Deflasi Beruntun Indikasikan Daya Beli Melemah
JAKARTA,TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Lima tahun terakhir, jumlah masyarakat kelas menengah terus berkurang. Di saat bersamaan, banyak penduduk masuk kelas rentan. Fenomena itu mengindikasikan bahwa masyarakat miskin bakal bertambah.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, masyarakat kelas menengah mengalami penurunan sebesar 9,48 juta orang atau turun 16,5 persen sejak 2019. Pada 2024, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta orang. Menurun dibandingkan 2023 yang mencapai 48,27 juta orang. Pandemi Covid-19 disebut sebagai pemicunya.
Menanggapi data tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak bicara banyak. "(Profiling) kelas menengah kan sudah ada survei dari BPS. Sekarang (stimulus dari pemerintah) sudah ada PPN DTP properti dan FLPP. Kelas menengah salah satu konsumsi yang besar ada di perumahan," ujar Airlangga di kantornya kemarin (11/9).
Pun, soal dana pensiun yang disebut bakal kian memberatkan kelas menengah. Dia malah menyerahkan kepentingan urusan itu ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Siapa yang pensiun? Silakan godok," ucapnya.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penurunan masyarakat menengah tidak sesederhana itu. Ekonom senior Indef Bustanul Arifin menyoroti berkurangnya jumlah kelas menengah memiliki dampak buruk bagi perekonomian Indonesia.
Menurut dia, kelas menengah memiliki peran penting dalam kinerja pembangunan ekonomi, memainkan peran sosial-politik, menentukan tata kelola, kualitas kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi.
"Dukungan kelas menengah terhadap reforma kebijakan ekonomi dan politik hanya dapat terwujud jika kebijakan sejalan dengan kepentingan mereka," ungkapnya.
Penurunan kelas menengah berhubungan dengan transformasi struktural perekonomian Indonesia. Berupa pergeseran dari ekonomi berbasis pertanian menjadi ekonomi berbasis industri manufaktur. Artinya, pemerintah memiliki pekerjaan yang belum selesai dalam menurunkan tingkat kemiskinan.
Dari sisi ketenagakerjaan, dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) Yorga Permana menyatakan, kerja layak merupakan faktor penting dalam mencegah terjadinya penurunan kelas menengah.
"Kerja layak mendorong masyarakat keluar dari kemiskinan, melakukan mobilitas sosial, dan naik kelas ke kelas menengah," jelasnya.
Sektor informal di Indonesia masih mendominasi pasar tenaga kerja serta tren gig economy sejak 2014. Penurunan kelas menengah terjadi ketika pekerja formal beralih menjadi pekerja informal karena tidak adanya kerja layak di sektor formal.
"Untuk menciptakan kerja layak, kebijakan industri yang berfokus pada sektor mana yang memberikan local multiplier terbesar seperti sektor manufaktur atau tradable services. Meliputi ekonomi digital, jasa perusahaan, dan keuangan. Kemudian, kebijakan kewirausahaan yang well-targeted dan fokus kepada gazelle di level menengah juga akan mendorong terciptanya kerja layak," tandasnya.
Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listyanto menyebut dua indikator yang mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Yakni, perlambatan konsumsi dan PMI manufaktur yang semakin terkontraksi pada Agustus 2024. Selain itu, deflasi empat bulan berturut-turut yang menurun mengindikasikan daya beli masyarakat melemah.
Indeks ekspektasi konsumen juga semakin menurun.
"Ekspektasi penghasilan, ekspektasi ketersediaan lapangan kerja, dan ekspektasi kegiatan usaha yang konsisten menurun mengindikasikan ada sesuatu yang salah," terang Eko. (han/fal/thi/dek)