3 Perempuan Bertarung di Pilgub Jatim

  • Bagikan
DIPTA WAHYU/JAWA POS TIGA PASLON. Dari kiri, Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Hakim, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak, dan Tri Rismaharini-Zahrul-Azhar Asumta menunjukkan nomor urut masing-masing.

Isu Ekonomi Lebih Menjual dari pada Gender

SURABAYA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Kemunculan tiga calon perempuan di pilgub Jatim tahun ini mendapat sorotan. Fenomena itu dianggap menjadi angin segar dalam kontestasi pilkada. Sebab, jarang terjadi, seluruh calon yang berkontestasi dalam satu pemilihan diisi perempuan.

Siti Aminah, pakar politik Universitas Airlangga Surabaya, menilai kehadiran perempuan di pilgub Jatim belum sepenuhnya mengakomodasi isu gender dan perempuan. Menurut dia, masyarakat kerap menggaungkan kesetaraan gender, tapi kurang bisa membedakan perempuan sebagai jenis kelamin dan gender.

Kalau memang masyarakat sepakat mengakui bahwa majunya Luluk Nur Hamidah, Khofifah Indar Parawansa, dan Tri Rismaharini mengakomodasi kehadiran perempuan, berarti seharusnya para cagub tersebut paham kebutuhan dan aspirasi perempuan.

"Apa iya, perempuan akan membawa isu perempuan? Yang mengusung mereka adalah partai politik (parpol). Bagi parpol, yang utama dalam kontestasi politik adalah kemenangan dan itu disiapkan melalui instrumen kampanye," ungkap dosen senior FISIP Unair tersebut.

Aminah mengamati bahwa perempuan selama ini masih hanya dilihat dari segi jenis kelamin, bukan kesetaraan gender. Pemimpin perempuan yang mengusung isu perempuan harus bisa dibuktikan lewat kebijakan yang mengakomodasi aspirasi perempuan. Para cagub perempuan harus dapat membuktikan terwujudnya kesetaraan selama menjabat.

Hadirnya tiga calon perempuan tersebut, menurut Aminah, belum dapat memengaruhi pola pikir masyarakat. Mereka ke TPS menggunakan hak pilihnya bukan didorong hati nurani sebagai warga negara. Masyarakat yang nyoblos digerakkan insentif atau reward yang dijanjikan nantinya. Atau bahkan mungkin sudah diberikan sebelum hari pencoblosan.

"Mereka tahunya bukan karena perempuannya, melainkan karena pribadinya. Masyarakat belum paham gender," ujar Aminah.

Menurut dia, masyarakat tahu Risma karena pernah menjadi wali kota Surabaya dan Khofifah karena ketua Muslimat NU.

"Dan, ketua Muslimat adalah posisi politik bagi perempuan," lanjutnya.

Masyarakat, kata Aminah, perlu didorong untuk lebih kritis. Termasuk mencermati visi, misi, dan program para paslon saat kampanye. Sebagai pemilih, masyarakat harus cerdas dan mengingat janji para paslon. Para pemilih dapat menyampaikan aspirasi atau mengingatkan saat calon bersangkutan nanti terpilih.

Aminah menilai, publik saat ini berpersepsi bahwa ada kesegaran dalam kesetaraan gender bagi perempuan dan laki-laki. Ada peluang bahwa perempuan akan diberi kesempatan lebih berperan dalam pemerintahan. Namun, masyarakat harus tetap kritis. Sebab, isu kesetaraan gender akan kurang mengena saat kampanye. Terutama dari agenda kampanye yang disusun parpol.

"Isu-isu bansos lebih utama daripada gender, BPJS. Jadi, lebih banyak isu ekonomi daripada gender. Karena parpol tujuannya untuk menang, bukan sosialisasi gender," kata Aminah.

Apalagi, lanjut Aminah, belum ada riset yang menunjukkan kehadiran pemimpin perempuan bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyatnya di daerah. Harus ada parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dari kehadiran perempuan sebagai kepala daerah. Mulai indeks keadilan, indeks demokrasi, indeks korupsi, indeks kesejahteraan, indeks keamanan, indeks kesetaraan, indeks HAM, dan masih banyak yang lainnya.

Meski begitu, momentum diberinya porsi besar perempuan untuk maju memenangkan posisi pejabat publik juga harus dijaga agar besarnya keterlibatan perempuan tidak hanya muncul dan meriah saat proses pencoblosan. Aminah mengatakan, hal itu bisa diwujudkan lewat proses regenerasi dan redefinisi parpol yang menempatkan perempuan-perempuan dalam jabatan politik.

"Tidak hanya sebagai alat untuk kemenangan politik," ujarnya. (kkn/c7/bay/jpg/rum/dek)

  • Bagikan