KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang melalui Pusat Studi Jasa Konstruksi (PSJK) gelar Focus Group Discusion (FGD) bertajuk Tindakan Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Jasa Konstruksi (Jakon) dengan melibatkan Aparat Penegak Hukum (APH), pengadilan dan akademisi.
FGD yang berlangsung di Hotel Harper Kupang, Sabtu (31/8) ini bertujuan untuk menyamakan persepsi penerapan Undang-Undang Jakon pada perkara korupsi.
Ketua PSJK UCB, Andreas Wellem Koreh mengaku, sejak lembaga pengabdian kepada masyarakat yang dibentuk tanggal 10 Juli 2023 oleh Kementerian PUPR dan LPJK berbagai laporan masyarakat diterima.
Laporan tersebut berkaitan dengan persoalan Jakon yang merugian keuangan negara. Terhadap aduan masyarakat ini, PSJK menginisiasi diskusi tersebut dengan tujuan menyamakan persepsi.
Mantan Kadis PUPR NTT ini menjelaskan bahwa kegiatan tersebut hanya menyamakan persepsi dengan para pihak karena dalam dakwaan-dakwaan korupsi ada ahli yang berpendapat bahwa telah terjadi kerugian negara dalam jasa konstruksi. Sedangkan dari ahli Jasa Konstruksi, ada hal yang sebenarnya tidak masuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Artinya ada persepsi yang berbeda dalam objek yang sama (Tipikor).
“Kami melihat bahwa ada mis persepsi disini. JPU biasa hanya menggunakan ahli yang memberatkan. Sedangkan pihaknya memiliki ahli konstruksi, kontrak, menejemen proyek, ahli sumber daya air, ahli struktur ahli arsitektur. Kami berkesimpulan bahwa ada ketidaksamaan persepsi,” katanya.
Dalam dinamika diskusi, kata Andre, JPU berpandangan bahwa yang mereka lihat adalah niatnya, perbuatan melawan hukumnya. Sedangkan, Jakon memiliki undang-undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jakon maka seharusnya menjadi lek spesial yang harus ditaati oleh semua pelaku jasa konstruksi namun dalam perjalanan, ketika ada dugaan pidana, APH langsung menggunakan undang-undang Tipikor.
“Sanksi di undang-undang jasa konstruksi tidak ada pidananya melainkan perdata. Persepsi inilah yang perlu kita samakan,” katanya.
Ditegaskan persoalan yang terjadi pada Jakon, yang harus dilihat itu adalah perjanjiannya.
“Tidak semua kegagalan bangunan atau tidak semua kerusakan bangunan itu adalah Tipikor. Ada undang-undang yang dilanggar tapi bukan undang-undang Tipikor. Sebab semua kontraktor dan jasa konstruksi berniat untungkan negara bukan merugikan keuangan.
Keuntungannya dilihat dari manfaat yang diperoleh, asas manfaat, kualitas pekerjaan, kuantitas administrasi dan efisiensi. Itu semua mesti disamakan dulu.
Ia mengakui, dalam undang-undang Jakon juga memiliki korupsi tetapi di bagian mana ia melanggar. Undang-undang ini belum diterapkan tapi APH sudah lompat menggunakan undang-undang korupsi.
Ia menganolikan seperti dugaan kasus pembunuhan yang harus di otopsi oleh dokter forensik gunakan memastikan penyebab kematian korban meski di TKP ada pisau yang digunakan pelaku untuk membunuh korban. Hal yang sama juga terjadi pada Jakon. Setiap kerusakan belum tentu korupsi. Maka harus ada penjelasan dari ahli konstruksi untuk membuat terang dan jelas persoalannya.
“Melalui FGD ini menjadi bahan untuk edukasi dan sosialisasikan kepada masyarakat,” harapnya.
Don Arkian, Arsitek mengatakan bahwa secara umum cara pandang APH dan pelaku Jakon terhadap tindak pidana korupsi pada Jakon berbeda.
Menurutnya, hukum atau dasarnya adalah kontrak. Kontak yang mengacu pada undang-undang nomor 2 tahun 2017 dengan sipitnya adalah perdata. Sehingga APH dengan dalil laporan masyarakat maka dari kacamata undang-undang Tipikor tidak bertemu.
Ketika ada masalah dalam Jakon, maka para pihak yang terikat dalam kontrak lah yang dimintai pertanggungjawaban terutama PPK. Dan semuanya diatur semuanya. Jika ada persoalan maka disitulah terjadinya wanprestasi
“Semuanya diatur secara jelas disana. Konsekuensi terbesarnya adalah wanprestasi atau tanahnya perdata bukan ranah pidana,” ungkapnya.
Ia mengatakan masalah jasa konstruksi terdapat dua timeline yakni gagal konsentrasi dan gagal bangun. Untuk gagal konstruksi terjadi selama tahapan pembangunan dan APH belum masuk karena bisa diperbaiki. Sedangkan gagal bangunan baru bisa disebut gagal setelah dinilai oleh ahli dalam rentan waktu 10 tahun pasca PFHO.
“Yang bisa menilai gagal bangunan di NTT hanya satu orang,” katanya.
Dikatakan dalam proses kontrak, aturan yang digunakan adalah undang-undang Jakon sedangkan ketika ada persoalan aturan yang dipakai maka harus ada persepsi yang sama.
“APH jangan serta merta mengguna undang-undang Tipikor. Lihat juga undang-undang Jakon,” harapnya. (cr6/gat)