Profesi yang Tidak Lazim, Kaum Pria Pilih Menenun
Menggeluti usaha menenun memang identik dengan profesi kaum hawa (perempuan). Namun, siapa sangka, ternyata kaum pria juga bisa melakoni profesi yang tidak lazim ini.
IMRAN LIARIAN, Kupang_
TUNTUTAN ekonomi dewasa ini jika tidak disertai skill yang memadai memang kadang membuat kelimpungan. Namun, jika dilakoni dengan sungguh-sungguh disertai skill yang mumpuni maka hal yang tidak biasa akan nenjadi biasa.
Karena tuntutan ekonomi maka mendorong sejumlah pria di wilayah RT 07/ RW 03, Kelurahan Bello, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang menggeluti profesi sebagai penenun.
Usaha itu awalnya tidak dilakukan secara kelompok melainkan secara individu. Hasilnya pun sangat baik. Ini tidak terlepas dari kesabaran dan ketekunan dari tiga orang pria asal Sabu Raijua.
"Sejak saya datang ke Kota Kupang tahun 2016 silam, saya mulai menenun sampai sekarang," kata Hendrianus Riwu, saat ditemui media ini di Kelurahan Bello, Senin (23/9).
Pria berusia 43 tahun asal Kabupaten Sabu Raijua itu mengaku kondisi hidup dengan berbagai kebutuhan rumah tangga yang tak bisa ditunda maka ia pun terjun untuk merajut benang yakni senagai penenun.
"Selain menenun kain adat, saya juga jahit pakaian di rumah," ungkap Handrikus Riwu.
Usaha menenun ini juga sebagai wujud melestarikan tenunan adat NTT yang merulakan warisan leluhur. Menekuni usaha menenun ini tidak hanya dilakukan Hendrianus saja, melainkan ada dua orang temannya yaitu Nataniel Jami, 39, dan Mira Mitrawansa Biri, 40.
Tiga orang Kepala Keluarga (KK) ini menekuni usaha menenun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itu maka mereka pun membentuk kelompok menenun dan telah didata oleh Ketua RW 03 Kelurahan Bello, Goris Takene, sejak tahun 2022.
"Kami menenun kain adat NTT tergantung permintaan dari pembeli," ujarnya.
Ada permintaan dari pembeli seperti kain adat motif Sabu Raijua, Rote Ndao, motif Helong dan motif dari daerah lainnya.
Untuk menenun satu lembar selendang, waktu yang dibutuhkan yakni satu bulan. Sedangkan kain tenun berukuran besar bisa memakan waktu dua sampai tiga bulan.
Sementara untuk harga jualnya pun bervariasi mulai dari harga Rp 400 ribu sampai Rp 750 ribu. Sementara selendang dijual dengan harga Rp 100 ribu.
"Kami pasarkan ke tokoh yang menjual kain tenun," kata Hendrianus didampingi dua orang rekannya yakni Nataniel Jami dan Mira Mitrawansa Biri.
Ketua RW 03, Kelurahan Bello, Goris Takene sangat mengapresiasi para penenun yang digeluti oleh kaum pria. Ini unik karena pada umumnya, profesi menenun hanya dilakukan oleh kaum perempuan.
"Ternyata, bapak-bapak juga bisa menenun dan bahkan ada kelompoknya," kata Goris.
Sejauh ini sepengetahuannya belum ada sentuhan pemerintah untuk kelompok penenun yang anggotanya adalah kaum bapak. Sehingga, para penenun pria ini secara individu melakukan pengajuan pinjaman ke bank untuk mengembangkan usaha tenunnya itu.
"Kalau secara kelompok sampai dengan saat ini belum tersentuh bantuan dari pemerintah," ungkapnya.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh perangkat RW 03, Kelurahan Bello, terdapat 3 kelompok penenun yang terdiri dari 2 kelompok penenun adalah kaum perempuan dan 1 kelompok penenun kaum pria.
Total anggota dari ketiga kelompok ada 19 orang. Rinciannya, perempuan 10 orang dan laki-laki 9 orang.
"Selain menenun, mereka juga sebagai penjual sayur keliling dan mereka luangkan waktu untuk menenun," pungkas Goris Takene. (gat/dek)