Kalau Diuji Coba ke Kendaraan Bisa Saja Sekarang

  • Bagikan
JAWA POS RISET PANJANG. Prof Hendro Juwono di laboratorium di kampus ITS, Surabaya, Kamis (13/3).

Guru Besar ITS Hendro Juwono Olah Limbah Plastik-Biomasa Jadi Bahan Bakar Terbarukan

Selain untuk mengurangi limbah, Hendro Juwono memilih plastik lantaran senyawanya memiliki kesamaan dengan senyawa BBM seperti minyak bumi dan gas. Bahan bakar buah inovasi guru besar ITS itu kandungan RON-nya 98 hingga 102, lebih tinggi dari bahan bakar minyak yang beredar di pasaran.

RAMADHONI CAHYA CW, Surabaya

IDE itu bermula pada 2009 saat Hendro Juwono menempuh studi S3 di Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Dia ditantang dosen pembimbingnya untuk mencari bahan bakar terbarukan sekaligus menjawab tantangan limbah plastik yang semakin menumpuk.

Penelitian mulai dia lakukan pada 2015 terhadap polimer plastik yang mudah terdegradasi dengan metode pirolisis atau teknologi pemanasan dengan sedikit atau tanpa oksigen. Prinsipnya, tidak bersentuhan langsung dengan api agar gas sisa tidak mengandung bahan berbahaya bagi lingkungan.

“Plastik kan hidrokarbon diubah menjadi hidrokarbon lagi tapi fasanya sudah berubah menjadi bahan bakar,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Timex).

Profesor Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, itu memilih plastik lantaran bahan tak terbarukan. Apalagi, senyawa plastik memiliki kesamaan dengan senyawa BBM seperti minyak bumi dan gas. Dengan 500 gram plastik, dia mampu menghasilkan bahan bakar alternatif sekitar 250 mililiter (ml). Kandungan research octane number (RON)-nya 98 hingga 102, lebih tinggi dari bahan bakar minyak (BBM) yang beredar di pasaran.

Hendro sudah mencoba jenis plastik polipropilena (PP), polietilena (PE), high density polyethylene (HDPE) dan low density polyethylene (LDPE). Tapi, yang paling bagus polistirena (PS) lantaran lebih mudah terurai menjadi fasa gas.

Ringkasnya, berbagai jenis plastik apapun dapat diolah menjadi bahan bakar alternatif. “Mulai dari plastik limbah botol air kemasan, plastik gula atau lainnya,” ungkap alumnus S2 Kimia Institut Teknologi Bandung tersebut.

Blending dengan Biomassa

Saat proses produksi, limbah plastik perlu di-blending dengan biomassa. Di antaranya, minyak nyamplung, minyak kemiri minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) serta minyak jelantah atau waste cooking oil (WCO). Jenis biomassa itu dipilih karena lebih mudah diperoleh.

“Minyak jelantah ambil dari kantin (kampus), CPO dan nyamplung kami sudah punya riset sebelumnya. Kalau kemiri ini baru,” terangnya.

Berbagai minyak sebetulnya bisa diubah dan dicampur bersama plastik. Biomassa juga bertujuan menurunkan kebutuhan suhu pengolahan dari 400 derajat celcius menjadi 250 sampai 300 derajat celcius. Itu berkaitan dengan penghematan listrik dan biaya produksi.

“Kalau hanya plastik saja agak susah karena lengket di wadahnya, supaya lebih mudah prosesnya,” jelas pria 62 tahun itu.

Secara rasio bahan, jumlah plastik yang digunakan lebih banyak dari biomassa. Pasalnya, dari hasil riset, jika rasio satu banding satu kadar RON yang dihasilkan tidak terlalu bagus. Biomassa yang paling susah CPO lantaran kadar lemak yang lebih tinggi. Bakal lebih baik jika limbah plastik sudah jadi dalam bentuk bubuk.

“Supaya mengurangi temperatur produksi, plastik berwarna tetap bisa dipakai karena akan terpisah dengan sendirinya,” papar Hendro.

Untuk menghasilkan 250 ml, membutuhkan waktu kurang lebih empat jam.

Badan Riset dan Inovasi Nasional sudah menawarkan produksi besar-besaran hingga 100 kilogram. Tapi, dia mengaku belum berani lantaran reaktor catalytic cracking yang digunakan tidak terlalu besar dengan kapasitas terbatas.

“Katalis reaktornya juga mahal agar bisa mumpuni produksi sebegitu besarnya,” tutur pria asal Surabaya itu.

Hendro berencana memperbesar piranti produksi hingga dapat menampung lima kilogram plastik. Dengan begitu, dapat menghasilkan dua sampai tiga liter biofuel yang dapat diujicobakan. Katalis menjadi aspek penting untuk memecah panjang fasa gas atau disebut cracking.

Alumnus S1 Kimia UGM itu memaparkan, produk tersebut sebetulnya sudah memenuhi standar kualitas di Indonesia atau Kanada dengan mengacu hasil standar densitas, kalori dan nilai RON walau belum diuji secara langsung. Hendro pun berencana melakukan uji coba dalam waktu dekat.

“Ini tinggal dipercantik saja, misal diberikan warna. Kalau diuji coba ke kendaraan bisa saja sekarang,” terang bapak dua anak itu.

Apabila ingin produksi besar-besaran, butuh biaya lumayan fantastis. Untuk satu alat yang digunakan saat ini saja mencapai Rp 60 juta. Akan lebih memungkinkan jika ada pihak industri yang tertarik berkolaborasi agar produk itu bisa digunakan masyarakat luas. Apalagi, penggunaan di kendaraan sudah tak perlu dicampur BBM.

Baginya, penelitian tersebut juga sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Persisnya pada poin ketujuh mengenai energi bersih dan terjangkau serta poin ke-12 mengenai konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

“Sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil,” kata dia. (ttg/jpg/ays/dek)

  • Bagikan