Pertarungan Johni Asadoma vs Jane Natalia Suryanto
KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Pertarungan Irjen Pol (Purn) Johni Asadoma dan Jane Natalia Suryanto untuk menjadi bakal calon wakil gubernur mendampingi Melki Laka Lena di pilkada NTT 2024 masih terbuka.
Bermodalkan tiga rekomendasi, Jane Natalia Suryanto masih berpeluang jika keputusan diambil melalui musyawarah koalisi. Namun rekomendasi Partai Gerindra menjadi patokan bagi koalisi.
Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona ketika dimintai tanggapannya, Jumat (2/8) menegaskan, secara empirik, dengan merujuk pada pernyataan Bappilu Partai Golkar, Frans Sarong, maka sudah bisa dipastikan bahwa Partai Golkar akan mengikuti keputusan Prabowo. Karena, dalam KIM, Prabowo itu simbol dan tokoh kunci dalam urusan konsolidasi kekuasaan semua partai KIM. Termasuk dalam urusan pilgub.
“Di beberapa provinsi, terbaca seperti itu, meskipun ada juga koalisi KIM yang berbeda karena sejak awal sudah punya figur bacagub sendiri-sendiri. Tapi yang tidak, umumnya mereka berpatokan pada musyawarah bersama lalu mengikuti keputusan Prabowo,” katanya.
Menurutnya, rekomendasi Partai Gerindra tidak boleh dibaca sebagai sebuah surat rekomendasi semata, tapi sebuah keputusan seorang leader koalisi KIM. Seorang pemenang pilpres 2024, yaitu Prabowo Subianto. Jadi, jelas bahwa bargaining position dan nilai tawar putusan Partai Gerindra itu akan jauh lebih diperhitungkan di meja musyawarah KIM.
“Rekomendasi yang disebut sebagai putusan itu punya kewibawaan berbeda di hadapan petinggi Partai Golkar di Jakarta dan Melki Laka Lena sendiri. Jadi, ini bukan soal surat, tapi soal sesuatu yang metafisik dibalik surat itu. Sebuah rekomendasi dari seorang pemenang pilpres jelas secara metafisik memiliki aura dan magis serta kewibawaan,” ungkapnya.
Mikhael menjelaskan, cara membaca rekomendasi Partai Gerindra tidak bisa hitam putih, tapi juga melihat jauh di kedalaman sana, soal siapa yang mengeluarkan rekomendasi itu. Apalagi putusan itu ditandatangani sendiri oleh Prabowo Subianto dan Ahmad Muzani sebagai ketum dan sekjen Partai Gerindra. Tentu saja ini akan sangat dihitung oleh Melki sendiri dan Partai Golkar juga para elit koalisi KIM.
Karena itu, dengan berbasiskan argumentasi ini, ia melihat bahwa peluang Johni Asadoma lebih terbuka dari Jane Natalia Suryanto untuk mendampingi Melki Laka Lena. Sebab, semuanya akan dimusyawarahkan di Jakarta.
Melki piawai soal ini yaitu mampu mengkomunikasikan dengan semua pimpinan partai KIM. Meskipun diketahui bahwa dalam beberapa pekan terakhir, dari sisi dukungan (rekomendasi), Jane mendapat rekomendasi lagi dari PSI setelah PAN pada awal bulan Juli. Bahkan Partai Golkar sendiri juga secara informal cukup intens berkomunikasi dengan Jane.
“Hanya saja, menurut saya, Prabowo itu seorang ahli strategi. Dia punya bacaan yang berbeda terhadap kondisi pilgub NTT. Jika yang dihadapi adalah figur seperti Simon Petrus Kamlasi, maka KIM juga membutuhkan sosok yang punya latar belakang prajurit seperti Asadoma,” bebernya.
Ia berpendapat bukan karena Partai Gerindra tidak menerima Jane dari PSI, tapi terjadi semacam perubahan komposisi karena perubahan peta dan data terbaru yang menunjukkan kepada Prabowo untuk memutuskan Melki harus berpasangan dengan Jhoni Asadoma. Artinya, itu murni strategi politik dan demi menjaga kepentingan konsolidasi kekuasaan dan pemerintahan Prabowo lima tahun ke depan di NTT.
Dengan waktu yang semakin sempit, di mana putusan soal pasangan Melki untuk pilgub harus punya ending, maka PSI juga akan diundang untuk mendiskusikan ini. Dan di situ akan sangat tergantung pada putusan para elit KIM bersama Prabowo.
“Gerindra akan punya bobot posisi tawar yang lebih besar dalam musyawarah KIM. Sebab, Prabowo adalah presiden RI untuk lima tahun ke depan,” tandasnya.
“Pertanyaan sederhana, apakah Airlangga dan Zulkifli Hasan serta Kaesang bisa menolak usulan Gerindra untuk menduetkan Johni Asadoma dengan Melki di pilgub NTT ketika Prabowo sudah punya pilihan? Rasanya agak sulit di situ. Bukan tidak bisa, tapi agak sulit karena pasti semuanya bisa saling memahami dan saling menghormati demi kepentingan bersama mereka lima tahun ke depan,” tambahnya.
Ia juga menegaskan bahwa keputusan ini sulit berubah, kecuali ada semacam situasi anomali di luar kendali. Selama itu tidak ada, maka tiga ketum yang lain akan menerima putusan Prabowo soal pilgub NTT.
