KUPANG, TIMEXKUAPNG.FAJAR.CO.ID- Akademisi Ilmu Hukum Pidana Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikael Feka menyoroti terkait pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Belu tahun 2024. Dia menyoroti terkait status seseorang yang pernah dipidana dengan ancaman pidana 7 tahun.
Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) huruf g, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang- Undang, bagi mantan terpidana harus mengumumkan secara terbuka kepada publik dan itu syarat wajib.
Dikatakan Mikael Feka, apabila yang bersangkutan tidak mengumumkan kepada publik maka yang bersangkutan harus dianggap tidak memenuhi syarat sebagai Calon.
"Nah, ini berlaku kepada semua yang namanya mantan narapidana," jelas Mikael Feka, Kamis (26/12).
Menurut dia, syarat ini diatur dalam Pasal 7 ayat 2 huruf g, terutama yang tentang narapidana ini. Jadi, sebetulnya maksud dan tujuan daripada pembuat Undang Undang untuk mengumumkan kepada publik terkait mantan narapidana ini adalah agar masyarakat memiliki referensi tentang siapa calon pemimpin sehingga masyarakat memiliki pemahaman atau pengetahuan yang cukup tentang calon pemimpin siapa yang akan dipilih dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Kendati proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati sudah berjalan, kata Mikael Feka, tidak menjadi persoalan karena tidak ada kadaluwarsa. Ini sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi maka Hakim Mahkamah Konstitusi yang akan menilai.
"Jika terbukti yang bersangkutan adalah mantan narapidana dan tidak mengumumkan kepada publik kepada media yang terverifikasi oleh Dewan Pers maka ini akan berdampak pada diskualifikasi pasangan calon yang bersangkutan dan berpotensi untuk PSU untuk seluruh Kabupaten Belu," jelasnya.
Karena, kata dia, semua syarat yang sudah diatur dalam pasal 7 ayat 2 itu bersifat komulatif. Artinya, satu syarat tidak terpenuhi akan menggugurkan syarat-syarat yang lain.
"Pilkada adalah demokrasi yang sesungguhnya dan harus ada kejujuran, keadilan harus ada dan ditegakkan. Ada sanksi administratif dan bisa sanksi pidana," ungkapnya.
Seorang mantan narapidana dan ketika saat mendaftar nanti ada daftar ceklist, di situ yang menyatakan ada tulisan pernah narapidana atau tidak pernah narapidana kemudian mencentang tidak pernah narapidana maka itu telah memberikan keterangan tidak benar tentang diri dia (seseorang). Karena itu, selain ada sanksi administratif ada juga sanksi pidana.
Mikael mengaku tidak menyalahkan pihak kepolisian yang mengeluarkan SKCK dan dari Pengadilan yang mengeluarkan surat keterangan tidak pernah dipidana. Mengapa? Karena kepolisian dan pengadilan mengeluarkan itu berdasarkan permohonan pemohon.
Dari situlah letak tidak kejujuran dengan memberikan keterangan tidak benar. Jadi, tanggung jawabnya ada di Pemohon. Artinya, dia tidak jujur terhadap institusi kepolisian dan institusi pengadilan sehingga Kepolisian mengeluarkan SKCK dan pengadilan mengeluarkan surat tidak pernah dipidana sesuai dengan apa yang dimohonkan oleh pemohon.
"Tanggung jawab itu mutlak ada di Pemohon," tandasnya.
Terkait unsur pidana itu akan ke Gakkumdu, sedangkan administrasi ke Mahkamah Konstitusi. Siapapun warga negara Indonesia ketika ada putusan pengadilan, baik itu pengadilan umum, atau pengadilan negeri terkait sanksi pidana, maupun di Mahkamah Konstitusi maka siapapun tanpa terkecuali dia harus menerima.
"Semua orang itu sama dihadapan hukum. Kita menunggu proses hukum, baik proses pidana yang sementara berjalan di Gakkumdu maupun proses di Mahkamah Konstitusi. Masing-masing kita bersabar. Kita meletakkan keadilan diatas segalanya," jelasnya.
Harapannya berjalan sesuai dengan seharusnya bahwa yang salah tetap salah dan benar tetap benar. (r1/gat/dek)