Warga Kendal Gugat UU Pilkada ke MK

  • Bagikan
NET BERI KETERANGAN. Kuasa hukum warga Kendal Harseto, Viktor Santoso Tandiasa mengajukan judicial review (JR) atau uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konsitusi (MK), Selasa (3/9).

Persoalkan Cuti Cakada Tak Sama dengan Capres

JAKARTA,TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Seorang warga Kabupaten Kendal, Jawa Tengah bernama Harseto Setyadi Rajah, mengajukan judicial review (JR) atau uji materi ke Mahkamah Konsitusi (MK).
Uji materi itu untuk menguji Pasal 70 Ayat (3) Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tentang masa cuti kepala daerah pada masa kampanye Pilkada Serentaj 2024.

Kuasa hukum Harseto, Viktor Santoso Tandiasa menjelaskan, kliennya merasa dirugikan dengan ketentuan UU Pilkada. Sebab, kepala daerah petahana yang kembali mencalonkan diri di daerah tersebut harus menjalani cuti penuh selama masa kampanye.

Pasalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan masa kampanye dilaksanakan sejak tanggal 25 September 2024 sampai dengan 23 November 2024 atau selama 60 hari pada kalender.

"Artinya jika mengikuti ketentuan norma a quo, calon Kepala Daerah petahana harus menjalani cuti selama 60 hari, dan untuk menutupi kekosongan jabatan Kepala Daerah selama ditinggalkan cuti akan diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) atau Penjabat Sementara (Pjs) Kepala Daerah," kata Viktor di Gedung MK, Jakarta, Selasa (3/9).

Viktor mengutarakan, aturan dalam UU Pilkada itu membuat banyak calon kepala daerah petahana harus cuti selama kurang lebih dua bulan. Sehingga, selama 60 hari masa cuti, posisi kepala daerah tersebut akan diduduki oleh pelaksana tugas (Plt) maupun penjabat sementara (Pjs).

Ia memandang, penjabat kepala daerah yang ditunjuk untuk menggantikan sementara dinilai tidak akan mampu menjalankan tugasnya secara optimal lantaran harus berbagi fokus dengan jabatan definitifnya di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hal itu juga senada dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XIV/2016.

"Artinya, lagi-lagi yang akan dirugikan adalah masyarakat di daerah yang dipimpin oleh Plt/Pjs, dan tentunya berdampak pada jalannya pemerintahan daerah sehari-hari," ujar Viktor.

Pengacara konstitusi itu menyebut, kondisi ini berbeda dengan mekanisme cuti bagi petahana yang diatur dalam UU Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam Pasal 281 Ayat (2) UU Pemilu disebutkan bahwa pelaksanaan cuti dan jadwal cuti harus dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sehingga, dalam masa kampanye pada UU Pemilu Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak harus menjalani masa cuti selama masa kampanye. Presiden dan atau Wakil Presiden petahana dapat kembali melaksanakan tugas setelah kampanye.

Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menilai, ada perlakuan berbeda antara pengaturan cuti di masa kampanye terhadap Kepala Daerah petahana dengan Presiden dan Wakil Presiden petahana soal kewajiban cuti.

Hal ini dapat dilihat pada Pasal 281 Ayat (2) UU Pemilu yang menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden petahana yang mengikuti kampanye Pemilu tidak harus menjalani cuti penuh waktu selama masa kampanye.

"Hal ini tentunya menimbulkan diskriminasi hukum yang berdampak pada kerugian bagi masyarakat. Padahal MK dalam sejumlah putusannya sudah menegaskan tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan dalam tata kelola Pemilu dan Pilkada, tapi kenyataannya aturan mengenai cuti kampanye justru masih diatur berbeda," papar Viktor.

Dengan perbedaan ini, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 70 Ayat (3) UU 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat atau conditionally unconstitutional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan, menjalani cuti di luar tanggungan negara; pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.

Viktor menambahkan, pengawasan yang ketat dan penerapan sanksi yang tegas dari lembaga yang berwenang dapat dilakukan jika kepala daerah petahana menyalahgunakan fasilitas yang melekat pada jabatannya untuk kampanye.

Lebih lanjut, Viktor meminta MK dapat menyelenggarakan persidangan secara cepat, mengingat tahapan kampanye akan dimulai pada tanggal 25 September 2024.

"Kami berharap tidak ada perlakuan berbeda dari Mahkamah Konstitusi terhadap perkara ini dengan perkara-perkara pilkada terkait dengan batas usia calon kepala daerah yang dapat diperiksa secara cepat dan diputus sebelum masa pencalonan," pungkasnya.(jpc/rum/dek)

  • Bagikan