Kepemimpinan PPPK di Perguruan Tinggi: Antara Regulasi dan Tantangan

  • Bagikan
Frederic Winston Nalle. (FOTO: Dok. Pribadi)

Oleh: Frederic Winston Nalle *)

Keberhasilan sebuah perguruan tinggi tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisik atau jumlah mahasiswa, tetapi juga pada kualitas tata kelola institusi. Salah satu komponen utama tata kelola yang baik adalah penempatan sumber daya manusia yang sesuai dengan regulasi. Kepatuhan terhadap aturan kepegawaian menjadi faktor krusial dalam menjaga kualitas layanan pendidikan dan integritas akademik. Namun, di beberapa perguruan tinggi, terutama di wilayah perbatasan seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), muncul fenomena yang mengkhawatirkan terkait penempatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada jabatan strategis. Praktik ini tidak hanya melanggar aturan yang melarang PPPK menduduki jabatan struktural, tetapi juga mengancam esensi jabatan akademik sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan berbasis meritokrasi.

Ketidakpatuhan Terhadap Regulasi
Dalam kerangka regulasi nasional, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memiliki peran yang berbeda dibandingkan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini diatur secara jelas dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Regulasi tersebut menegaskan bahwa PPPK direkrut untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan masa kontrak tertentu, yang sifatnya berbeda dengan status pegawai tetap yang melekat pada PNS. Dalam konteks birokrasi, khususnya di institusi pendidikan tinggi, PPPK pada dasarnya tidak diberikan hak untuk menduduki jabatan struktural, kecuali jabatan fungsional tertentu yang sesuai dengan kompetensi profesional mereka.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) No. 25 Tahun 2016 semakin mempertegas batasan ini, dengan menyatakan bahwa jabatan struktural hanya dapat diisi oleh PNS. Alasannya, jabatan struktural membutuhkan kesinambungan, akuntabilitas, serta tanggung jawab yang sesuai dengan status pegawai tetap Negara. Jabatan struktural juga mencakup tanggung jawab administratif dan manajerial yang menuntut konsistensi dalam pengambilan keputusan, yang sulit dicapai dengan status kepegawaian yang bersifat kontrak sementara, seperti PPPK.

Namun, praktik di lapangan tidak selalu sejalan dengan regulasi ini. Di beberapa perguruan tinggi, PPPK kerap ditempatkan pada posisi struktural yang secara aturan seharusnya diisi oleh PNS. Fenomena ini umumnya dipicu oleh dua faktor utama: pertama, adanya keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia; kedua, dan yang lebih mengkhawatirkan, adalah adanya pengaruh politik dan primordialisme yang mewarnai pengambilan keputusan di level pimpinan universitas. Penempatan PPPK dalam jabatan strategis sering kali dilakukan bukan berdasarkan kualifikasi atau kebutuhan mendesak, melainkan karena afiliasi politik atau hubungan pribadi yang mengakar dalam relasi kuasa di kampus.

Praktik ini memunculkan beberapa pertanyaan kritis: Apakah fenomena ini disebabkan oleh kelalaian atau kurangnya pemahaman terhadap regulasi? Ataukah ada motif yang lebih dalam, yaitu upaya memperkuat jaringan kekuasaan di lingkungan universitas? Pada titik ini, urgensi reformasi dalam manajemen sumber daya manusia di perguruan tinggi menjadi jelas, terutama dalam memastikan bahwa setiap penempatan jabatan dilakukan berdasarkan prinsip meritokrasi dan profesionalisme, bukan kepentingan politik atau kelompok tertentu.

Ancaman Bagi Profesionalisme
Penempatan PPPK dalam jabatan struktural di perguruan tinggi kerap dipengaruhi oleh politik kampus. Di sebuah universitas negeri di wilayah perbatasan Timor Barat dan Timor Leste, jabatan penting cenderung diisi oleh individu yang memiliki afiliasi politik dengan pimpinan kampus atau kelompok primordial yang sama, tanpa memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan. Penempatan ini seringkali bertujuan untuk menguatkan posisi elit kampus menjelang pemilihan rektor.

