PDIP Tetap Keluarkan Rekom Pilkada Sesuai Syarat MK
JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Akrobat politik dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengkebiri putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah. Tak hanya ambang batas, Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR juga mengubah batas usia calon kepala daerah. Anies Baswedan potensial kembali terjegal dan Kaesang Pangarep berpeluang lolos calon kepala daerah.
Rabu (21/8) DPR menggelar rapat kerja bersama dengan pemerintah untuk membahas revisi Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-undang atau RUU Pilkada. Rapat kerja dengan pemerintah itu berlangsung singkat dengan keputusan menggelar rapat Panja Baleg revisi UU Pilkada.
Dalam rapat panja inilah keputusan MK sehari sebelumnya diubah. Putusan berupa syarat usia minimum calon kepala daerah terhitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU, diubah kembali dengan terhitung sejak pelantikan calon terpilih.
Dalam rapat tersebut, awalnya memperdebatkan antara putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 yang menyebut calon gubernur dan wakilnya minimal berusia 30 tahun saat dilantik sebagai pasangan calon.
Beberapa fraksi menunjukkan sepakat untuk merujuk ke putusan MA. Pimpinan rapat Achmad Baidhowi mengambil kesempatan itu untuk mengakomodasi keputusan MA dalam revisi tersebut.
"Merujuk ke MA ya? Lanjut," paparnya dalam rapat. Fraksi PDIP pun memprotes hal tersebut.
Anggota Baleg Fraksi PDIP Putra Nababan mempertanyakan keputusan untuk mengakomodir putusan MA. Sebab, keputusan diambil secara terburu-buru dan tidak menghitung setiap fraksi yang menyetujui.
"Sudah dihitung setiap fraksi, siapa setuju dan siapa tidak setuju," jelasnya.
Namun begitu, Achmad Baidhowi menampik protes Fraksi PDIP tersebut. Menurutnya, PDIP telah diberikan kesempatan untuk berbicara.
"Kan PDIP sudah diberikan kesempatan berpendapat, saya kira fair saja," ujarnya.
Rapat pun dilanjutkan mengabaikan protes dari PDIP tersebut.
Pembahasan juga menyentuh ke putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Baleg mengakali putusan MK yang melonggarkan ambang batas menjadi hanya untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD. Hal itu diatur dalam Pasal 40 revisi UU Pilkada.
Sedangkan, untuk ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan kepada partai-partai yang memiliki kursi di parlemen. Dalam rapat tersebut, tidak tampak perlawanan berarti terkait pengubahan putusan MK tersebut.
"Panja menyetujui usulan DPR," terang Achmad Baidhowi.
Pembahasan revisi UU Pilkada ini pun tuntas pukul 16.55. Pimpinan rapat Achmad Baidhowi meminta persetujuan peserta rapat untuk menetapkan hasil pembahasan RUU hingga bisa diproses lebih lanjut menjadi peraturan perundang-undangan. Anggota Baleg pun menjawab setuju.
"Terima kasih kepada semua fraksi karena telah menyampaikan pendapatnya," ujarnya.
Kilatnya pembahasan revisi UU Pilkada ini disambut dengan rapat paripurna yang bakal digelar hari ini, Kamis (22/8). Sudah beredar undangan rapat paripurna untuk membahas RUU Pilkada pada pukul 09.30 di ruang rapat paripurna, gedung Nusantara. Surat tersebut ditandatangani oleh Kepala Biro Persidangan I Arini Wijayanti. Bila RUU Pilkada disahkan, maka revisi ini sangat cepat alias kilat karena hanya dibutuhkan waktu satu hari.
Sementara Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Atgas menuturkan bahwa pemerintah hanya merespon perkembangan dan fakta dalam persidangan. Lalu ada daftar inventarisir masalah (DIM) baru.
"Kami akan menunggu ini tidak langsung," ujarnya.
Sebab, pemerintah belum mengetahui kapan adanya rapat paripurna. Memang sudah ada jadwal rapat paripurna hari ini, Kamis (22/8). Namun, belum ada kepastian apakah revisi ini akan sampai ke sidang paripurna dan menyetujui menjadi undang-undang
"Ya ini masih di DPR, dinamika politik masih bisa berkembang," tuturnya.
Kabarnya, Menkumham juga sempat dipanggil Presiden Jokowi terkait pembahasan revisi UU Pilkada. Terkait itu, dia mengakui memang dipanggil Presiden Jokowi soal undang-undang. Namun, bukan terkait revisi UU Pilkada, hanya soal UU Perkoperasian.
"Yang pasti kalau pada akhirnya parlemen menyetujui ini menjadi UU, pemerintah setuju saja," terangnya.
