Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Terhadap Hakim sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi

  • Bagikan
Dr. YANTO M. P. EKON, SH.,M.Hum

Oleh: Dr. YANTO M. P. EKON, SH., M.Hum *)

Hakim merupakan profesi yang luhur (officium nobile) dan satu-satunya profesi di dunia yang memperoleh sebutan “Wakil Tuhan di Dunia” atau Yang Mulia. Demikian pula dalam penegakan hukum, hakim memegang posisi yang sentral dan menentukan sebab hakim sebagai pemutus perkara tidak hanya sebagai corongnya undang-undang, melainkan dapat berperan untuk menemukan hukum melalui interpretasi dan argumentasi, guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Oleh karena itu, Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai hukum dasar Indonesia memberikan jaminan kemandirian dan kemerdekaan kepada hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kemandirian dan kemerdekaan hakim artinya hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yakni dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya bebas dari intervensi kekuasaan legislatif, eksekutif maupun pengaruh-pengaruh lainnya.

Kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tidak dapat diartikan sebebasbebasnya melainkan kemandirian itu dibatasi oleh hukum dan wajib memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum serta menjunjung tinggi etika profesi hukum, sebagaimana digariskan oleh Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Akan tetapi tidak semua hakim di Indonesia memiliki integritas dan kepribadian yang baik dan juga tidak semua menjujung tinggi kode etik profesi hakim.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati, dkk dari Tim Peneliti Komisi Yudisial Republik Indonesia dan dituangkan dalam buku berjudul “Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum, Pengadilan dan Masyarakat di Indonesia: Studi Sosio-Legal” mengklasifikasikan tiga tipe hakim. Pertama, tipe hakim “kapal keruk”, yaitu hakim yang sudah rusak secara moral dengan ciri selalu meminta atau memeras pihak berperkara dengan janji memberikan kemenangan atau terdakwa dengan ancaman akan menjatuhkan vonis yang berat dan memaksakan putusan meskipun pertimbangan hukumnya keliru.

Kedua, tipe hakim yang tidak meminta atau memeras pihak berperkara atau terdakwa tetapi dapat menerima hadiah dari pihak berperkara atau terdakwa, asalkan secara hukum pihak berperkara layak untuk dimenangkan atau terdakwa layak untuk dibebaskan atau dilepaskan dari dakwaan dan tuntutan pidana. Ciri tipe hakim ini lebih mementingkan pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan dan hanya bersedia “membantu” para pihak berperkara atau terdakwa, jika memang secara hukum dan fakta layak dimenangkan atau dibebaskan/dilepaskan.

Ketiga, tipe hakim idealis, yaitu hakim yang menjaga integritas, kepribadian, jujur dan menjunjung
tinggi etika profesi hakim dalam keadaan dan kondisi apapun. Tipe hakim yang ketiga sangat diharapkan dan didambakan oleh masyarakat pencari keadilan dan negara karena dengan idealisme yang dimiliki dapat menjatuhkan putusan berdasarkan hukum dan hati nuraninya.

Sebaliknya tipe hakim pertama merupakan tipe hakim yang menjatuhkan putusan hanya dengan mengutamakan “perut”, atau istilah paling sinis bagi tipe hakim ini adalah hakim yang menjatuhkan putusan dengan mengutamakan pertimbangan terhadap “sarapan paginya”, sedangkan tipe hakim kedua merupakan tipe hakim yang mengutamakan profesionalisme atau keahlian dan ketrampilan hukum yang dimiliki tetapi mengesampingkan integritas, kepribadian dan kode etik profesi hakim.

Tindakan yang dilakukan oleh tipe hakim pertama dan kedua sama-sama tergolong tindak pidana korupsi yang harus diberantas menurut hukum yang berlaku artinya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan harus dilakukan oleh pejabat berwenang dan dilakukan menurut prosedur hukum yang tepat serta perbuatan materil harus memenuhi unsur delik yang disangkakan dan/atau didakwakan.

Hal ini dimaksudkan agar penegakan hukum yang dilakukan terhadap hakim yang tersangkut tidak pidana korupsi, tidak mengganggu kemandirian dan kebebasan hakim yang profesional dan berintegritas dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan.

Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri dari tujuh jenis, yakni (i) korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, (ii) korupsi suap-menyuap, (iii) korupsi terkait penggelapan dalam jabatan, (iv) korupsi dengan cara pemerasan, (v) korupsi dengan cara perbuatan curang, (vi) korupsi terkait pengadaan, dan (vii) korupsi dengan melakukan gratifikasi. Namun dari tujuh jenis tindak pidana korupsi tersebut, kebanyakan yang dilakukan oleh hakim koruptor adalah korupsi suap-menyuap dan pemerasan.

