Banyak Anak Muda Jadi Anggota DPR berkat Dinasti Politik

  • Bagikan
MIFTAHUL HAYAT/JAWA POS SIDANG. Pimpinan sementara MPR Guntur Sasono (kiri) dan Larasati Moriska (kanan) memimpin sidang paripurna MPR di gedung Nusantara, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10).

Demokrasi di Indonesia Baru Sebatas Prosedural

JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Banyaknya politikus muda yang melenggang ke Senayan tidak otomatis menjadi sinyal positif bagi kualitas demokrasi Indonesia. Pasalnya, sebagian besar anak muda yang lolos punya ikatan dengan dinasti politik.

Anggota termuda DPR, Annisa Maharani Mahesa yang berusia 23 tahun, misalnya. Dia adalah putri almarhum politikus Gerindra Desmond Junaidi Mahesa. Sedangkan Larasati Moriska, anggota termuda DPD, merupakan anak Ketua DPRD Kabupaten Nunukan 2009–2014 Nardi Azis dan ibunya, Asni Hafid, anggota DPD 2019–2024.

Sementara itu, Pinka Haprani yang berusia 25 tahun adalah putri Ketua DPR Puan Maharani. Kemudian, Rizki Aulia Rahman Natakusumah yang berusia 29 tahun merupakan anak anggota DPR 2019–2024 Dimyati Natakusumah. Ada juga Ravindra Airlangga yang berusia 33 tahun. Dia adalah anak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Lalu, Kaisar Kiasa Kasih Said Putra yang berusia 30 tahun adalah anak anggota DPR Said Abdullah.

Ada juga Putri Zulkifli Hasan yang berusia 36 tahun. Sesuai namanya, dia adalah anak kandung Menteri Perdagangan sekaligus Ketum PAN Zulkifli Hasan. Selanjutnya, Prananda Surya Paloh, 31, anak kandung Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Di luar nama-nama itu, masih banyak wakil rakyat muda yang punya hubungan keluarga dengan elite nasional.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, dengan fakta tersebut, banyaknya anak muda yang lolos bukan sebuah prestasi. Sebaliknya, ini menjadi ironi bagi demokrasi Indonesia. ”Kalau bicara demokrasi, ya ini mundur,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Timex), Senin (7/10).

Dalam demokrasi yang baik, lanjut dia, semestinya jabatan publik diisi melalui sistem seleksi yang baik. Sosok yang punya kualitas disodorkan dalam pemilu untuk dipilih publik. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, tokoh yang disodorkan sudah di-setting sedemikian rupa untuk mengakomodasi kepentingan elite tertentu. Karena itu, menurut dia, demokrasi di Indonesia saat ini baru sebatas prosedural. Sedangkan secara substansial masih jauh dari harapan. ”Orang yang punya uang, kuasa dan jaringan menunggangi demokrasi sebagai alat untuk keluarga, anak menjadi pejabat publik,” imbuhnya.

Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menambahkan, banyaknya dinasti politik dalam periode DPR kali ini membuat harapan akan perubahan kinerja sulit tercapai. Sebab, meski muncul nama-nama baru, mereka berpotensi terjebak dan ikut sikap elite lama. ”Mungkin ini akan menjadi satu fenomena politik yang sinambung dengan sebagian hasil pilihan DPR mendatang,” katanya. (far/c7/oni/jpc/ays/dek)

  • Bagikan

Exit mobile version