Dia menampik bahwa DPR dan pemerintah melakukan pembangkangan konstitusi. DPR memiliki dasar hukum dalam membuat undang-undang. "Siapa bilang DPR melakukan pembangkangan hukum," urainya.
Sementara itu, PDIP mengkritik keras langkah pemerintah dan DPR yang merevisi UU Pilkada untuk mengakali putusan MK. Juru bicara PDIP Chiko Hakim mengatakan, Indonesia menganut negara hukum. Di mana di dalamnya ada aturan yang jelas untuk membagi posisi dan memiliki kewenangan masin-masing.
Dalam hal menilai produk legislasi, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang berwenang memberikan penafsiran atas norma UU. Dalam konteks persyaratan calon kepala daerah, MK telah menyampaikan pendapatnya. Sehingga DPR dan pemerintah tidak boleh melangkahi tafsir MK.
"Tidak masuk akal apabila sebuah putusan dari MK kemudian dikoreksi lagi oleh lembaga lain," ujarnya kemarin.
Baginya, tindakan membangkangi putusan MK juga melanggar etika bernegara.
Oleh karenanya, PDIP berharap DPR dan pemerintah bisa patuh dan menjalankan apa yang sudah menjadi putusan dari MK. Chiko menegaskan, sikap PDIP hari ini bukan karena partainya senang atau diuntungkan putusan MK. Melainkan kepatuhan dan penghormatan pada hukum.
"Keputusan MK kita lihat memang sangat progresif dan berpihak pada rakyat dan demokrasi, yaitu memberikan ruang untuk adanya keberagaman," tuturnya.
Meski ada dinamika di baleg, Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri akan mengumumkan 169 bakal calon kepala daerah yang diusung di pilkada serentak 2024 hari ini. Hal itu disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristyanto kepada media.
"Total yang akan diumumkan 169 bakal paslon," ujarnya.
Sekjen PDIP ini tidak menjelaskan apakah bakal calon untuk pilkada DKI Jakarta termasuk yang akan diumumkan. Mengingat keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 yang memungkinkan PDIP untuk mengusung calon.
Namun Hasto menegaskan, pengumuman bakal paslon yang diusung PDIP ini akan menggunakan landasan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 60 yang kemarin dibacakan.
"Detail nama bakal pasangan calon dan wilayahnya akan disampaikan besok," terangnya.
Sikap PDIP tersebut lanjutnya, didasarkan pada komitmen untuk membangun demokrasi yang menempatkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. PDIP menilai tidak ditemukan alasan yang kuat untuk tidak segera memasukan poin-poin putusan MK tersebut ke dalam PKPU. Termasuk keputusan 70 yang mengatur persyaratan usia minimum harus dipenuhi ketika mendaftarkan.
Pria asal Yogyakarta itu mengatakan seperti gelombang pertama, maka agenda pengumuman calon kepala daerah gelombang kedua ini pun dilakukan secara serentak secara hybrid. "Yang akan hadir di kantor DPP PDIP adalah perwakilan dari bakal calon dari sejumlah provinsi/kabupaten/kota.
Politikus PDIP Masinton Pasaribu mengisyaratkan partainya akan mengusung Anies Baswedan menjadi bakal calon gubernur DKI Jakarta 2024.
"Ada Anies insyaallah nanti pada 27 Agustus. Jika PDIP mencalonkan Anies," ujarnya setelah rapat Baleg.
Menurutnya, partai-partai tidak perlu takut dengan adanya RUU Pilkada. PDIP akan tetap konsisten memegang teguh putusan MK yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah. "Biar rakyat yang menjadi saksi untuk memperjuangkan demokrasi," terangnya.
Dia pun mengajak partai-partai yang memenuhi syarat sesuai putusan MK untuk mendaftarkan Anies ke KPU.
"Saya ajak partai-partai yang sesuai syarat dari putusan MK untuk menggunakan haknya," paparnya.
Ketua Majelis Kehomatan MK (MKMK) I Dewa Gede Palguna juga mengkritik sikap Baleg. Baginya, itu bukan contoh yang baik.
"Cara ini, buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan," ujarnya.
Padahal Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang oleh konstitusi ditugasi untuk mengawal UUD 1945. Perilaku Baleg, lanjut Palguna, akan dihadapkan dengan rakyat, kalangan civil society serta kalangan kampus.
Sementara itu, forum pembelajar Hukum Tata Negara atau Constitutional and Administrative Law Society mengkritik langkah DPR. Ketua Presidium CALS Bivitri Susanty mengatakan, upaya revisi UU Pilkada menunjukkan Presiden Joko Widodo beserta partai politik pendukungnya tengah mempertontonkan pembangkangan konstitusi.
Langkah itu juga bentuk pamer kekuasaan yang eksesif tanpa kontrol. "Seolah ia merupakan hukum, bahkan melebihi hukum dan sendi-sendi konstitusionalisme," ujarnya, kemarin.
