Ama Rohi: Masyarakat Adat Liae Dijajah dan Dikriminalisasi

  • Bagikan
IST TERDAKWA. Keempat orang terdakwa kasus dugaan tindak pidana penebangan pohon di kawasan hutan lindung didampingi penasehat hukumnya memberikan keterangan usai sidang perdana di PN Kelas 1A Kupang, Kamis (15/8).

KUPANG, TIMEXKUPANG,FAJAR.CO.ID- Kasus dugaan tindak pidana penebangan kayu pada kawasan hutan lindung Duruma Lari Lobodue, Desa Raemude, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai disidangkan.

Perkara dengan empat orang terdakwa masing-masing Yakub Haba Lawa alias Jack alias Ama Rohi, Titu Manno alias Boo, Heryanto Leo Pa alias Hae Ratu dan terdakwa Didimus Lado Logo alias Mapole teregister di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Kupang dengan nomor perkara: 137/Pid.Sus-LH/2024/PN Kpg dan 138/Pid.Sus-LH/2024/PN Kpg.

Sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum (JPU) ini digelar di ruang sidang Cakra dipimpin majelis hakim Agus Cakra didampingi dua orang hakim anggota masing-masing Putu Dima dan Ahmad Rosyadi ini digelar Kamis (15/8).

Terdakwa Yakub Haba Lawa alias Ama Rohi usai sidang mengaku mendapat perlakuan tak adil dari aparat kepolisian Polda NTT dalam kasus tersebut.

“Kami masyarakat adat seharusnya dilindungi, tapi kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Terkesan, kami dijajah dan dikriminalisasi. Sedangkan tujuan kami membangun rumah adat untuk kepentingan masyarakat adat. Namun, ternyata kami diperlakukan seolah tidak ada artinya,” kata pria yang akrab disapa Jeck itu.

Ia mengurai, berawal pada Februari 2023, masyarakat adat Gopo merencanakan pembangunan rumah adat. Rencana pembangunan ini juga mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

“Pak Bupati dan Dinas PUPR sempat memantau langsung lokasi pembangunan serta membantu alat berat untuk pembukaan jalan,” katanya.

Usai mempersiapkan lokasi pembangunan rumah adat, pihak kemudian mempersiapkan bahan bangunan berupa kayu. Sedangkan, sesuai aturan adat, tiang yang digunakan harus dipotong berkisar bulan Mei-September. Karena dikejar waktu, pihaknya kemudian mempersiapkan kayu yang akan digunakan pada bulan September.

“Sebelum penebangan pohon, saya berkoordinasi dengan UPT Kehutanan Sabu Raijua dan disetujui oleh petugas kehutanan atas nama Karel,” ungkapnya.

Selain itu, pihaknya juga melakukan ritual adat dengan menyimpan sesajen sebagai bentuk pemberitahuan dan permohonan izin kepada leluhur mereka tentang maksud dan tujuan dilakukan penebangan pohon nantinya.

Lebih lanjut, kata Ama Rohi, diameter tiang yang dibutuhkan harus besar dan sesuai desain. Pembangunan rumah adat itu membutuhkan 54 tiang.

“Ada 34 pohon johar (kayu besi) yang ditebang. Dari 54 tiang yang dibutuhkan, dua tiang berukuran 13 meter, 12 tiang berukuran 8 meter, 18 tiang ukuran 6 meter dan 22 tiang ukuran 4 meter,” jelasnya.

Kegiatan penebangan itu dilakukan selama dua hari tanpa adanya persoalan. Namun, menjelang beberapa hari kemudian baru ada panggilan dari Polres Sabu Raijua bahwa ada laporan masyarakat terkait aktivitasnya liar di kawasan hutan. Polisi kemudian memasang police line di lokasi penebangan kayu.

“Kami kaget, sejak kapan wilayah itu masuk kawasan hutan yang dilindungi. Sedangkan, di lokasi ada permukiman warga, ada tempat ritual masyarakat adat dan kebun warga,” ungkapnya.

Tidak ada niat sesuai yang dituduhkan, terdakwa mendatangi Polres Sabu Raijua guna mengklarifikasi dan menyampaikan tujuan penebangan pohon tersebut. Dari kepolisian juga menyatakan jika masuk kawasan, tetapi dikecualikan untuk masyarakat adat.

“Jadi, Polres tidak proses kasus ini. Tiba-tiba dari Polda bersurat untuk minta klarifikasi. Kemudian diikuti dengan surat pemanggilan pemeriksaan sebagai saksi dan penetapan tersangka,” kisahnya.

Merasa masyarakat adat dikriminalisasi dan terkesan dijajah, Ama Rohi tidak tinggal diam. Ia mengadukan hal itu ke pemerintah pusat melalui Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbudristek. Merespon laporan tersebut, telah dilakukan rapat koordinasi lintas sektor.

“Hasil rapat yang melibatkan semua pihak termasuk kepolisian dan kejaksaan ini diminta agar masalah diselesaikan secara non litigasi namun permintaan penyelesaian itu diabaikan penyidik Polda NTT,” pintanya.

Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat juga mendatangi kampung adat Gopo dan menyaksikan langsung TKP pada tanggal 10 Juni 2024.

“Orang kebudayaan juga heran. Wilayah tersebut masuk kawasan hutan,” sebutnya.

Ia juga membeberkan sejumlah kejanggalan dalam perkara yang dihadapinya itu. Menurut barang bukti kayu juga sudah berubah. Ukurannya sudah di perpendek, lebih banyak dan ada jenis kayu lain yang bukan hasil penebangan mereka.

Selain itu berita acara penyitaan barang bukti juga tidak sesuai tanggalnya. Terhadap perbedaan itu dirinya menolak untuk ditandatangani dengan mencantumkan alasan-alasannya.

“Yang mereka klaim sebagai kawasan hutan ini masuk Desa Eilogo bukan Desa Raemude. Selamat ini, di batas desa tidak papan batas desa, sudah ada kasus baru mereka pasang papan batas desa,” ungkapnya.

Terhadap dakwaan JPU yang dinilai tidak sesuai itu, pihaknya menyatakan eksepsi dan berharap majelis hakim mengadili perkara ini secara cara adil dengan memperhatikan aturan-aturan tentang masyarakat adat baik itu Perda, maupun Undang-undang tentang masyarakat adat. (cr6/gat/dek)

  • Bagikan