ROTE, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Calon bupati Rote Ndao, Paulus Henuk menegaskan untuk membangun Kabupaten Rote Ndao yang terus berkembang maka semangat persatuan dalam satu kesatuan harus menjadi spirit perjuangan semua kalangan. Sekat-sekat wilayah, agama, politik harus dihilangkan. Semua kalangan harus dirangkul menjadi satu.
“Semangat Ita Esa yang berarti kita satu, tidak boleh lagi ada sekat-sekat, baik itu sekat suku, wilayah, agama, politik. Semua stakeholder yang ada di Kabupaten Rote Ndao harus diajak dan dirangkul menjadi satu. Itulah yang akan saya praktekkan jika atas ijin Tuhan saya menjadi Bupati Rote Ndao,” ungkap Paul Henuk pada satu kesempatan.
Menurut dia, semangat Ita Esa yang ia dengungkan sebagai taglinenya merupakan buah pemikirannya selama lima tahun menjadi anggota DPRD Kabupaten Rote Ndao. Bahwa, kabupaten ini hanya bisa dibangun jika semua bersatu.
“Kita adalah satu, Ita Esa, artinya kita membangun dengan merangkul sebanyak mungkin pikiran dan hati,” ujarnya lagi.
Tak hanya merangkul semua stakeholder yang ada di kabupaten itu, Paul Henuk juga berjanji akan menghadirkan pikiran-pikiran warga diaspora Rote Ndao, baik yang ada di Kupang, Jakarta maupun diaspora yang berada di kota-kota besar lainnya.
“Pemikiran mereka sangat kita butuhkan untuk membangun daerah tercita,” katanya.
Ia kembali mengingat ketika Kabupaten Rote Ndao baru berdiri sebagai daerah otonom 20-an tahun lalu. Saat itu, ungkapnya, ada spirit spirit atau gerakan mai fali e yang artinya mari pulang ke kampung. Mai fali e ditujukan secara fisik agar warga diaspora kembali ke Rote untuk membangun dan mengisi jabatan-jabatan eksekutif, karena sebagai kabupaten baru membutuhkan SDM guna membantu bupati, Sekda yang sudah terisi saat itu.
“Saat itu, kita membutuhkan orang-orang dari Kabupaten Kupang, Kota Kupang, provinsi atau kabupaten lain yang ada orang Rotenya. Bahkan ada juga orang Non Rote yang dipandang memiliki kemampuan khusus yang bisa mengisi karena SDM kita yang kurang untuk datang ke Rote,” tuturnya.
Berbeda dengan saat ini. Gerakan mai fali e saat ini, adalah mengajak diaspora untuk membangun dalam konteks bukan lagi ditujukan secara fisik tapi akan lebih mengembangkan itu ke gerakan hati dan pikiran. Spirit ini, katanya lagi, jika tarik lebih ke hal Agama, sama seperti Ester dan Mordekhai, dua saudara sepupu dalam cerita Alkitab.
“Bagaimana Ester yang keturunan Yahudi, kemudian bagaimana Mordekhai membangunkan orang-orang Yahudi dari luar kerajaan. Dia masukan Ester ke dalam sebagai Ratu, tapi di saat yang bersamaan dia memberikan pikiran bagaimana mempengaruhi raja untuk menyelamatkan orang Yahudi,” katanya mengibaratkan kisah dalam Alkitab.
“Ke depan, spirit ini saya tawarkan kepada orang Rote yang mungkin lahir di tempat lain tapi asal usul mereka dari Rote, marga mereka orang Rote. Tolong kasih pikirannya untuk membangun Rote Ndao,” ucapnya.
Namun semua itu, sambungnya lagi hanya bisa terjadi jika seorang pemimpin mempunyai sifat terbuka terhadap semua pihak. Seorang pemimpin harus memiliki sifat yang terbuka, pikiran dan hatinya menerima masukan dan kritikan untuk memperbaiki sesuatu.
“Kalau kita menutup diri terhadap masukan, apalagi masukan yang konstruktif dari luar maka kita tidak bisa berkembang. Makanya selalu saya bilang tidak bisa ada orang yang memimpin sebuah daerah lalu bertumpuh pada dirinya bahwa dia bisa tau semua hal. Tidak mungkin itu, setinggi apapun sekolahnya dia harus bisa menerima masukan. Ke depan kita akan bangun Rote seperti itu sehingga gerakan mai fali e, semangat Ita esa adalah merangkul semua orang, membuka diri terhadap masukan dari semua pihak,” tegasnya.
Dan saya selalu ingat sebuah adigium yang mengatakan , satu musuh terlalu banyak, seribu kawan terlalu sedikit. Jadi jangan ciptakan musuh sebanyak mungkin, tapi merangkul banyak orang, bergandengan tangan untuk membangun Kabupaten Rote Ndao,” demikian katanya. (*/yl)