Penegak hukum yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap hakim koruptor selama ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang antara lain terhadap Hakim Agung GS karena diduga menerima hadiah berupa uang sebesar SGD 110.000,- (seratus sepuluh ribu Dollar Singapura) dari HT melalui TYP dan ES, saat menjadi Hakim Anggota dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana terhadap Terdakwa BGS, agar permohonan kasasi yang diajukan dapat dikabulkan. Namun terhadap dakwaan dan tuntutan pidana dari Penuntut Umum KPK terhadap Hakim Agung GS diputus bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung RI.

Setelah putusan bebas oleh Mahkamah Agung RI, maka KPK menangkap dan menahan lagi Hakim Agung GS karena diduga menerima gratifikasi sebesar Rp. 650.000.000,00 (enam ratus lima puluh juta rupiah) dari JF, terkait Perkara Kasasi Nomor 3679 K/PID.SUS-LH/2022 dan tindak pidana pencucian uang.

Penuntut Umum KPK dengan mendasarkan pada hasil penyidikan, selanjutnya membuat surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara, barang bukti dan Terdakwa ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Klas IA Khusus. Pada proses persidangan di pengadilan, Hakim Agung GS selaku Terdakwa melalui tim penasihat hukumnya mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan dan terhadap keberatan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Klas IA Khusus menjatuhkan Putusan Sela dengan menyatakan penuntutan dan surat dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan memerintahkan Terdakwa GS dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan.

Penuntut Umum KPK mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi DKI dan Pengadilan Tinggi DKI membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan memerintahkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Klas IA Khusus untuk melanjutkan mengadili dan memutus perkara korupsi tersebut.

Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melanjutkan perkara korupsi dengan Terdakwa Hakim Agung GS dan akhirnya menjatuhkan putusan pemidanaan kepada Terdakwa GS dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun tetapi Terdakwa Hakim Agung GS masih menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi DKI.

Pada 24 Oktober 2024, berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan, maka Kejaksaan Agung RI menetapkan tersangka dan menangkap serta menahan tiga orang hakim pada Pengadilan Negeri Surabaya masing-masing ED, M, dan HH. Ketiga hakim ini disangka menerima suap dan/atau gratifikasi pada saat memeriksa, mengadili dan memutus bebas Terdakwa GRT dalam dugaan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

Fakta-fakta ini jelas membuktikan KPK maupun Kejaksaan sama-sama melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana korupsi terutama suap dan/atau gratifikasi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Oleh karena itu, persoalan hukum yang ingin dipecahkan dalam tulisan ini adalah apa dasar hukum bagi Kejaksaan dan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan siapakah sebenarnya yang diberikan kewenangan menurut undang-undang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana korupsi?

Dasar kewenangan Kejaksaan dan KPK Selaku Penyelidik dan Penyidik TP Korupsi Dasar hukum yang menetapkan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi adalah Pasal 30 ayat (1) huruf a dan d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang menetapkan “Di bidang pidana, kejaksaan memiliki tugas dan wewenang melakukan penuntutan dan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang”.

Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d undang-undang kejaksaan ini menyatakan bahwa kewenangan
dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Demikian pula kewenangan KPK sebagai penyelidik dan penyidik maupun penuntut umum tindak pidana
korupsi, diatur dalam Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menetapkan “Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi”. Lebih lanjut Pasal 11 ayat (1) dan (2) undang-undang ini juga menetapkan:
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara;
dan/atau; b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.

Kewenangan Kejaksaan & KPK Menyidik dan Menuntut Hakim Koruptor

Kewenangan Kejaksaan sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum terhadap tindak pidana korupsi
menurut Pasal 30 ayat (1) huruf a dan d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan bersifat umum artinya siapa saja yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan berapa saja besar kerugian keuangan negara yang ditimbulkan menjadi kewenangan kejaksaan untuk menyidik dan menuntutnya ke pengadilan.

Sebaliknya kewenangan KPK selaku penyelidik, penyidik dan penuntut umum tindak pidana korupsi menurut Pasal 6 huruf e dan Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dikhususkan pada subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi tertentu dan/atau besaran tertentu dari kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi.

Subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan oleh KPK dikhususkan pada 3 (tiga) subyek hukum yaitu (i) aparat penegak hukum, (ii) penyelenggara negara dan (iii) orang lain yang memiliki kaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau penyelenggara negara, sedangkan besaran kerugian negara yang timbul dari tindak pidana korupsi itu minimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kata penghubung yang digunakan dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 adalah “dan/atau” artinya subyek pelaku tindak pidana korupsi dan besaran kerugian keuangan negara yang ditimbulkan bersifat komulatif maupun alternatif. Bersifat komulatif artinya baik subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi maupun besaran kerugian keuangan negara yang timbul dari tindak pidana korupsi terpenuhi maka menjadi kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari KPK sedangkan bersifat alternatif artinya asalkan salah satu dari subyek hukum pelaku atau besaran kerugian keuangan negara terpenuhi maka dapat menjadi kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntutnya ke pengadilan.

Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 menegaskan kekhususan dari kewenangan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari KPK dalam tindak pidana korupsi, yakni jika subyek pelaku tindak pidana korupsi bukan tergolong penegak hukum, penyelenggara negara dan orang yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau penyelenggara negara dan/atau besaran kerugian keuangan negara tidak mencapai Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) maka bukan menjadi kewenangan KPK sehingga KPK wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutannya kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.

Oleh karena itu, untuk menentukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, termasuk kewenangan KPK atau Kejaksaan harus terlebih dahulu menentukan apakah hakim termasuk penegak hukum dan/atau penyelenggara negara atau bukan.

Apabila ternyata hakim termasuk penegak hukum dan/atau penyelenggara negara maka kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan kewenangan dari KPK, sedangkan apabila hakim bukanlah penegak hukum dan/atau penyelenggara negara maka kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana korupsi merupakan kewenangan dari Kejaksaan dan Kepolisian.

Sehubungan dengan kedudukan hakim sebagai penegak hukum atau bukan, Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Kemudian Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor: 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menetapkan “Peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung menetapkan “pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung”. Demikian pula Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum menetapkan “Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”.

Substansi ketentuan hukum yang sama diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan “Hakim pengadilan adalah
pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, maka dengan menggunakan interpretasi sistimatis dapat dimaknai bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh hakim dari empat peradilan yaitu peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, peradilan militer dan berpuncak pada Mahkamah Agung untuk menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan sangat jelas menetapkan Hakim termasuk aparat penegak hukum di Indonesia.

Hakim sebagai penegak hukum juga dikemukakan oleh Hikmahanto Juwana (2006:222-223) bahwa di
Indonesia, secara tradisional institusi hukum yang melakukan penegakan hukum adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Peradilan dan Advokat. Di luar institusi tersebut masih ada diantaranya Direktur Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Imigrasi.

Demikian pula dalam pertimbangan hukum Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 4/Pid.Prap/ 2025/PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, Hakim H. Sarpin Rizaldi yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini menyatakan bahwa secara harafiah aparat penegak hukum dapat diartikan sebagai aparat negara yang diberi wewenang oleh undang-undang melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum dan dapat diketahui dengan jelas tentang siapa saja yang termasuk atau disebut sebagai aparat penegak hukum, yakni:
1) Penyelidik, Penyidik;
2) Jaksa, Penuntut Umum;
3) Hakim.

Lebih lanjut terhadap kedudukan hakim sebagai penyelenggara negara, ketentuan Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menetapkan “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pasal 2 dari undang-undang ini juga menetapkan “Penyelenggara Negara meliputi:
1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3) Menteri;
4) Gubernur;
5) Hakim;
6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan Pasal 2 angka 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “Hakim”, dalam ketentuan ini meliputi Hakim di semua tingkatan Pengadilan. Berdasarkan Pasal 1
angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka Hakim pada semua tingkatan pengadilan memiliki
kedudukan sebagai Penyelenggara Negara.

Oleh karena secara yuridis, Hakim memiliki kedudukan sebagai penegak hukum dan penyelenggara negara, sehingga penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana korupsi sesuai ketentuan Pasal 6 huruf e junto. Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi kewenangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan bukan merupakan kewenangan dari Kejaksaan.

Kaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan terhadap
3 (tiga) orang Hakim Pengadilan Negeri Surabaya oleh Kejaksaan Agung RI masing-masing ED, M dan HH serta orang lain yang diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi oleh ketiga orang hakim itu seperti Advokat LR, MW selaku ibu kandung dari GRT dan ZR selaku mantan pejabat di Mahkamah Agung, bukanlah merupakan kewenangan dari Kejaksaan Agung RI karena tiga alasan.

Pertama, Hakim ED, M dan HH merupakan penegak hukum yang diduga menerima suap atau gratifikasi pada saat melakukan tugas penegakan hukum berupa memeriksa, mengadili dan memutus tentang terbukti atau tidaknya dakwaan Jaksa Penutut Umum terhadap terdakwa GREGORIUS RONALD TANNUR dalam Perkara Pidana pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor Nomor 454/PID.B/2024/PN.Sby, tanggal 24 Juli 2024.

