BPJS Ketenagakerjaan Kolaborasi dengan Ombudsman, Sosialisasi Perlindungan Jaminan Sosial Bagi Pekerja Informal di NTT

  • Bagikan
Komisioner Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng foto bersama Sekda Managgarai Barat dan peserta diskusi publik di Kantor Bupati Mabar, Kamis (7/11/2024). (FOTO: ISTIMEWA)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Ombudsman Republik Indonesia terus mendorong optimalisasi penyelenggaraan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi para pekerja informal. "Untuk itu Ombudsman RI segera menyerahkan hasil kajian jaminan sosial ketenagakerjaan kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja informal rentan seperti petani, nelayan, dan UMKM," kata Pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng saat diskusi publik di Kantor Bupati Manggarai Barat, Kamis (7/11/2024).

Pada kesempatan itu, Robert Jaweng juga menyerahkan hasil evaluasi dan kajian sistematik kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Manggarai Barat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, serta pihak BPJS Ketenagakerjaan.

Menurutnya, ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan kelompok pekerja informal dan pekerja rentan tidak dapat memiliki perlindungan sosial ketenagakerjaan. Salah satunya adalah disharmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan pemerintah pusat seperti Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2021 telah mengatur optimalisasi jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsosnaker), namun banyak daerah belum memiliki regulasi yang kuat untuk mendukungnya.

"Isunya memang di tingkat regulasi dan untuk skala nasional secara umum sebenarnya sudah komprehensif, namun di tingkat daerah, tidak banyak provinsi/kabupaten/kota punya regulasi," ungkap Endi Jaweng.

Endi mengatakan, meski Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Barat saat ini sudah sudah ada, namun masih bersifat umum. "Karena itu, ke depan kita harapkan Kabupaten Manggarai Barat segera menyusun perbup terkait pengalokasian dana bagi para pekerja rentan seperti petani, nelayan, dan pekerja informal lainnya sehingga payung hukumnya jelas," pinta Endi.

Endi membeberkan, secara nasional klasifikasi pekerja informal mendominasi status pekerja di Indonesia. Sekitar 59,17 persen dari jumlah pekerja di Indonesia atau 84,13 juta penduduk merupakan pekerja informal atau dalam sistem jaminan sosial pekerja informal dikategorikan sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (BPU).

Dalam klasifikasi tersebut, lanjutnya, profesi petani dan nelayan merupakan yang paling rentan terhadap risiko sosial-ekonomi seperti penyakit hingga kematian akibat kerja, kecelakaan kerja, hingga kesulitan ekonomi di masa tua.

Mirisnya, sambungnya, dalam situasi ringkih demikian, sebagian besar petani dan nelayan justru belum tersentuh skema jaminan sosial ketenagakerjaan. Baru sekitar dua juta jiwa atau 6,9 persen dari jumlah petani se-Indonesia yang sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan jumlah BPU dari profesi nelayan baru mencapai 491 ribu jiwa atau 38,7 persen dari jumlah nelayan yang ada di Indonesia.

Merespon hasil kajian tersebut, Sekda Manggarai Barat, Fransiskus Sales Sodo menyampaikan terima kasih atas evaluasi dan kajian Ombudsman RI terkait optimalisasi BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya, program jaminan sosial ketenagakerjaan ini sudah sejalan dengan program pihaknya dalam rangka pengentasan kemiskinan ekstrem.

“Saran dari Ombudsman bahwa Pemda harus menyiapkan regulasi secara spesifik khususnya pendataan pekerja informal yang nantinya akan dicover oleh pemerintah daerah. Tahun depan kami akan meningkatkan kuota pekerja-pekerja informal yang rentan melalui APBD, kalau tahun ini kita sudah siapkan 1.000 pekerja, tahun depan kita harapkan bisa jauh dari pada ini,” janji Fransiskus Sodo.

Temuan Ombudsman di beberapa daerah menunjukkan masih banyak masyarakat khususnya pekerja informal yang terhambat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan karena faktor kemampuan ekonomi (ability to pay). Hal ini ditengarai lantaran pekerja informal atau pekerja mandiri tidak terikat dengan perusahaan tempat bekerja (pemberi upah) sehingga cenderung rentan menjadi peserta tidak aktif.

Oleh karena itu, lanjutnya, Ombudsman RI akan merekomendasikan kepada pemerintah agar pekerja informal rentan seperti petani dan nelayan yang kesulitan membayar iuran tersebut bisa mendapatkan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan dengan keberadaan skema penerima bantuan iuran (PBI).

"Sehingga di sisi regulasi kita akan mengajukan agar Kemenko duduk bersama dengan kementerian terkait untuk menyusun SKB, Surat Keputusan Bersama, yang memastikan agar para petani dan nelayan itu bisa mendapatkan bantuan iuran, PBI," katanya.

Keseluruhan langkah mengharmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah, serta peningkatan peran pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk program Jamsosnaker (PBI) ini diperlukan untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia yang menjadi salah satu fokus pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto menuju Indonesia Emas.

Kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan NTT, Christian Natanael Sianturi menyatakan bahwa pihak BPJS Ketenagakerjaan akan terus berusaha meningkatkan kesadaran para pekerja informal, khususnya di sektor-sektor yang belum maksimal dalam akuisisi jaminan sosial dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat agar lebih dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat.

Selain itu, sambungnya, sosialisasi akan terus digalakan ke wilayah-wilayah yang belum familiar dengan jaminan sosial secara masif sehingga lebih banyak masyarakat lagi yang sadar akan pentingnya perlindungan sosial lewat BPJS Ketenagakerjaan.

“Risiko bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan apapun pekerjaannya. Kami dari BPJS Ketenagakerjaan akan berupaya secara masif untuk mensosialisasikan perlindungan jaminan sosial ke desa-desa berkolaborasi dengan pemerintah daerah agar tujuan menyejahterahkan pekerja dapat terwujud, karena jaminan sosial adalah cara terbaik agar masyarakat dapat bekerja keras namun bebas cemas, seperti tagline kami “Kerja Keras Bebas Cemas,” tutup Christian. (*/aln)

  • Bagikan