Prabowo Belum Tentukan Calon Pengganti
SLEMAN, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID – Miftah Maulana Habiburrahman menyatakan mundur sebagai utusan khusus presiden bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan. Tapi, dia memastikan tak akan mengubah gaya dakwah.
Namun, dia akan lebih berhati-hati dalam memilih diksi. ’’Saya tidak luput atas kekurangan. Baik yang disengaja ataupun tidak, saya mohon maaf dari hati yang paling dalam,’’ ucapnya di pondok pesantren Ora Aji, Sleman, Jogjakarta, Jumat (6/12).
Penceramah berambut gondrong itu menjadi sasaran kecaman setelah beredar video olok-oloknya kepada seorang penjual es teh bernama Sunhaji dalam sebuah pengajian. Meski pria kelahiran Lampung itu sudah mendatangi Sunhaji di kediamannya di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, untuk meminta maaf, sorotan tajam tetap mengarah kepadanya.
Beredar pula petisi daring yang sudah diteken ratusan ribu orang yang meminta Presiden Prabowo Subianto mencopotnya. Belakangan beredar sejumlah video lama Miftah yang perkataannya juga dinilai tak sepantasnya. Misalnya, yang dia sampaikan kepada seniman panggung legendaris Yati Pesek.
Mengutip Jawa Pos Radar Jogja (grup Timex), saat ditanya alasan, Miftah mengaku terharu lantaran sudah diberi amanah dan derajat yang tinggi. Namun, belum bisa memenuhi ekspektasi Presiden Prabowo.
’’Saya seorang anak yang berlatar belakang dari jalan. Bergaul dengan dunia premanisme dan kelab malam, telah diangkat setinggi-tingginya oleh presiden,’’ jelasnya sembari menangis.
Miftah mengaku belum berkomunikasi dengan Presiden Prabowo dan baru direncanakan bertemu pekan depan. Namun, dia telah menyampaikan keputusannya itu kepada Sekretaris Kabinet Mayor Teddy.
Dari Jakarta, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi pun menyatakan bahwa istana menghormati hak Miftah. Untuk posisi yang ditinggalkan, Hasan mengaku belum mendapatkan informasi lebih lanjut. ’’Itu hak prerogatif presiden,’’ jelasnya.
Menurut Miftah, tidak ada tekanan atau suruhan pihak mana pun atas keputusan itu. Dia juga menambahkan, keputusan tersebut bukanlah akhir atau langkah mundur. Sebab, dia akan terus menyebarkan pesan-pesan kerukunan.
Sementara itu, Prabowo mengaku sudah mendapat laporan terkait mundurnya Miftah. Prabowo menilai langkah tersebut sebagai tindakan yang bertanggung jawab.
’’Tindakan kesatria, beliau sadar beliau salah ucap. Beliau bertanggung jawab dan beliau mengundurkan diri. Saya kira kita hargai sikap kesatria itu,’’ ujarnya.
Prabowo mengaku mengenal baik Miftah. Dia menduga, Miftah tidak berniat jahat, tapi salah ucap.
’’Mungkin bahasa beliau, niatnya bukan niat jahat, bukan niat menghina, tapi terlepas mungkin dia salahlah, salah ucap,’’ imbuhnya.
Soal penggantinya, Prabowo mengaku belum mendapatkan. ’’Nanti kita cari, nanti kita cari,’’ katanya.
Abaikan Empati
Selain Miftah, sosok lain di jajaran pemerintahan yang menjadi sorotan adalah juru bicara (jubir) Kepresidenan Adita Irawati yang menggunakan diksi rakyat jelata saat mendefinisikan masyarakat kecil. Diksi itu dia pakai saat menanggapi berita terkait Miftah.
’’Presiden kita, pak Prabowo Subianto ini, baik itu dalam pidato ataupun kunjungan, terlihat sekali pemihakan beliau kepada rakyat kecil, kepada rakyat jelata,’’ kata Adita dalam potongan video yang tersebar di berbagai platform, Kamis (5/12).
Melalui Instagram, Adita yang pernah menjadi juru bicara Presiden Joko Widodo di awal periode kedua serta pernah pula jadi juru bicara Kementerian Perhubungan mengklarifikasi serta meminta maaf kemarin. Tapi, di mata pengamat komunikasi politik Jamiluddin Ritonga, pilihan diksi yang digunakan Miftah dan Adita mengindikasikan minimnya wawasan mengenai psikologis, sosiologis, budaya dan etika masyarakat Indonesia.
’’Akibatnya, komunikasi yang dilakukan Adita dan Miftah mengabaikan aspek empati,’’ ujarnya.
Pilihan diksi yang digunakan juga mengesankan ketidaksetaraan. Adita dan Miftah justru berkomunikasi seolah memosisikan derajat lebih tinggi daripada audiensnya. ’’Komunikasi seperti itu seharusnya tak boleh terjadi karena posisi Adita dan Miftah sebagai orang dekat presiden,’’ imbuhnya.
Sebagai orang dekat, cara berkomunikasi mestinya mewakili karakter dan kepentingan presiden. Apalagi, Prabowo dalam berkomunikasi kerap meninggikan derajat rakyatnya.
Langgam berkomunikasi orang dekat presiden, lanjut Jamiluddin, seharusnya tak jauh dengan yang ditampilkan Presiden Prabowo. Yaitu, tegas, langsung, egaliter dan diksi yang terukur.
Itu yang menurut Jamaluddin tampaknya tak dimiliki Adita dan Miftah. ’’Ada kesan mereka dipilih karena faktor kedekatan, bukan atas kompetensi dan integritas,’’ jelasnya.
Atas dasar itu pula, dia mendesak agar semua utusan khusus dan jubir kepresidenan dievaluasi ulang. Mereka yang tak memenuhi kriteria selayaknya segera diganti. Dengan begitu, utusan khusus dan jubir kepresidenan tidak malah menjadi beban presiden. (del/far/c7/ttg/jpg/ays/dek)