Rivalni Septiadi, Perempuan Asal Lombok Timur yang Telah Keliling 40 Negara
Impian Rivalni Septiadi berkeliling dunia menjadi nyata. Perempuan asal Tetebatu, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), sejak usia 18 tahun telah menjelajahi 40 negara. Dan, itu dilakukan tanpa mengeluarkan biaya alias gratis.
BUDI RATNASARI, Lombok Timur
TETEBATU, tempat kelahiran Rivalni Septiadi, merupakan daerah wisata yang sering dikunjungi para turis mancanegara. Terutama dari Australia, Amerika Serikat dan Eropa. Dia pun sering bertemu dengan orang asing. Hal itu memicu perempuan kelahiran 1994 tersebut belajar bahasa Inggris.
Apalagi, sang ayah bekerja di sektor pariwisata. Dia sering mengajak Rivalni menemani wisatawan asing. ’’Mereka (orang tua, red) tahu betapa pentingnya belajar bahasa Inggris. Jadi, sejak kecil saya ikut bapak jadi tour guide, menemani tamu asing ke tempat-tempat wisata,” ungkapnya.
Dari interaksi itulah, Rivalni juga terbiasa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Bahkan, keinginannya untuk keliling dunia dengan bekerja di United Nations (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berawal dari pertemuannya dengan seorang wisatawan asal Amerika Serikat. Turis itu bekerja di lembaga tersebut.
’’Dia bercerita tentang bagaimana serunya bekerja di PBB, bisa berkeliling dunia dan menangani berbagai proyek internasional. Dari situ saya mulai bermimpi, kalau sudah dewasa nanti, harus bekerja di PBB,” kenangnya kepada Radar Lombok (grup Timex).
Pertukaran Pelajar
Setelah lulus SMA, dia bercita-cita untuk kuliah di luar negeri, tapi kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan. Rivalni pun diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur prestasi di jurusan ilmu dan teknologi kelautan. Di IPB, dia berkesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri.
Saat baru masuk kuliah di usia 18 tahun, Rivalni mengikuti seleksi internasional untuk program UN. Dia berhasil lolos dan mendapatkan tiket berangkat ke Amerika Serikat (AS). ”Awalnya orang tua ragu karena saya masih sangat muda untuk ke luar negeri sendiri. Tapi, karena saya punya tekad kuat, akhirnya mereka mengizinkan,” kenangnya.
Selain program UN, dia mendapat beasiswa konferensi ilmiah untuk mempresentasikan penelitiannya di IPB di tingkat internasional. Dari situ, kesempatan berkeliling dunia semakin terbuka lebar. Setelah pergi ke AS, Rivalni lanjut ke Brasil, Argentina dan Cile. ’’Sekarang saya tinggal dan bekerja di Australia,” ujarnya.
Meski banyak pengalaman indah selama berkeliling dunia, Rivalni juga punya kenangan tidak mengenakkan. Misalnya, perlakuan rasis saat dia kali pertama tiba di negeri Paman Sam. ’’Saat itu, saya berhijab. Di bandara, warga Asia seperti saya dipisahkan dan diinterogasi karena dianggap mencurigakan,” ceritanya.
Wajib ke Thailand
Setelah lulus kuliah, Rivalni diterima bekerja di PBB, tepatnya di UNESCO yang menangani program di Asia dan Pasifik. Pekerjaannya mengharuskan dia tinggal di berbagai negara selama satu hingga tiga bulan untuk mengerjakan proyek-proyek tertentu.
’’Dari semua negara yang saya kunjungi, setiap tempat punya keunikan tersendiri. Tapi, bagi saya, Thailand adalah negara yang wajib saya kunjungi minimal setahun sekali,” ujarnya.
Alasannya, dia pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa sehingga memiliki banyak sahabat yang masih sering dikunjunginya.
Setelah menyelesaikan kuliah di IPB pada 2017, Rivalni melanjutkan studi pascasarjana manajemen pertanian dan lingkungan di The University of Sydney, Australia. Saat ini dia bekerja sebagai pelatih renang dan penyelam profesional di YMCA Aquatic Centre, Australia, sejak 2024.
Di negeri Kanguru, dia pernah bekerja di bidang pertanian. Namun, karena pernah menjadi atlet renang di NTB, dia merasa perlu mengejar impiannya menjadi pelatih renang dan menyelam. ’’Saya ingin mewujudkan cita-cita masa kecil menjadi pelatih renang,” ungkapnya.
Kemampuan Bahasa Inggris
Rivalni berpesan kepada generasi muda Indonesia, terutama mereka yang berasal dari daerah, agar tidak merasa minder atau takut untuk bermimpi besar. ’’Jangan mengeluh kalau tidak ada privilese. Saya juga berasal dari desa dan keluarga biasa saja. Kalau punya impian, kita harus kerja keras,” tuturnya.
Salah satu kunci utama untuk bisa berkesempatan ke luar negeri, menurut dia, adalah kemampuan berbahasa Inggris. ’’Kalau belum bisa bahasa Inggris, belajar! Sebab, itu kunci utama untuk bisa ke luar negeri,” pesannya. (c7/dio/jpg/ays/dek)