“Artinya, posisi Johni Asadoma sebagai bacawagub, setelah mendapat rekomendasi dari Gerindra, sudah lebih kuat. Karena koalisi KIM untuk pilgub NTT berpeluang menerima Johni. Apalagi dalam rapat KIM, tentu saja para ketum pasti mendengar suara Prabowo. Sehingga fakta bahwa politik itu masih bisa sangat dinamis dan kadang ada kejutan, tapi dalam kasus ini saya melihat bahwa Melki dan elit Golkar di Jakarta sudah setuju dengan suara Prabowo. Dan hampir pasti menjadi bacawagubnya Melki itu Johni Asadoma,” urainya.
Soal elektabilitas, memang dalam simulasi sejumlah lembaga survei, Jane Natalia masih unggul atas Asadoma. Tapi itu juga karena Asadoma selama ini sosialisasikan diri dan membranding dirinya sebagai bakal calon gubernur, bukan bakal calon wakil gubernur. Potret elektabilitas itu juga bersifat temporal sehingga akan sangat dinamis hingga hari H pencoblosan.
Peluang Johni untuk meningkatkan elektabilitas masih sangat terbuka. Karena secara ekonomi dan sumber daya, Johni itu mirip Jane. Dalam hal logistik dan infrastruktur politik, keduanya memiliki kemampuan yang cukup baik. Dengan topangan logistik dan jejaring yang sudah dibangunnya selama dua tahun menjadi kapolda, masih bisa menaikan elektabilitasnya.
“Apalagi sejak hari ini, sudah ada struktur Partai Gerindra yang akan bergerak hingga ke desa sesuai perintah Prabowo,” imbuhnya.
Terkait peluang PSI membelot dukungan pasangan lain dengan kepentingan Jane bacawagub dengan bermodalkan enam kursi di DPRD, Mikhael menyebut peluang itu sangat tipis. Karena fatsun politik itu etika. Sebab koalisi ini bukan hanya di pilgub NTT tetapi juga di pilgub dan pilkada yang lain.
Di provinsi dan kabupaten lain, kata Mikhael, Prabowo tentu mengakomodir kepentingan PSI juga. Sehingga ada semacam saling mengisi dalam koalisi. Demikian juga dengan PAN dan Partai Golkar juga Partai Demokrat. Sehingga, perpecahan atau sikap membelot dalam koalisi ini rendah. Kecuali ada figur kuat dari partai-partai juga berpeluang menang dan sudah lama didorong maju, maka mungkin ada pertimbangan lain.
Misalnya, diputuskan untuk mereka terpaksa saling berhadapan sebagaimana di Banten. “Tapi dalam kasus pilgub NTT, saya melihat peluang itu sungguh tipis. PSI dan Partai Gerindra tetap bersaudara dan bersama. Karena perbedaan ini sangat normatif dalam dinamika politik. Apalagi alasannya rasional dan bisa dipertanggungjawabkan dalam musyawarah bersama,” pungkasnya.
Sementara, pengamat politik dari Undana, Yohanes Jimmy Nami menyebut jika membandingkan eksistensi politik antara Johni Asadoma dan Jane Natalia Suryanto, berbasis pada data survei berbagai lembaga, tentu akan menunjukkan beberapa trend. Pertama, ketika masing-masing postur politik ini dinilai secara person by person ada kecenderungan menguntung Jane karena gaya komunikasi yang lugas selama ini ditampilkan serta keterlibatannya pada macam-macam aktivitas sosial.
Selain itu Jane sudah melewati pileg 2024 sebagai alat ukur terhadap aktivitas politiknya dan mendapatkan respon yang cukup baik dengan perolehan suara signifikan. “Ini jadi modal politik. Johni Asadoma baru saja melepaskan jabatan sebagai perwira Polri, butuh waktu untuk melakukan aktivitas politik dan pilgub menjadi satu-satunya instrumen untuk mengukur sejauhmana aktivitas politik untuk bisa dirasakan publik NTT,” katanya.
Kedua, peran parpol yang leluasa bagi Jane dan total dukungan secara organisatoris, demikian juga bagi Johni Asadoma yang didukung Partai Gerindra melalui kejelasan rekomendasi. Jika saja survei dilakukan pascaterbitnya rekomendasi, tentu akan mengubah konstelasi dan perspektif publik baik terhadap Jane dan Johni.
Ketiga, kata Jimmy, peta koalisi Melki Laka Lena didorongnya Johni Asadoma sebagai cawagub dari Partai Gerindra tidak cukup memberikan insentif elektoral secara signifikan jika merujuk pada hasil survei tapi akan memberikan insentif bagi peta koalisi, konsolidasi parpol koalisi.
“Johni Asadoma dan Jane Natalia Suryanto siapa yang paling tepat mendampingi Melki Laka Lena? Saat ini keduanya bisa jadi trigger bagi koalisi Melki, tergantung ruang mana yang secara elektoral paling minim risiko secara politik,” katanya.
Dukungan PSI Masih Menunggu Survei Internal
Ketua DPW PSI NTT, Christian Widodo ketika dikonfirmasi terkait posisi PSI di koalisi KIM, mengaku pihaknya masih berproses dan menunggu hasil survei internal.
“Sementara kita sudah kasih SK wagub untuk ibu Jane. Kita menunggu survei cagub berikut nanti mana yang paling bagus atau potensi menang kita akan gabung ke sana,” ujarnya.
Dikatakan bahwa PSI juga ingin menang. Sehingga semua menunggu survei internal PSI. “Belum pasti kita masih berproses menunggu survei internal PSI,” jawab anggota DPRD NTT itu ketika ditanya terkait dukungan ke Melki dan berkoalisi dengan Partai Golkar. (cr6/ays/dek)