Pemkot Klaim, Kebakaran Sampah di TPA Hal Lumrah
Kasus terbakarnya sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak, Kota Kupang, oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang merupakan kasus yang lumrah dan kejadiannya justru singkat.
FENTI ANIN, Kupang
PELAKSANA Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan dan Kebersihan (DLHK) Kota Kupang, Max Maahury menyebutkan bahwa kasus kebakaran sampah di TPA Alak merupakan hal lumrah dan kejadiannya juga sangat singkat. Max Maahury melontarkan pernyataan tersebut ketika diwawancarai media ini.
“Kan waktu kebakaran hanya satu minggu dan bisa diatasi. Tidak ada keadaan darurat di Kota Kupang. Ini merupakan fenomena umum dan hampir di semua TPA di Indonesia juga terbakar,” ujar Max di Kupang.
Menurutnya, pemadaman kebakaran sampah ketika terbakar itulah yang menjadi keseriusan bagi Pemkot Kupang dalam mengatur TPA yang telah beroperasi sejak 1998 silam itu.
Selain itu, Pemkot Kupang juga pernah menetapkan status darurat terhadap kebakaran TPA Alak pada tahun 2023 silam. Adanya status ini juga menghabiskan anggaran ratusan juta karena dialokasikan ke beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) teknis terkait yang berperan selama kebakaran sampah di TPA Alak terjadi.
Anggaran dari status darurat kebakaran sampah du TPA Alak tahun 2023 mencapai Rp 525 juta dan status darurat itu hanya berlaku 14 hari. Alasan alokasi anggaran ini karena ada keperluan posko tanggap darurat. Pengajuan awal anggaran tanggap darurat itu memang cukup fantastis karena mencapai Rp 1,3 miliar. Namun, pengajuan anggatan itu tidak disetujui.
“Kita serius (tangani kebakaran sampah di TPA Alak),” tandas Max.
Pada akhirnya pangkal utama masalah TPA Alak masih belum tersentuh. Padahal, DLHK punya catatan kebakaran TPA Alak. Mereka tahu kebakaran beruntun pernah terjadi mulai Agustus, September dan Desember 2022. Terlama kejadiannya di Oktober 2023 dan berulang di Juli 2024.
Ia sendiri mengaku bahwa pula operasi TPA Alak terkungkung paradigma lama yaitu kumpul, pungut dan tampung usai dibangun 1997 silam. Karena itu maka petugas kebersihan hanya bertugas mengangkut sampah yang terkumpul di tempat pembuangan sementara (TPS) lalu ditampung atau dibuang ke TPA Alak. Semuanya ini tanpa pemilahan sampah sama sekali. Pola inilah yang tidak pernah berubah selama 26 tahun.
Sekarang pun, katanya, DLHK tak sanggup mengangkut seluruh sampah harian di Kota Kupang. Sementara produksi sampah harian di Kota Kupang terus meningkat.
Sejak 2022 produksi sampah harian mencapai 227,93 ton per hari. Namun pengangkutannya hanya disanggupi 160 ton per hari. Sisanya dibawa pemulung ke pengepul, bank sampah, rumah kompos, TPS 3R. Selain itu, ada juga masyarakat yang kemudian membakarnya sendiri.
Pada 2023 volume sampah naik lagi jadi 234,46 ton per hari. Namun, hanya 166,51 ton yang sanggup diangkut DLHK.
Kebanyakan sampah di 2023 ini 29 persennya sisa makanan, 19,5 persen plastik, 17 persen kayu, ranting dan daun. Sisanya adalah material lain seperti kertas hingga barang pecah belah.
Semua sampah ini dibuang ke TPA Alak yang total luasan sebenarnya 11 hektare. Selama ini, baru 9 hektare lahan yang terpakai untuk penampungan sampah. Sementara 4 hektare dari sisa lahan yang ada menjadi area cadangan untuk pengembangan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). TPST ini menggunakan sistem Sanitary Landfill atau menimbun sampah dengan tanah.
Max mengaku, peralihan dari sistem open dumping ke sanitary landfill dimulai pada 2025 jika mendapat anggaran dari pemerintah pusat berkoordinasi dengan PUPR.
“Artinya, ke depan ini tidak ada open dumping lagi. Sistem pengelolaan sampah harus diubah pakai sistem TPST mulai tahun depan jika anggaran itu ada dari pusat maka seluruh sampah-sampah akan ditimbun dalam tanah,” jelas dia.
Max menyadari bahwa kondisi di TPA Alak memang harus berubah seperti tuntutan yang dilayangkan warga Alak, WALHI NTT maupun ARAK.
Design Engineering Detail (DED) terkait perubahan sistem ini sudah ada dengan pengerjaan fisik mulai 2026. Modelnya seperti di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Anggarannya sebesar Rp 112 miliar yaitu Rp 100 miliar untuk pembangunan TPST dan Rp 12 miliar untuk Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
Alokasi Rp 100 miliar untuk TPST sendiri masih terbagi lagi. Nantinya Rp 60 milliar untuk pembangunan fisik infrastruktur. Sisanya Rp 40 milliar untuk pengadaan peralatan pengolahan sampah.
“TPA Alak itu memang tidak bisa dijalankan lagi di Kota Kupang, sehingga kita sepakat membuat TPST,” terang Kepala Bagian Bidang Bina Marga Dinas PUPR Kota Kupang, Micky Natun.
Sebelumnya, menurut DLHK, TPA Alak punya beberapa fasilitas seperti pembuangan limbah tinja, tempat pembuatan pupuk bokasi, serta area pembuangan sampah anorganik dan organik. Namun yang mencolok, tempat ini juga jadi lokasi makan bagi ternak sapi, kambing dan babi milik masyarakat sekitar.
Sementara Penjabat (Pj) Wali Kota Kupang, Linus Lusi menyebut persoalan sampah dan TPA Alak sepenuhnya ada di tangan Wali Kota Kupang yang baru nanti.
“Kita tunggu wali kota definitif, karena ada dalam visi misi, siapa tahu ada inovasi yang akan mereka lakukan. Untuk saat ini berjalan seperti sekarang,” tanggap Linus.
Sedangkan DPRD Kota Kupang akan menyesuaikan postur anggaran kebersihan Kota Kupang dalam sidang. Pihak legislatif yang baru ini akan menekan Pemkot Kupang terkait pengelolaan hingga perubahan sistem TPA Alak.
“Yang pasti kita DPRD akan mendukung kalau ada rencana kerja untuk pengelolaan TPA Alak, tapi kalau memang belum kelihatan kita akan angkat di persidangan,” jawab Ketua DPRD Kota Kupang, Ricard Odja. (gat/dek)