provinsi NTT perlu kerja keras, integrasi berbagai program dan kegiatan serta kolaborasi dari berbagai pihak untuk penanganan dan percepatan stunting,” katanya.

Sementara, Sekda NTT, Kosmas D Lana dalam sambutannya mengatakan Harganas dirayakan sebagai bentuk penghargaan kepada keluarga atau manusia. Peringati Harganas ke-31 memberikan nuansa baru.

Banyak hal yang sudah dilakukan untuk penanganan stunting. Tingginya stunting ini karena proses atau meteorologi pengukuran yang berbeda. Tetapi saat ini tingkat stunting sangat tinggi yakni 37,9 persen dengan pengukuran SKI.

Secara keilmuan perbedaan ini memang ada. Terlepas dari hal itu, ada hal yang perlu dibenahi dan dikonsolidasikan dengan seluruh pihak baik di tingkat kabupaten/kota.

“Banyak hal yang sudah kita lakukan dari semua tingkatan, termasuk dengan instansi vertikal. Dana yang dikucurkan juga sudah sangat banyak pada bidang pengendalian penduduk,” katanya.

Ia juga melaporkan bahwa pengukuran stunting masih beragam. Kabupaten/kota belum mendapat alat yang memadai. Bahkan ada yang secara manual dan bisa dipastikan tidak akurat batita atau balita yang mengalami stunting.

“Kami harap pemerintah pusat dapat membantu dan mendukung akan fasilitas pendukung seperti daerah lainnya karena di NTT topografinya sangat sulit. Kami harap ada perhatian lebih dan tenaga penyuluh yang lebih,” pungkasnya.

Deputi Pengendalian Penduduk (Dalduk) BKKBN RI, Bonivasius Ichtiarto menegaskan bahwa stunting di NTT masih sangat tinggi.

“Nusa Tenggara Timur masuk dalam tiga besar kasus stunting tertinggi di Indonesia, paling tinggi kasus stunting masih di Papua,” ujar Bonivasius usai acara.

Bonivasius mengaku, untuk NTT tidak masuk dalam wilayah Indonesia dengan bonus demografi. “Untuk di NTT terbalik, masih banyak anak-anaknya dan lansia, usia produktifnya relatif lebih sedikit," tambahnya.

Ia menambahkan, hal ini dikarenakan angka kelahiran anak yang cukup tinggi dan usia produktif yang lebih banyak keluar dari NTT untuk bekerja.

“Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan kerja sama antarsektor untuk membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, sehingga penduduk NTT tidak perlu keluar, tapi bisa bekerja di NTT,” pungkasnya.

"Jika itu terjadi, tentunya NTT bisa masuk bonus demografi dan menyumbang pertumbuhan ekonomi di NTT dan pertumbuhan ekonomi di NTT semakin cepat," tambahnya.

Ia berharap momentum, Harganas 2024, seluruh keluarga di Indonesia dapat membantu pertumbuhan keluarga lebih baik. Salah satunya membangun anak dengan kerja kolaborasi antara suami istri.

"Dalam membangun keluarga perlu kerja sama antara suami dan istri. Jadi pertumbuhan anak itu bukan hanya tanggung jawab seorang ibu, atau bapak saja, harus saling antara bapak dan ibu dalam menjaga, membimbing dan membesarkan anak-anaknya," ungkapnya. (cr6/ays/dek)

  • Bagikan

Exit mobile version