KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Ekonomi Provinsi NTT menghadapi tantangan serius akibat jebakan pertumbuhan rendah yang menghambat percepatan pembangunan. Meski memiliki potensi besar di sektor pariwisata, perikanan dan pertanian, Provinsi NTT masih berjuang mengatasi masalah struktural yang membatasi pertumbuhan ekonomi.
Beberapa faktor utama yang berkontribusi pada pertumbuhan rendah di NTT meliputi infrastruktur yang kurang memadai, ketergantungan pada sektor primer dengan nilai tambah rendah dan akses terbatas terhadap pasar nasional maupun internasional. Selain itu, tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi semakin memperumit upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Pengamat Ekonomi, Frits O Fanggidae kepada Timor Express, Jumat (20/12) menyebut, HUT ke-66 Provinsi NTT tahun ini, bertepatan dengan era baru dimulainya kepemimpinan nasional yang dipimpin Presiden Prabowo Subiyanto, ditetapkannya UU Nomor 59/2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, berakhirnya pesta demokrasi pilkada yang kemudian menghasilkan gubernur dan wakil gubernur NTT terpilih Melki-Johni.
Dikatakan, persoalan pokok NTT di usia 66 yakni stunting, kemiskinan, rendahnya pendapatan perkapita, kesempatan kerja yang terbatas, infrastruktur sosial ekonomi yang belum memadai dan tentu saja masalah kualitas SDM.
“Tali-temali dari berbagai persoalan pokok tersebut berimplikasi pada kinerja perekonomian NTT,” katanya.
Ia membeberkan bahwa sebelum Covid-19, laju pertumbuhan ekonomi NTT stagnan pada 5,00 persen - 5,30 persen. Pada saat Covid-19, tumbuh negatif sekitar 0,83 persen, sementara perekonomian nasional jatuh lebih dalam lagi dengan minus 2,80 persen. Setelah Covid-19, sampai akhir 2023, tumbuh 3,52 persen, sementara nasional telah mencapai 5,05 persen. Pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi NTT diperkirakan 4,20 persen, sementara nasional diperkirakan 5,1 persen.
Akademisi UKAW Kupang ini berkesimpulan bahwa perekonomian NTT menghadapi jebakan pertumbuhan rendah (the trap of low level growth) pada masa normal stagnan, masa krisis kuat bertahan, tetapi lamban bertumbuh pada masa pemulihan.
“Inilah tantangan ekonomi yang dihadapi gubernur dan wakil gubernur NTT terpilih untuk periode 2025-2029,” ujarnya.
Untuk itu, prioritas ekonomi yang dipilih gubernur dan wakil gubernur NTT 2025-2029 harus didasarkan pada analisis yang benar terhadap labirin ekonomi mikro dan makro NTT yang menyebabkan perekonomian NTT terjebak dalam the trap of low level growth tersebut.
Jebakan pertumbuhan rendah yang senantiasa dihadapi perekonomian NTT, sejatinya disebabkan proses pembentukan nilai tambah belum optimal. “Kuncinya terletak pada hilirisasi pertanian, penguatan UMKM melalui digitalisasi dan peningkatan kualitas SDM yang didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai. Inilah persoalan laten dalam perekonomian NTT yang perlu diatasi untuk menjadikan perekonomian NTT tune-in dan mendapatkan slipstream dari laju transformasi atau pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.
Frits menjelaskan, jika demikian, apa yang seharusnya menjadi pintu masuk (entry point) untuk mengatasi pembentukan nilai tambah yang belum optimal atau minim yakni dengan hilirisasi komoditas pertanian bisa menjadi pintu masuk.
Dikatakan, mulailah membenahi bagian hulu (produksi bahan baku/mentah). Perbaikan kualitas pelaku ekonomi (petani), teknologi dan infrastruktur pertanian, bibit, pupuk, obat-obatan dan perbaikan manajemen usaha tani perlu untuk menjamin peningkatan produktivitas dan keberlangsungan pasokan bahan baku.
Pada bagian tengah, perlu penguatan industri pengolahan komoditas pertanian. Para pengusaha yang saat ini condong berinvestasi pada sektor jasa (perhotelah, restoran dan perdagangan), memerlukan insentif khusus untuk beralih pada sektor pengolahan komoditas pertanian. Sedangkan pada bagian hilir, kata dia, pemantapan sistem pemasaran melalui digitalisasi pasar dan penggunaan sistem pembayaran digital perlu dilakukan.
“Dalam kaitan ini, pelaku UMKM sejatinya perlu mendapat perhatian utama karena kemampuan UMKM untuk melakukan penetrasi ekonomi sampai lapis bawah dan potensinya yang sangat besar untuk meningkatkan multiplier effect dalam hal penciptaan nilai tambah dan membuka kesempatan kerja baru,” pungkasnya. (cr6/ays/dek)