JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID – Sidang di sejumlah daerah, Senin (7/10) kemarin mendadak ditunda. Gara-garanya, hakim-hakim mendadak mengajukan cuti massal. Aksi itu membuat pihak-pihak yang beperkara tak bisa segera mendapat keadilan.
Aksi mogok kerja yang dikemas dalam cuti massal itu diikuti dengan sejumlah tuntutan kepada pemerintah. Salah satunya adalah kenaikan tunjangan sebesar 242 persen (selengkapnya lihat grafis). Alasannya, tunjangan hakim tak pernah naik sejak 12 tahun lalu.
Aksi cuti massal tersebut diikuti para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI). Mereka kemarin juga mendatangi Mahkamah Agung (MA) untuk beraudiensi. Acara dialog itu diikuti 15 orang hakim dari SHI. Dari MA, ada Wakil Ketua Bidang Yudisial Sunarto dan Wakil Ketua Bidang Non Yudisial sekaligus Jubir MA Suharto. Hadir juga pimpinan komisi yudisial dan perwakilan dari Kementerian Keuangan. Saat audiensi berlangsung, sekitar 85–100 hakim lain berada di luar ruangan.
Wakil Ketua MA Suharto menuturkan, sebenarnya pimpinan MA telah melakukan proses agar segera diterbitkan peraturan pemerintah (PP) yang baru menggantikan PP Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim. Draf PP baru itu telah diusulkan sejak tahun lalu.
’’Posisinya sebenarnya menunggu keluarnya PP pengganti tersebut,’’ terangnya kepada Jawa Pos (grup Timex), kemarin.
PP baru itu telah dimatangkan di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB). Terdapat delapan item yang diusulkan MA ke Kemen PAN-RB. Namun, baru empat yang disetujui. Yakni, gaji pokok, tunjangan hakim, uang pensiun dan tunjangan kemahalan.
’’Dalam prosesnya, tunjangan kemahalan harus menunggu kajian perbandingan dengan aparat hukum lainnya. Daripada kelamaan ditinggal dulu, jadi tiga item itu dulu,’’ paparnya.
Untuk besaran kenaikan gaji, tunjangan dan pensiun hakim, Suharto mengaku tidak mengetahui angkanya secara pasti. Terdapat tim tersendiri yang membahas.
’’Yang pasti besarannya dan zonanya akan diubah,’’ ujarnya.
Dia juga mengaku tidak mengetahui kapan PP tersebut terbit. Namun, diharapkan dalam waktu dekat PP itu bisa berlaku.
’’Insya Allah secepatnya, tapi tidak tahu bulan ini atau bulan depan. Kita ikuti saja prosesnya,’’ urainya.
Suharto juga membantah ada aksi mogok massal hakim. Yang ada hanya cuti dalam waktu hampir bersamaan oleh para hakim. SHI sendiri mengklaim cuti massal itu diikuti dua ribu hakim se-Indonesia.
’’Pimpinan MA memastikan bahwa cuti ini tidak boleh mengganggu jalannya persidangan,’’ tegasnya.
Dalam audiensi tersebut, seorang perwakilan SHI mengeluhkan besaran gaji dan tunjangan hakim yang dianggap terlalu kecil. Padahal, sejumlah pihak selalu mengatakan bahwa seorang hakim harus selesai dengan persoalan hidupnya sendiri. Harus merdeka dalam membuat keputusan.
’’Kami tidak berharap kaya kok, tapi bagaimana bila hakim-hakim tidak merdeka dalam persoalan finansial,’’ terangnya.
Suharto juga mengatakan bahwa hakim adalah satu-satunya pejabat negara yang dilarang memiliki usaha atau bisnis. Berbeda dengan pejabat negara lain yang masih boleh memiliki usaha.
’’Maka, kesejahteraan para hakim harus diperhatikan negara,’’ ucapnya.
Pada bagian lain, Sekretaris Bidang Advokasi Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Djuyamto mengatakan, tuntutan peningkatan kesejahteraan hakim pernah disuarakan pada 2012. Aksi itu membuahkan hasil. Pemerintah akhirnya menerbitkan PP Nomor 94/2012.
’’Sekarang aksi kembali terjadi, 12 tahun kemudian, 2024 tahun ini,’’ katanya.
Djuyamto menekankan, selama 12 tahun sama sekali tidak ada kenaikan gaji maupun tunjangan untuk hakim. Padahal, inflasi selama 12 tahun sudah sangat jauh dibandingkan yang ditetapkan pada PP Nomor 94/2012.
’’Apalagi untuk hakim yang ditugaskan di daerah kepulauan, Indonesia kan negara kepulauan,’’ paparnya.
Menurut dia, sesuai Pasal 48 ayat (1) UU Kehakiman, negara menjamin kesejahteraan dan keamanan hakim untuk menjaga independensinya.
’’Namun, dengan 12 tahun tidak ada peningkatan kesejahteraan, dapat diartikan negara abai dengan kewajibannya. Mestinya tanpa dituntut sudah dipenuhi karena ini kewajiban negara,’’ tegasnya.
Djuyamto mengklaim aksi cuti massal itu diikuti lebih dari dua ribu hakim yang merupakan anggota Ikahi. Sedangkan jumlah total hakim di Indonesia mencapai delapan ribuan orang.
’’Kejadian semacam ini tidak bagus untuk Indonesia yang negara hukum,’’ ujarnya.
Selain beraudiensi dengan MA, ada tujuh perwakilan SHI yang menemui Menkum HAM Supratman Andi Agtas kemarin. Mereka meminta PP Nomor 94/2012 direvisi.
’’Respons pak menteri positif,’’ terang Koordinator SHI Aji Prakoso, kemarin.
’’Saya sampaikan, kami tidak ingin kaya, tidak. Tapi, kami ingin negara hadir terhadap kondisi yang ada,’’ lanjutnya.
Ditanya sampai kapan cuti bersama dilakukan, Aji mengatakan bahwa cuti massal bisa terus terjadi jika tuntutan mereka tak dipenuhi. Dia bahkan menyebut SHI siap mengadakan aksi lanjutan yang lebih besar. Namun, berdasar kesepakatan awal, cuti massal itu hanya akan dilakukan selama lima hari.
’’Kami akan lihat pertemuan dan diskursus antara Mahkamah Agung dengan lembaga terkait,’’ ujarnya.
Para hakim juga akan menempuh upaya lain jika tuntutan tak dipenuhi. Salah satunya bisa saja mengajukan langkah-langkah hukum. Misalnya, mengajukan gugatan, citizen lawsuit atau mengajukan judicial review pada PP Nomor 94/ 2012. (idr/elo/c17/jpc/ays/dek)