Pengamat Sarankan Pendekatan Local Wisdom untuk Sekolah Rakyat

  • Bagikan
FASILITAS: Selain ruang kelas dan asrama, lokasi untuk sekolah rakyat di Bekasi itu juga dilengkapi lapangan olahraga. (DOKUMENTASI KEMENSOS)

JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Pembentukan sekolah rakyat dianggap tidak urgen saat ini. Pengamat pendidikan Darmaningtyas melontarkan pandangannya, daripada membuat sekolah rakyat, lebih baik pemerintah mengoptimalkan sekolah-sekolah yang sudah ada saat ini.

”Sekarang ini banyak sekolah swasta yang tutup karena sepi dan kurang peminat. Lebih baik itu diakuisisi dan digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan gratis. Sehingga tidak hanya negeri yang gratis, tapi juga swasta,” ujarnya kepada Jawa Pos, Jumat (14/3).

Darmaningtyas melanjutkan, jika harus mendirikan sekolah baru dengan lintas kementerian, hal itu akan berdampak pada dua hal. Pertama, jumlah kementerian yang mengelola institusi pendidikan malah bertambah.

Kedua, akan mengurangi alokasi bujet sektor pendidikan dari yang saat ini kecil menjadi semakin berkurang, terlebih di tengah iklim efisiensi anggaran.

Dia lebih mendorong pemerintah memaksimalkan sekolah eksisting daripada membentuk sekolah baru. ”Jadi, sekolah yang sudah ada itu ditunjuk saja untuk menyelenggarakan sekolah rakyat,” imbuh alumnus filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga penulis tersebut.

Pada tahap awal, Kemensos menargetkan 200 sekolah bisa dibangun. Darmaningtyas menyebut hal itu terbilang tidak realistis, apalagi di tengah iklim efisiensi anggaran. ”Belum lagi kesulitan mendapatkan lahan untuk mendirikan sekolah yang representatif. Maka, yang paling realistis ya mengambil dari sekolah yang ada, diakuisisi untuk sekolah rakyat. Apalagi mengurusi pendidikan itu bukan tupoksi dari Kemensos,” tuturnya.

Peneliti pendidikan Totok Amin Soefijanto menuturkan hal senada. Secara umum, gagasan sekolah rakyat terbilang cukup baik, namun pada kenyataan di lapangan sering kali gagasan itu tidak dapat dieksekusi dengan optimal.

”Penyakit di Indonesia itu antara gagasan dan implementasinya itu ada jurang, nggak match. Gagasan yang bagus, tapi tidak bisa diimplementasikan dengan baik karena melupakan hal-hal teknis. Kalau Kemensos bikin sekolah, apakah gurunya dari Kemensos? Kan tidak, gurunya kan dari Kemendikdasmen,’’ paparnya kepada Jawa Pos kemarin (15/3).

kementerian/lembaga yang terlibat dalam sebuah kebijakan, eksekusi kebijakan makin kompleks dan rumit. Terlebih, Kemensos menargetkan sekolah rakyat bisa dimulai pada Juli tahun ini. ”Sekolah kan bukan soal gagasan saja. Apalagi kebiasaan birokrasi kita rapat terus. Rencananya Juli mau dimulai, bayangkan saja bagaimana rumitnya dalam waktu dekat,’’ jelasnya.

Meski begitu, jika nantinya sekolah rakyat tetap diimplementasikan, Totok menyarankan agar kebijakan yang diambil tidak mengadopsi pendekatan konvensional. Dia merujuk pada riset yang pernah dilakukan Kemendikbud bahwa Indonesia memiliki sekolah dengan pendekatan local wisdom seperti sekolah kampung yang mengadopsi kearifan lokal. Sayangnya, keberadaan sekolah kampung itu tidak dapat memenuhi kriteria pemerintah. Misalnya, sebuah SD harus memiliki ruang kelas minimal enam, jumlah guru, dan lainnya.

Padahal, lanjut Totok, sekolah-sekolah kampung itu jumlahnya banyak dan tersebar di berbagai wilayah tanah air. Sekolah kampung itu juga menyelenggarakan fungsi belajar-mengajar dengan mempertimbangkan kondisi kearifan yang ada.

”Mereka (sekolah kampung) itu benar-benar belajar, semacam Sokola Rimba. Dari Aceh sampai Papua itu ada. Mereka gunakan gedung-gedung yang ada, ada yang pakai balai RW, guru juga bisa direkrut dari relawan karena guru organik belum tentu mau ngajar di situ. Nah itu harus ada terobosan birokrasi untuk status sekolah dan guru,’’ tutur pria yang juga menjabat sebagai direktur Akademi Televisi Indonesia (ATVI) itu.

Totok menambahkan, di tengah efisiensi anggaran yang saat ini dijalankan, semestinya bukan menambah beban anggaran baru untuk membuat sekolah baru, melainkan harus ada terobosan untuk memaksimalkan potensi yang sudah ada.

”Jadi, nggak realistis gagasannya (sekolah rakyat). Apalagi kalau boarding house itu lebih repot. Kalau sedang efisiensi, ya pendekatannya harus soal terobosan. Harus membuat layanan pendidikan yang sifatnya customize, kecil-kecil tapi ada di seluruh Indonesia,” tuturnya. (dee/nor/thi/dek)

  • Bagikan

Exit mobile version