Implikasi dari praktik ini sangat serius. Beberapa pegawai PPPK yang ditempatkan di jabatan strategis tidak selalu memenuhi syarat kualifikasi yang diperlukan, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang efektivitas kepemimpinan mereka. Misalnya, di salah satu fakultas, pengangkatan seorang Dekan berstatus PPPK menyebabkan mahasiswa melakukan demonstrasi karena kekhawatiran terkait keabsahan ijazah yang ditandatangani oleh Dekan tersebut, terutama dengan adanya penggunaan NIP dan NI PPPK secara bersamaan. Hal ini memicu pertanyaan tentang validitas administrasi, yang berpotensi menurunkan kredibilitas ijazah ketika digunakan untuk keperluan profesional di masa mendatang.

Lebih mendalam, jabatan Dekan yang diberikan kepada PPPK menimbulkan pertentangan antara masa jabatan yang memiliki batas waktu tertentu dengan tanggung jawab struktural yang bersifat berkelanjutan. Status PPPK yang terbatas ini menimbulkan ketidakpastian dalam mekanisme evaluasi kinerja, yang memerlukan penanganan administratif dan hukum yang lebih kompleks dibandingkan pegawai tetap. Isu ini juga menciptakan potensi konflik dalam pengelolaan organisasi fakultas yang mengandalkan kesinambungan dan stabilitas dalam kepemimpinan.

Fenomena serupa terlihat dalam pengangkatan Wakil Dekan di beberapa fakultas, serta Ketua Program Studi, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), dan Kepala Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pembelajaran (LPMPP). Bahkan, posisi Ketua Senat Universitas, yang secara hierarkis setara dengan Rektor, diisi oleh individu dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Meskipun pemilihan dilakukan melalui mekanisme voting, terdapat indikasi bahwa proses tersebut telah diatur sebelumnya untuk memenuhi kepentingan politik tertentu di lingkungan universitas. Lebih jauh lagi, individu dengan status PPPK tersebut memperoleh suara yang sangat dominan dibandingkan dengan dua kandidat lainnya, yang secara akademik terdiri dari ASN PNS senior, termasuk seorang Guru Besar di bidang Ekonomi dan seorang Doktor di bidang Agribisnis dengan jabatan Lektor Kepala.

Ketimpangan kompetensi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah pengangkatan jabatan strategis tersebut benar–benar berdasarkan kualifikasi akademik dan profesionalisme, ataukah hanya merupakan formalitas prosedural yang dirancang untuk memberi kesan demokratis, namun sebenarnya mengabdi pada kepentingan politik individu atau kelompok tertentu. Kekhawatiran ini semakin mengemuka ketika banyak akademisi bergelar doktor yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan kualifikasi lebih tinggi justru tidak diberdayakan.

Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa pengelolaan SDM di institusi pendidikan tinggi, terutama di universitas negeri, harus mengedepankan prinsip meritokrasi. Akademisi dengan gelar doktoral dan pengalaman riset yang luas memiliki potensi besar dalam pengembangan kebijakan, kurikulum, dan mutu pendidikan. Mengabaikan mereka demi mempertahankan status quo yang berorientasi politik tidak hanya merugikan institusi secara keseluruhan, tetapi juga mencederai semangat inovasi dan keilmuan yang seharusnya menjadi landasan pendidikan tinggi.

Menurut Prof. Dr. Rhenald Kasali, pakar ilmu manajemen, politisasi dalam manajemen SDM di dunia akademik akan mengakibatkan stagnasi organisasi. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pusat inovasi dan pemikiran kritis justru berisiko mengalami kemunduran jika pengambilan keputusan didasarkan pada pertimbangan kekuasaan, bukan kinerja dan integritas. Keputusan untuk tidak memberdayakan akademisi dengan latar belakang doktoral yang berkualitas hanya karena mereka dianggap tidak ‘sejalan’ dengan pimpinan universitas merupakan langkah yang kontraproduktif dan berpotensi merusak reputasi serta daya saing institusi.

