Semua Sektor Berperan Jaga Hak Anak

  • Bagikan
IST SOSIALISASI. Suasana kegiatan sosialisasi Pencegahan Kekerasan terhadap anak korban HIV/AIDS dan Zat Adiktif yang digelar DP3AP2KB yang digelar di aula Hotel Greenia, Kamis, (31/10)

DP3AP2KB NTT Gelar Sosialisasi Cegah Kekerasan Terhadap Anak

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) berkomitmen untuk memperkuat perlindungan bagi perempuan dan anak melalui program-program holistik. Termasuk melalui kegiatan sosialisasi yang digelar, Kamis (31/10).

Tujuan digelarnya kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi hak-hak anak. Kolaborasi menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini.

Karena itu, tanggung jawab ini tidak hanya menjadi kewenangan pemerintah, tapi juga orang tua, pendidik dan lembaga masyarakat.

"Kita perlu menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi anak-anak agar mereka dapat tumbuh tanpa rasa takut dan diskriminasi. Saya berharap agar kegiatan ini dapat memperkuat komitmen kita dalam mencegah kekerasan terhadap anak-anak, terutama mereka yang hidup dengan HIV/AIDS dan terpapar zat adiktif," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DP3AP2KB Provinsi NTT, Endang S. Lerrich saat membuka secara resmi kegiatan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan terhadap anak korban HIV/AIDS dan Zat Adiktif.

Kegiatan sosialisasi ini mengusung tema “Dukung Mereka, Bukan Lukai Mereka, Sayangi Anak Korban HIV/AIDS dan Zat Adiktif. Kegiatan yang diselenggarakan oleh DP3AP2KB Provinsi NTT ini berlangsung di aula Hotel Greenia, Jalan Hati Mulia V, Oebobo, Kota Kupang.

Tujuan digelarnya kegiatan ini yakni untuk memberikan pemahaman dan kesadaran yang lebih dalam kepada kita semua, terutama kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat luas, tentang pentingnya melindungi hak-hak anak-anak, khususnya mereka yang hidup dengan HIV/AIDS atau terpapar zat adiktif.

Kegiatan ini juga menghadirkan narasumber terkait beberapa topik urama di antaranya, Endang S. Lerrich selaku Plt Kadis P3AP2KB Provinsi NTT, France A. Tiran selaku Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak DP3AP2KB Provinsi NTT, Adrianus Lamury selaku Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi NTT dan dr. Daulat A. D. Samosir selaku Koordinator Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi NTT.

“Dalam sosialisasi hari ini, kita berharap dapat membangun kesadaran (awareness) yang lebih luas mengenai pentingnya melindungi anak dan perempuan dari kekerasan. Untuk mencapai tujuan ini, kita perlu menjadi motor penggerak dalam komunitas kita, dengan harapan untuk mengeliminasi kekerasan dan menjadikan zero kekerasan terhadap anak dan perempuan, sebagai target utama," kata Endang.

Dia mengatakan, pihaknya telah melaksanakan berbagai program untuk mendukung kesetaraan gender dan memperjuangkan Kota Layak Anak. Tahun lalu berhasil mendapatkan pengakuan untuk satu kota dan satu kabupaten sebagai Kota Layak Anak (KLA). Tahun ini harus diupayakan untuk mendapatkan pengakuan untuk satu kota dan tiga kabupaten lagi.

"Kerja sama lintas sektor sangat penting dalam upaya ini. Kita perlu menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, serta hak untuk mendapatkan perlindungan dan berpartisipasi dalam keputusan yang memengaruhi mereka. Untuk itu, kita harus saling berkolaborasi mulai dari keluarga hingga semua elemen masyarakat," ungkapnya.

Dia mengaku akan fokus pada perlindungan hak anak dengan menangani korban kekerasan, termasuk perempuan dan anak yang menjadi korban HIV/AIDS.

"Kita perlu bergandeng tangan antara masyarakat, pemerintah, tokoh agama dan kaum muda untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak dan pemangku kepentingan," kata dia.

Ia juga berpesan agar selama sosialisasi, penting untuk menampilkan informasi tentang SAPA 129, layanan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia bebas biaya dan melalui WhatsAPP yang tersedia agar masyarakat tahu ke mana harus melapor jika terjadi kekerasan. Saat ini, banyak korban yang tidak tahu harus mengadu ke mana ketika mereka mengalami kekerasan.

"Dengan informasi yang jelas, kita dapat membantu korban untuk mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan. Mari kita semua bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak dan perempuan di sekitar kita”, pesan Endang menutup penjelasannya.

Sejalan dengan paparan Endang S. Lerrich, France Abednego Tiran sebagai narasumber kedua juga mengajak seluruh peserta untuk terus berkomitmen dalam melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi, dengan menekankan bahwa peran serta masyarakat terutama kaum muda, termasuk tokoh agama, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah, sangat krusial dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak termasuk anak sebagai korban HIV/AIDS dan Zat Adiktif yang termasuk dalam 15 tipe anak yang perlu mendapatkan perlindungan khusus oleh pemerintah.

“Anak-anak tidak boleh dipandang sebelah mata karena mereka adalah anugerah yang tidak pernah memilih untuk dilahirkan dan berhak dihormati. Kehadiran anak dalam sebuah keluarga, apapun kondisi anak tersebut, anak adalah anugerah. Kami menyoroti pentingnya pelayanan kesehatan dan rehabilitasi bagi anak korban penyalahgunaan zat adiktif, yang mencakup akses ke layanan medis dan program rehabilitasi sosial untuk membantu pemulihan fisik dan mental mereka, " ujarnya.