Rezim yang otokratis itu, lanjut dia, telah melanggengkan praktik otokrasi legalisme. Tujuannya untuk mengakumulasikan kekuasaan hingga ke level pemerintahan daerah.
Upaya demikian, dinilai telah mendelegitimasi pilkada 2024 sejak awal. "Sebab aturan main pilkada diakali sedemikian rupa untuk meminimalisasi kompetitor dengan menutup ruang-ruang kandidasi alternatif," imbuhnya.
Oleh karenanya, Bivitri menilai pembangkangan konstitusi oleh presiden dan partai politik pendukungnya harus dilawan. Pihaknya meminta presiden dan DPR menghentikan revisi UU Pilkada dan mematuhi MK dengan mengubah PKPU.
"Jika revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan putusan MK, maka segenap masyarakat sipil bisa melakukan pembangkangan sipil untuk melawan tirani," tegasnya.
Pakar kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini mengingatkan jika putusan MK final dan mengikat. Jika tidak dilaksanakan, maka bisa berakibat pada kecatatan pelaksanaan pilkada. "Bila terus dibiarkan berlanjut, maka pilkada 2024 adalah inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan," ujarnya.
Dalam sistem hukum Indonesia, MK adalah penafsir konstitusi satu-satunya yang memiliki kewenangan menguji UU. Maka pemerintah, DPR dan semua elemen bangsa harus menghormati dan tunduk pada putusan MK dengan tanpa kecuali.
"Ketika MK sudah memberi tasir, maka itulah yang harus diikuti semua pihak. Senang atau tidak senang," tegasnya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga (Unair) Radian Salman meminta agar DPR menghentikan pembahasan revisi UU Pilkada tersebut.
"Melanjutkan pembahasan ini, apalagi bertentangan dengan MK, maka mereka akan mewariskan keburukan demokrasi," terangnya kepada Jawa Pos (grup Timex) kemarin.
Revisi UU Pilkada di masa akhir jabatan, hanya akan membuat DPR makin ditinggalkan rakyat. Apalagi, revisi ini terkesan mendadak dengan pikiran yang sangat pragmatis jangka pendek. Bukan kepentingan jangka panjang sebagaimana niat peraturan perundangan dibuat.
Dalam revisi UU Pilkada itu, terang bahwa DPR tak memperharikan putusan 60 dan 70 MK. Padahal salah satu fungsi legislasi adalah menindakjanjuti putusan MK.
"Baik sesuai amar dan pertimbangan hukum dari putusan MK tersebut," katanya.
Radian pun mengingatkan soal bahwa MK pernah mengeluarkan putusan Nomor 98/PUU-XVI/2018. Di mana, bahwa segala UU yang dibuat dan bertentangan dengan putusan MK itu bisa disebut ilegal. Sebab munculnya setiap putusan MK tersebut muncul akibat adanya dispute atau sengketa dari UU yang dibuat. Sementara UU itu dibuat atas dasar konsesus.
"Karena putusan tersebut tercipta akibat adanya dispute, maka segala putusan MK harus diikuti," katanya.
Di luar itu, adanya grusa grusu DPR cepat-cepat membahas revisi UU Pilkada tak lain dari efek bahaya tak adanya oposisi. Semua partai ikut blok penguasa. Padahal putusan 60 dan 70 MK tersebut bertujuan untuk mengurangi bahasa konsentrasi kekuasaan di parlemen hanya satu kubu.
Istana akhirnya buka suara terkait hal ini. Melalui siaran pers, Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara terkait perubahan aturan pilkada. "Iya, kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara. Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," ujarnya.
Jokowi menekankan bahwa dinamika seperti ini adalah bagian dari proses konstitusional yang harus dijalani dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keputusan MK dan pembahasan DPR menurutnya merupakan bagian dari mekanisme checks and balances yang diatur dalam undang-undang dan konstitusi.
Sebelumnya, Kepala Badan Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyatakan RUU Pilkada merupakan inisiatif DPR. Dalam aturan itu menetapkan batas usia cakada minimal 30 tahun saat pelantikan. Yang jadi janggal adalah RUU ini diajukan sejak November 2023 dan Supres dikeluarkan Januari lalu tapi baru dibahas kemarin. “Kami tidak tahu apa yang membuat belum dibahas. Mungkin karena pemilu,” ucapnya membela.
Dengan pembahasan RUU Pilkada di Baleg, maka ada potensi putusan MK tidak diindahkan. Menanggapi ini, Hasan kembali mengajak untuk menghormati langkah masing-masing lembaga negara.
“Saya minta jangan berprasangka macam-macam dulu,” katanya. (far/idr/elo/lyn/jpg/ays/dek)