Pada akhirnya, perguruan tinggi harus menjadi contoh dalam penerapan prinsip keadilan, transparansi, dan profesionalisme. Reformasi tata kelola SDM yang berbasis meritokrasi sangat diperlukan untuk memastikan bahwa universitas dapat berfungsi sesuai dengan mandatnya sebagai lembaga pencetak pemimpin masa depan yang kompeten dan berintegritas. Apabila institusi pendidikan tinggi terus menerapkan politik kekuasaan dalam penempatan jabatan, maka kualitas pendidikan dan kepercayaan publik terhadap universitas akan semakin tergerus.

Dampak Terhadap Kualitas Layanan Pendidikan
Ketika meritokrasi diabaikan dalam penempatan pejabat struktural, dampaknya pada kualitas layanan pendidikan tidak dapat dihindari. Jabatan strategis seperti Dekan, Ketua Program Studi, Kepala Lembaga, dan Ketua Senat Universitas memainkan peran penting dalam menetapkan kebijakan akademik, mengelola sumber daya, serta mengawasi perencanaan dan evaluasi di tingkat fakultas dan universitas. Ketika jabatan ini diisi oleh individu yang kurang memenuhi kualifikasi, baik dari sisi akademik maupun pemahaman tata kelola, implikasinya dapat sangat merugikan kinerja institusi.

Salah satu contoh nyata terlihat di sebuah universitas negeri di perbatasan Timor Leste, dimana kebijakan yang tidak tepat berdampak langsung pada efektivitas institusi. Beberapa kebijakan penting gagal dilaksanakan karena pejabat PPPK yang ditempatkan pada posisi strategis tidak memiliki kompetensi yang memadai. Salah satu kasusnya adalah keterlambatan dalam pengajuan akreditasi program studi, yang secara langsung menurunkan reputasi akademik program studi tersebut. Selain itu, kurangnya inovasi dalam pengembangan kurikulum menghambat mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan yang relevan dan up-to-date, yang jelas merugikan mereka sebagai penerima manfaat utama pendidikan.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengelolaan fasilitas pendidikan. Ruang kuliah yang terbatas, perpustakaan dengan koleksi yang kurang lengkap, serta minimnya fasilitas ruang baca dan toilet mahasiswa, mencerminkan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan dasar pendidikan. Di era digital saat ini, akses internet yang seharusnya menjadi infrastruktur kunci juga masih sangat terbatas, membatasi kemampuan mahasiswa dan dosen untuk mengakses sumber daya ilmiah secara daring.

Selain itu, masalah perencanaan dan pengelolaan anggaran yang tidak efisien semakin memperburuk situasi. Revisi anggaran yang terus menerus dan penyerapan anggaran yang tidak optimal sering kali menyebabkan hambatan dalam layanan mahasiswa dan kegiatan akademik lainnya. Manajemen keuangan yang lemah ini menunjukkan kelemahan tata kelola di institusi yang seharusnya mengutamakan pendidikan.

Dengan mempertimbangkan faktor–faktor ini, muncul pertanyaan apakah penempatan pejabat struktural tanpa meritokrasi benar–benar bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, atau hanya untuk melayani kepentingan politik sempit? Jika praktik ini dibiarkan, dalam jangka panjang, integritas akademik akan terancam, dan pengembangan institusi akan terhambat. Pada akhirnya, tujuan utama setiap universitas yaitu memberikan pendidikan berkualitas akan terdegradasi, dan mahasiswa serta masyarakat akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

Tata Kelola Berbasis Meritokrasi
Untuk mengatasi permasalahan terkait penempatan pejabat struktural di perguruan tinggi, diperlukan reformasi tata kelola yang komprehensif dan holistik. Langkah awal yang harus diambil adalah memastikan bahwa pimpinan kampus mengedepankan prinsip profesionalisme, transparansi, serta kepatuhan terhadap regulasi kepegawaian dalam setiap proses seleksi dan penempatan pejabat. Proses seleksi jabatan strategis di seluruh tingkatan harus berlandaskan prinsip meritokrasi, yang memprioritaskan kompetensi, kualifikasi, dan kemampuan yang relevan dengan tanggung jawab jabatan, alih–alih berdasarkan hubungan personal atau afiliasi politik.