Selain itu, pendampingan psikososial perlu diberikan untuk mendukung kesejahteraan psikologis anak, serta memastikan mereka mendapatkan akses layanan kesehatan yang layak, termasuk untuk anak yang terkena HIV/AIDS.

Keluarga juga memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi anak. Sehingga, pendidikan dan pelatihan bagi orang tua harus dilakukan agar mereka dapat memahami kebutuhan anak secara mendalam. Kolaborasi antara berbagai sektor kesehatan, pendidikan, hukum, agama dan sosial sangat diperlukan untuk menciptakan perlindungan yang efektif bagi anak-anak kita, memastikan bahwa mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung.

"Bunda Teresa pernah mengatakan bahwa mencintai sampai terluka adalah sebuah tindakan yang mulia, karena meskipun kasih yang diberikan mungkin hanya secercah, nilainya sangat besar dan berarti bagi mereka yang menerimanya. Mari kita semua pihak untuk bergandeng tangan, menghilangkan stigma, dan mewujudkan harapan bahwa setiap anak berhak tumbuh dalam keadaan aman dan sejahtera," kata dia.

Dengan meningkatkan pendidikan dan penyuluhan, kata dia, untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak, serta memberikan informasi yang jelas tentang akses layanan perlindungan yang tersedia. France Tiran dengan materi terkait Perlindungan Khusus dalam Mendukung Anak Korban Kekerasan, HIV AIDS, dan Penyalahgunaan Zat Adiktif Lainnya.

Selain penjelasan terkait perlindungan yang dilakukan kepada anak, faktor risiko dan prinsip pencegahan penyalahgunaan NAPZA oleh anak perlu dikenalkan dan harus diketahui oleh khalayak umum. Materi ini dibawakan oleh dr. Daulat Samosir.

Ia menjelaskan tentang tujuh.prinsip pencegahan yang berfokus pada pencegahan penyalahgunaan zat adiktif yang dirancang untuk melindungi anak-anak.

“Tujuh prinsip pencegahan dini yang efektif telah diidentifikasi, antara lain, pentingnya intervensi awal untuk mengubah jalur perkembangan anak ke arah yang positif, peran penting faktor eksternal seperti pola asuh yang hangat dan teratur, serta pemberian kesempatan anak untuk berinteraksi secara sosial dan beraktivitas fisik," kata dr. Daulat.

Prinsip lainnya, kata dia, mencakup pentingnya mengurangi faktor risiko sambil meningkatkan faktor pelindung, serta dampak jangka panjang dari intervensi dini yang membangun kemampuan anak untuk mengatur diri dan membentuk perilaku positif.

Intervensi yang berfokus pada anak juga menunjukkan dampak positif pada kesehatan biologis mereka, seperti regulasi stres. Prinsip terakhir menekankan pentingnya lingkungan terdekat anak, terutama keluarga, dalam mendukung perkembangan mereka sejak dini hingga usia sekolah.

Perkembangan anak dimulai sejak periode prenatal, di mana nutrisi dan kebiasaan ibu memengaruhi risiko penyalahgunaan zat di masa depan. Pada masa bayi, nutrisi, kesehatan, dan hubungan erat dengan pengasuh penting untuk membangun "self-regulation" yang berfungsi sebagai pelindung dari risiko penyalahgunaan zat.

Di tahap prasekolah, kedekatan dengan orang tua mendukung perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak, sementara kurangnya perhatian dari orang tua dengan masalah psikologis meningkatkan risiko perilaku menyimpang. Ketika anak mulai sekolah, kesiapan mengikuti aturan dan target akademik membantu anak beradaptasi di lingkungan baru.

Koordinator Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi NTT, dr. Daulat A. D. Samosir melanjutkan, terkait faktor internal, seperti kecerdasan dan temperamen yang mudah beradaptasi, membantu anak menghadapi lingkungan dengan lebih baik.

Adiksi narkoba pada remaja sering kali berakar pada faktor risiko yang terbentuk sejak dini. Misalnya, faktor risiko prenatal seperti paparan alkohol atau tembakau, dan stres kronis yang dialami anak selama masa perkembangan bisa menjadi dasar perilaku penyimpangan di masa dewasa.

Selain itu sebelum masuk pada sesi diskusi paparan materi dari narasumber keempat yang tak kalah penting terkait pencegahan diskriminasi terhadap salah satu tipe anak yang perlu mendapatkan perlindungan khusus, anak korban HIV/AIDS.

“Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia perlu difokuskan pada pencapaian '3 Zero 2030', yaitu: tidak ada infeksi HIV baru, tidak ada kematian terkait AIDS, dan tidak ada diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Kami ingin semua pihak memahami bahwa pencegahan HIV dimulai dengan edukasi yang menyeluruh, deteksi dini melalui tes HIV atau VCT, dan terapi antiretroviral (ARV) yang harus dijalankan secara konsisten. Hanya dengan pengobatan yang benar, ODHA bisa hidup sehat dan produktif," ungkapnya.

Sayangnya, penanggulangan HIV/AIDS ini masih menghadapi tantangan besar berupa stigma dan diskriminasi yang mempersulit ODHA mengakses layanan kesehatan dan menyebabkan tekanan sosial yang besar.

"Kami tahu bahwa anak-anak yang terinfeksi HIV, terutama di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), sering kali menerima diskriminasi, baik dari sekolah maupun masyarakat. Kami juga memahami bahwa stigma ini banyak dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang cara penularan HIV, yang membuat masyarakat merasa takut dan berprasangka bahwa HIV/AIDS adalah akibat perilaku tidak bertanggung jawab," tukasnya. (thi/gat/dek)

  • Bagikan