Kenyang Tidak Harus Makan Nasi

  • Bagikan

Kembalikan Daulat Pangan NTT

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sama dengan Komunitas Penjaga Budaya Helong gelar Wicara Pangan Lokal bertajuk “Daulat Pangan, Merdeka Budaya".

Kegiatan yang berlangsung di Kampung Helong, Kelurahan Kolhua, Kota Kupang, Jumat (30/8) menghadirkan Dicky Senda dari Komunitas Lakoat Kujawas sebagai pembicara dan dipandu Christin Gegung sebagai moderator.

Acara ini juga dihadiri langsung Rinto Tri Hasworo, Staf Khusus Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI Provinsi NTT Made Dharma Suteja, tokoh masyarakat, dan ratusan anak-anak.

Dalam pemaparannya, Dicki Senda menyampaikan keprihatinannya terhadap hilangnya berbagai jenis makanan dan minuman tradisional di daerahnya.

"Di Kapan, kami menemukan lebih dari 90 jenis makanan dan minuman. Namun, banyak di antaranya sudah sulit ditemukan karena bahan-bahan pembuatnya makin langka dan cara pengolahannya mulai dilupakan," ungkap Dicki.

Untuk mengatasi hal ini, Dicki bersama komunitasnya mendirikan Food Lab, sebuah laboratorium pangan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan penelitian berbagai jenis pangan lokal. Selama delapan tahun terakhir, mereka memantau pasar Kapan untuk mengidentifikasi jenis makanan yang mulai hilang.

Rinto Tri Hasworo, Staf Khusus Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek menegaskan bahwa pemerintah pusat bukan lagi sebagai eksekutor sesuai undang-undang kebudayaan nomor 5 tahun 2017 dan terbukti komunitas lah yang berperan dengan difasilitasi oleh BPK wilayah XVI.

Terhadap pangan lokal, Rinto mengatakan bukan soal meromantsir masa lalu tetapi bagaimana melihat situasi perubahan iklim yang terus terjadi dan berapa besar lahan sebagai penyokong beras sebagai makan pokok.

“Bukan soal enak dan sama dengan makan-makan kekinian lainnya. Makanan pokok masyarakat NTT adalah nasi tetapi berapa besar sawah yang bisa memproduksi beras. Sedangkan lebih banyak didatangkan dari luar,” katanya.

Dengan siklus perubahan iklim juga berdampak kepada hasil produksi pertanian. Apa lagi salah ini sangat masih terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.

“Jika hasil produksi stagnan, jumlah penduduk semakin bertambah maka akan sangat terganggu ketika rantai pasok makan terganggu,” sebutnya.

Untuk itu, pangan lokal bukan saja meromantisasi masa lalu nenek moyang tetapi lebih kepada menggantikan pangan dari luar NTT.

“Kenyang itu tidak harus dengan nasi. Makan apa yang kita tanam atau sebaliknya tanam apa yang kita makan bukan makan apa yang datang dari luar,” pintanya.

Ia menyebut untuk beralih ke pangan lokal memang membutuhkan kerendahan hati. Harus menghilangkan gengsi terhadap makanan lokal.

Ditegaskan bahwa kedaulatan pangan bukan hal baru bagi masyarakat NTT sebab meninggalkan pangan lokal belum lama jadi ketika kembali ke pangan lokal bukan sesuatu yang baru tetapi hanya kembalikan apa yang pernah ada.

“Ini hanya soal mandset atau cara pandang kita. Dulu gerakan revolusi hijau dan menjadikan beras sebagai makan pokok bukan saja produknya yang dikirim tetapi cara pandangnya juga ada. Jadi kalau mau dipandang sebagai bangsa atau daerah maju maka harus makan nasi,” ungkapnya.

Dikatakan Dirjen Kebudayaan tengah menerapkan sekolah lapangan kearifan lokal di tiga kabupaten di NTT yakni Flores Timur, Sikka dan Kabupaten Alor. Diharapkan ini menjadi gerakan yang dimulai dari sekolah (orang tua dan siswa).

“Kita ingin merubah mandset tentang makan lokal. Dan pangan lokal sendiri akan menjadi materi pelajaran Mulok,” katanya.

Sementara, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI Provinsi NTT, Made Dharma Suteja, menegaskan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari upaya pelestarian pangan lokal berdasarkan visi dan misi lembaganya, yakni melindungi dan mengembangkan pemanfaatan kembali sumber daya budaya kepada masyarakat lokal.

"Saat ini kami mulai dari Kupang, dan nantinya kegiatan ini akan meluas ke seluruh wilayah di NTT," ujarnya.

Made menambahkan bahwa pangan lokal perlu dijadikan sesuatu yang menarik tidak hanya sebagai makanan, tetapi juga sebagai materi edukasi bagi masyarakat.

"Kami berusaha menjembatani konektivitas antara generasi, pemerintah, komunitas, dan masyarakat lokal untuk mempertahankan dan mengembangkan pangan lokal," jelasnya.

Made juga menekankan pentingnya memahami bahwa di NTT terdapat berbagai jenis makanan yang diolah dan dikonsumsi masyarakat pada bulan atau musim tertentu.

Kata dia, pengetahuan ini akan disosialisasikan mulai dari rumah hingga sekolah-sekolah, dengan harapan agar pengetahuan tentang pangan lokal dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, terutama di tingkat SMK.

Lebih lanjut, Made menyatakan bahwa pihaknya ingin membuat infografis, gambar menarik, hingga film pendek terkait pangan lokal untuk lebih mempopulerkan budaya pangan tradisional NTT.

Ia juga mengajak Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya, seperti dinas pertanian dan Dekranasda dan dinas terkait lainnya untuk bersama-sama mengsosialisasikan pentingnya pangan lokal kepada masyarakat.

"Kami berharap pangan lokal di NTT mendapat perhatian serius dari semua pihak. Dengan kekayaan jenis bahan pangan lokal yang kita miliki, NTT bisa maju di bidang pangan," tutup Made.

Ketua Komunitas Penjaga Budaya Helong, Rally Bistolen mengatakan dalam upayah menjaga pangan lokal, mereka telah melaksanakan festival budaya helong secara bertahap sejak tahun 2022.

"Festival itu, kami pamerkan pangan lokal yang ada di etnis helong kepada masyarakat,"ungkapnya.

Pengembangan pangan lokal ini, kata dia akan terus dikembangkan dan dipayakan menjadi bagian dari pelestarian budaya di Provinsi NTT.

Sebagai tuan rumah, ia berharap kegiatan ini dapat diketahui oleh masyarakat di NTT, terutama Kota Kupang untuk dapat mengenal lebih jauh pentingnya pangan lokal untuk kehidupan manusia. (cr6/gat/dek)

  • Bagikan

Exit mobile version