KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Anak-anak adalah kelompok paling rentan terdampak bencana, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Sehingga, anak-anak membutuhkan perlindungan khusus.
Upaya perlindungan ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Termasuk lembaga agama, tokoh masyarakat, LSM, guru, tenaga kesehatan, komunitas lokal, dan keluarga.
Kolaborasi antarlembaga, seperti Dinas Sosial, BPBD, Dinas Kesehatan, lembaga pendidikan serta organisasi masyarakat sipil dan internasional, sangat penting untuk memastikan anak-anak korban bencana mendapatkan hak dan perlindungan yang layak.
Kebijakan seperti Undang-Undang Perlindungan Anak dan Perda Perlindungan Anak, menjadi pedoman utama dalam penanganan anak korban bencana. Pemerintah melalui program trauma healing dan perlindungan khusus anak menjamin keselamatan anak-anak dari kekerasan, memberikan tempat aman di lokasi pengungsian serta memastikan pemulihan fisik dan psikososial anak-anak.
Pendekatan berbasis GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial) harus diterapkan untuk menjangkau kelompok rentan seperti anak, perempuan dan kelompok disabilitas,.
Peran keluarga juga sangat penting, khususnya dalam memberikan dukungan emosional dan edukasi kepada anak-anak yang mengalami trauma pascabencana. Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan berperan aktif dalam mendukung pemenuhan hak-hak anak selama dan setelah bencana.
Melalui kegiatan sosialisasi ini, maka semua pihak diajak untuk lebih proaktif dalam mendukung perlindungan anak, baik melalui kebijakan maupun aksi nyata. Dengan semangat kolaborasi agar dapat memastikan anak-anak korban bencana, khususnya di NTT terlindungi dari diskriminasi dan kekerasan. Dengan demikian maka anak-anak dapat tumbuh menjadi bagian dari generasi emas Indonesia.
"Jadi, hanya dengan bersama-sama maka kita bertanggung jawab untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak," kata Ruth Diana Laiskodat selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTT saat membuka secara resmi kegiatan Sosialisasi Penanganan Anak Korban Bencana, Rabu, (4/12).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh DP3AP2KB Provinsi NTT ini berlangsung di aula Hotel Grennia, Rabu (4/13) bertujuan untuk memberikan kesadaran para orangtua, pengasuh, petugas lapangan dan pemerintah daerah, lembaga sosial dan komunitas lokal di NTT mengenai pentingnya perlindungan anak dari kekerasan selama dan setelah bencana.
Dengan menghadirkan narasumber terkait topik tersebut, yaitu Ruth Diana Laiskodat, selaku selaku Kadis P3AP2KB Provinsi NTT, Cornelis Wadu selaku Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTT, France A. Tiran selaku Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak DP3AP2KB Provinsi NTT dan Mariana I. RD. Pareira selaku Psikolog sekaligus Dosen Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Dia mengatakan, anak-anak berhak hidup, belajar, bermain dan dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Dalam situasi bencana, hak-hak ini harus tetap terjamin.
Untuk itu, ada beberapa strategi penting yang dilakukan. Pertama, harus mengidentifikasi anak-anak yang paling rentan. Misalnya, anak-anak yang kehilangan keluarga atau mengalami trauma. Selanjutnya, perlu disediakan ruang aman bagi anak-anak, memastikan mereka tetap bisa mendapatkan pendidikan darurat, layanan kesehatan, dan nutrisi yang cukup.
Namun, kata dia, semua ini tidak bisa dilakukan sendiri. Atau dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, LSM, tokoh masyarakat dan keluarga. Semua pihak juga perlu bekerja sama untuk memberikan perlindungan terbaik bagi anak-anak.
"Kita juga harus memastikan adanya alokasi anggaran yang cukup agar program-program ini bisa berjalan berkelanjutan," ujarnya.
Dia mengatakan, meskipun sudah banyak yang dilakukan, seperti program sosialisasi perlindungan anak di sekolah atau melalui media, namun indeks perlindungan anak di NTT masih tertinggal dibandingkan rata-rata nasional. Ini menjadi tantangan sekaligus motivasi bagi kita semua untuk berbuat lebih baik.
Intinya, kata dia, perlindungan anak korban bencana adalah tanggung jawab bersama. Dengan bekerja sama, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman, mendukung pemulihan mereka, dan memberikan masa depan yang lebih baik.
"Anak-anak ini adalah harapan kita untuk menjadi generasi masa depan yang tangguh dan sejahtera," ungkapnya.
Kepala Pelaksana BPBD Provinsi NTT, Cornelis Wadu mengatakan, strategi perlindungan penanganan korban bencana dimulai dari tahap pra bencana hingga pasca bencana.
Strategi perlindungan ini dimulai dari tahap pra-bencana dengan penyusunan dokumen perencanaan berbasis data terpilah yang membantu mengidentifikasi kebutuhan spesifik kelompok rentan.
"Edukasi dan pelatihan juga diberikan untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam mengurangi risiko bencana. Saat tanggap darurat, kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan disediakan sesuai dengan kebutuhan mereka. Hunian sementara juga dirancang agar aman, setara, dan mudah diakses," ungkapnya.
France Abednego Tiran sebagai narasumber juga mengajak seluruh peserta untuk terus berkomitmen dalam melindungi anak-anak dan perempuan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi, dengan menekankan bahwa peran serta masyarakat terutama kaum muda, termasuk tokoh agama, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah, sangat krusial dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak termasuk anak sebagai korban bencana yang termasuk dalam 15 tipe anak yang perlu dilindungi.
“Anak-anak tidak boleh dipandang sebelah mata, karena mereka adalah anugerah yang tidak pernah memilih untuk dilahirkan dan berhak dihormati," ungkapnya.
Selain itu, pendampingan psikososial perlu diberikan untuk mendukung kesejahteraan psikologis anak, serta memastikan mereka mendapatkan akses layanan kesehatan yang layak,pendidikan, kebutuhan dasar untuk para korban bencana. (thi/gat/dek)