KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Pemerintah Provinsi NTT mengklaim populasi ternak sapi di NTT mengalami penurunan drastis. Dalam 10 tahun terakhir, populasi sapi di Provinsi NTT tercatat menurun hingga 40 persen, sementara populasi kerbau turun lebih drastis, mencapai 60 persen.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) NTT, Tono Sufari Sutami mempertanyakan alat ukur yang digunakan pemerintah dalam menghitung populasi ternak sapi.
Menurutnya, perhitungan yang dilakukan selama ini berdasarkan pemasangan eartag sedangkan masih banyak sapi ditemukan tidak menggunakan itu. “Kita tidak tahu soal populasi menurun karena yang kita temukan banyak sapi tidak ada eartag. Ini artinya masih banyak ternak sapi tidak terdata. Lalu dari mana kita mengklaim populasi ternak menurun,” katanya.
Kata Tono, dengan banyak sapi yang tidak terdata dan mengklaim populasi menurun akan berdampak kepada kebijakan yang diambil pemerintah hingga merugikan pengusaha dan petani peternak.
“Kita sangat mendukung setiap program dan kebijakan pemerintah dalam menjaga populasi tetapi tidak mengabaikan kesejahteraan peternak juga,” sebutnya.
Berdasarkan informasi dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kata Tono, petugas tidak melakukan pendataan atau pemesangan eartag dengan alasan tidak adanya anggaran. Namun pemerintah mengklaim populasi menurun.
Menurutnya, populasi sapi masih banyak karena pengiriman sapi potong sesuai dengan standar yang ditentukan yakni 275 kg dan tidak pemotongan sapi betina produktif. “Jangan sampai kebijakan yang diambil pemerintah merugikan petani,” tegasnya.
Ia mendorong pemerintah agar melakukan penghitungan dan pendataan dengan menggunakan variabel yang tepat agar tidak merugikan petani peternak di NTT. “Harus hitung dengan baik. Jangan tidak hitung lalu bilang populasi turun. Menurut kami populasi tidak turun,” ujarnya.
Terkait sejumlah persoalan pada bidang peternakan, pihaknya telah berkomunikasi dengan pemerintah dan DPRD melalui rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar di Komisi II DPRD NTT, Selasa (21/1).
Asosiasi juga mengusulkan untuk penerapan program kawin suntik (IB) agar menambah populasi. “Untuk menjaga betina tidak dipotong merupakan kewenangan pemerintah. Bagaimana pemerintah menjaga dan mengawasi agar aturan itu benar-benar diterapkan. Kami hanya jalankan dan sejauh ini tidak ada pemotongan sapi betina produktif,” katanya.
Ia juga mengaku persoalan yang dihadapi saat ini yakni memenuhi kuota pengiriman sapi dengan bobot 275 kg karena genetik sapi NTT kecil. “Soal pergub tentang pengurangan bobot sapi potong 275 kg sesuai pergub, menurut DPRD sedang diusulkan untuk digodok bersama pemerintah. Ia juga berharap pemerintah dan dinas harus melibatkan asosiasi dalam setiap kebijakan agar tidak merugikan petani.
Sementara, Ketua Komisi II DPRD Provinsi NTT, Jan Piter Windy menyampaikan hasil audiensi dengan HP2SK NTT dan Dinas Peternakan Provinsi NTT untuk membahas berbagai isu strategis terkait populasi ternak besar, penurunan kuota ternak dan persiapan menghadapi kebutuhan Idul Adha.
Dalam pertemuan itu, pemerintah dan para pemangku kepentingan sepakat untuk mendorong pengembangan sektor peternakan di NTT. Provinsi NTT tercatat sebagai salah satu penghasil ternak terbesar di Indonesia, peringkat kelima secara nasional. Namun, tantangan seperti penurunan populasi ternak menjadi perhatian utama.
“Kita perlu mendorong pemerintah untuk mem-back up para peternak agar lebih maju dan memastikan NTT tetap menjadi provinsi ternak yang unggul. Ini harus dilakukan tanpa mengabaikan kesejahteraan para peternak,” ujarnya.
Ia berharap HP2SK dapat berperan aktif dalam mendukung kebijakan dan pengembangan peternakan di Provinsi NTT. (cr6/ays/dek)