Kedua, sesuai dengan Pasal 6 huruf e junto. Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Hakim ED, M dan HH merupakan Penyelenggara Negara dan ketiga, Advokat LR, MW selaku ibu kandung dari GREGORIUS RONALD TANNUR dan ZR selaku mantan pejabat di Mahkamah Agung tergolong orang lain yang memiliki kaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Hakim ED, M dan HH.

Kewenangan KPK terhadap hakim selaku penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi maupun kejaksaan dalam tindak pidana korupsi pada umumnya tersifat
ganda karena berwenang selaku penyelidik dan penyidik maupun penuntut umum. Kewenangan ganda yang dimiliki oleh KPK dan Kejaksaan dapat mengakibatkan KPK dan Kejaksaan pada satu pihak sebagai penuntut umum yang mendakwa dan menuntut terdakwa korupsi di sidang pengadilan atau sebagai pihak berperkara dalam proses per adilan pidana korupsi, sedangkan Hakim berwenang menjatuhkan putusan terbukti atau tidaknya dakwaan terhadap Terdakwa.

Namun dilain pihak KPK dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap hakim yang mengadili perkara korupsi dan apabila terdapat cukup bukti bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim terdapat indikasi korupsi maka KPK dapat melakukan tindakan paksa berupa penangkapan dan penahanan terhadap hakim tersebut. Oleh karena itu, menurut penulis kewenangan ganda yang dimiliki KPK dan Kejaksaan selaku penyelidik dan penyidik maupun penuntut umum berpotensi mempengaruhi kemandirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara korupsi yang dituntut oleh KPK.

Beberapa pengaruh yang dapat timbul dari kewenangan ganda KPK atas hakim yang diduga melakukan tindak pidana korupsi atau kejaksaan atas tindak pidana korupsi pada umumnya terhadap kemandirian dan kebebasan hakim dalam memutus perkara korupsi, antara lain (i) hakim memutus perkara korupsi tidak lagi didasarkan atas hukum dan fakta melainkan lebih cenderung mengikuti dakwaan dan tuntutan pidana dari Penuntut Umum, agar bebas dari penyelidikan dan penyidikan.

Potensi ini lebih banyak akan terjadi pada tipe hakim “kapal keruk” dan tipe hakim “yang suka menerima hadiah”, karena demi bebas dari penyelidikan dan penyidikan terhadap harta kekayaan yang bersumber dari hasil pemerasan atau penerimaan hadiah dari pihak berperkara atau terdakwa, maka putusannya cenderung mengikuti dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum.

Akhirnya tipe “hakim kapal keruk” dan tipe hakim “yang suka menerima hadiah”, ini secara perlahan-perlahan berubah menjadi “hakim pilatus”, karena memutus perkara korupsi dengan cara cuci tangan dan asal disukai oleh Penuntut Umum. (ii) Hakim memutus perkara korupsi di bawah tekanan, kekuatiran dan ketakutan akan dilidik dan disidik.

Meskipun putusan yang dijatuhkan didasari hukum dan fakta serta tanpa adanya korupsi, tetapi tekanan, kekuatiran dan ketakutan yang akan dialami hakim adalah terganggunya konsentrasi dan tugas pokok dalam menjalani penyelidikan dan penyidikan hanya karena memutus perkara korupsi tidak sesuai dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum.

Terganggunya kemandirian dan kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan sebagai akibat dari kewenangan ganda yang dimiliki oleh KPK maupun Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi sangat jelas
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 24 Undang-Undang Dasar, 1945. Oleh karena itu, agar tidak
terganggunya kemandirian dan kebebasan hakim dalam memutus perkara korupsi dan pidana pada
umumnya, maka beralasan hukum apabila kewenangan ganda tidak diberikan kepada KPK dan Kejaksaan
dalam tindak pidana korupsi, melainkan perlunya perubahan undang-undang Kejaksaan dan KPK yang
menetapkan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi menjadi kewenangan KPK,
sedangkan kewenangan penuntutan menjadi kewenangan Kejaksaan.

Demikian pula untuk memberantas tipe hakim “kapal keruk” dan tipe hakim “yang suka menerima hadiah”, sebaiknya dengan kewenangan yang dimiliki KPK, dapat memeriksa dan menyelidiki seluruh harta kekayaan yang dimiliki para hakim di Indonesia, guna menentukan berimbang atau tidaknya dengan penghasilan yang dimiliki. Selanjutnya diterapkan pembuktikan terbalik untuk menentukan asal-muasal harta kekayaan tersebut. Semoga bermanfaat!

*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang-NTT

  • Bagikan