Bisa Manfaatkan Dana BTT, Silpa dan Sisa Pilkada Sebelumnya
JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID – Kemendagri meminta pemda tidak langsung membebankan biaya pemungutan suara ulang (PSU) atau coblosan ulang pada APBN. Pemda diminta mengoptimalkan pendanaan melalui APBD.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Ribka Haluk sudah berkoordinasi dengan jajaran daerah untuk mendapat gambaran ketersediaan APBD di daerah yang akan melaksanakan PSU. Dia menekankan, sebagaimana norma UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada, pendanaan pelaksanaan pilkada diprioritaskan melalui APBD. ”Saya pikir ini akan menjadi acuan,” ujarnya, Kamis (6/3).
Ribka menegaskan, perubahan APBD perlu diprioritaskan untuk mendukung pelaksanaan PSU. Pemda dapat mengalokasikan anggaran PSU dengan menggunakan pos belanja tidak terduga (BTT). Untuk itu, sekretaris daerah (sekda) diminta me-review alokasi tersebut. Selain itu, pendanaan PSU dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) dan sisa pilkada sebelumnya.
Ribka menekankan pentingnya kerja sama antara pemda dan stakeholder terkait dalam memastikan kesiapan anggaran PSU. Dia juga mengingatkan pemda untuk menyesuaikan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) terkait pendanaan PSU, baik dengan merevisi NPHD yang sudah ada maupun menyusun NPHD baru sesuai kebutuhan.
Hasil review dari sekda harus dilaporkan ke Kemendagri maksimal hari ini. Rencananya, laporan itu dibahas dalam rapat dengan Komisi II DPR, Senin (10/3) mendatang. ”Pada Senin tersebut, semua daerah harus memberi kepastian tentang penyediaan APBD atau keuangan daerah untuk persiapan PSU,” imbuhnya.
Selain alokasi untuk KPU dan Bawaslu, pemda juga wajib mengalokasikan anggaran untuk pihak keamanan, yakni TNI dan Polri.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mendesak kinerja KPU dan Bawaslu dievaluasi. Sebab, ketidakcermatan penyelenggaraan pilkada membuat negara dan rakyat dirugikan. ”Beban keuangan akibat PSU ini lebih banyak ditanggung negara, sementara penyelenggara pemilu yang lalai tidak menanggung konsekuensi yang setimpal,” ujarnya.
Semestinya, lanjut dia, penyelenggara pemilu tingkat pusat maupun daerah bertanggung jawab atas kelalaian mereka. Dia mendesak evaluasi, bahkan pergantian penyelenggara yang terbukti gagal menjalankan tugas dengan baik. ”Jika tidak ada konsekuensi bagi penyelenggara yang lalai, permasalahan serupa akan terus berulang,” imbuhnya.
Ninis –sapaannya– juga mengusulkan pemerintah dan DPR merancang regulasi yang lebih ketat untuk mencegah kelalaian penyelenggara. Misalnya, dengan menetapkan sanksi tegas bagi KPU dan Bawaslu yang terbukti bertanggung jawab atas kesalahan administratif yang berujung pada PSU. ”Sanksi tersebut bisa berupa pemotongan anggaran operasional atau pencopotan pejabat terkait,” tuturnya.
Sebaliknya, ada insentif bagi penyelenggara untuk bekerja lebih profesional. Selain itu, pengawasan terhadap penyelenggara pemilu harus diperkuat dengan melibatkan masyarakat sipil dan lembaga independen. (far/c19/oni/jpg/ays/dek)