Selanjutnya, perguruan tinggi harus berfokus pada peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai, baik PNS maupun PPPK, melalui program pengembangan yang komprehensif. Pelatihan seperti workshop, seminar, serta program intensif lainnya diperlukan untuk memperkuat keterampilan manajerial, kepemimpinan, dan pemahaman terhadap regulasi dan kebijakan pendidikan tinggi.

Tata kelola yang baik juga harus melibatkan partisipasi aktif seluruh civitas akademika dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta membangun rasa memiliki di kalangan dosen dan staf terhadap kebijakan yang diterapkan. Dengan pendekatan partisipatif, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan akademik yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh pemangku kepentingan.

Di samping itu, penting bagi perguruan tinggi untuk memastikan bahwa statuta kampus, sebagai landasan hukum tata kelola internal, harus selaras dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti regulasi pemerintah dan kementerian terkait. Harmonisasi ini mencegah potensi penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan kampus, khususnya dalam penempatan sumber daya manusia. Statuta kampus yang selaras dengan aturan nasional merupakan rekomendasi kebijakan yang krusial untuk memastikan pimpinan kampus tidak bertindak sewenang – wenang, terutama dalam hal manajemen SDM.

Penutup
Dalam konteks pendidikan tinggi, khususnya di wilayah perbatasan Provinsi NTT dan Timor Leste, jabatan struktural harus dipahami sebagai amanah besar yang memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas lembaga dan melayani kepentingan seluruh civitas akademika. Realitas di kawasan ini, termasuk Pulau Timor Barat, menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat masih terperangkap dalam kemiskinan, dengan indeks pembangunan manusia yang tergolong rendah. Data Badan Pusat Statistik NTT (2024), mencatat bahwa rata – rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 7,7 tahun, yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat baru mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama. Selain itu, Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk kelompok usia 19 – 23 tahun pada tahun 2023 hanya sebesar 33,03 persen, yang mengindikasikan bahwa banyak masyarakat NTT belum memiliki akses atau kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Kondisi ini menegaskan pentingnya profesionalisme dalam pengelolaan universitas di wilayah perbatasan. Tata kelola yang berintegritas dan berbasis meritokrasi sangat dibutuhkan agar kampus – kampus di Provinsi NTT dapat dipercaya oleh masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah dengan akses pendidikan terbatas. Hanya dengan manajemen yang professional, universitas dapat berfungsi sebagai pusat pengetahuan yang membantu masyarakat mengatasi keterbatasan pendidikan dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Jabatan struktural di universitas bukan sekedar posisi, tetapi amanah yang harus diemban dengan tanggung jawab besar. Evaluasi kinerja pejabat harus didasarkan pada sejauh mana mereka melayani kepentingan lembaga dan masyarakat, bukan berdasarkan afiliasi politik atau kekuasaan. Jika kita menginginkan pendidikan tinggi yang lebih berkualitas, reformasi tata kelola berbasis meritokrasi menjadi langkah penting yang tidak bisa diabaikan.

Reformasi ini akan menciptakan lingkungan akademik yang sehat, dimana setiap individu memiliki kesempatan yang adil untuk berkontribusi sesuai dengan kompetensinya. Upaya ini tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan profesionalisme perguruan tinggi di Provinsi NTT. Tantangan ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, di mana pendidikan menjadi fondasi utama untuk mencapai kemajuan bangsa. Dengan demikian, kita harus segera mengambil langkah nyata agar pendidikan tinggi di wilayah perbatasan menjadi pilar kemajuan masyarakat dan bangsa. (*)

*) Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang

  • Bagikan

Exit mobile version