Kasus Kejahatan Seksual yang Dilakukan Eks Kapolres Ngada
KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas dan Rentan (SAKSIMINOR) NTT minta Kapolri wajib menolak upaya banding kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja sebagai bentuk penghormatan kepada institusi Polri dan penghormatan terhadap rasa keadilan korban.
Penegasan ini disampaikan SAKSIMINOR NTT melalui narahubung Veronika Ata dan Ansy Rihi Dara dalam jumpa pers di kantor PKBI NTT, Kamis (20/3).
Hadir dalam jumpa pers, Ana Djukana, Libby Sinlaeloe, Yuli Ndolu, Sarah Lery Mboik, Siprisius Asa dan perwakilan dari sejumlah organisasi serta aktifis lainnya yang tergabung dalam SAKSIMINOR. Tediri dari LBH APIK NTT, YKBH Justitia, LPA, Rumah Perempuan, PKBI NTT, IMoF NTT, AJI Kota Kupang, KOMPAK, JIP, IPPI, KPAP NTT, GARAMIN, Lowewini, HWDI, Yayasan Cita Masyarakat Madani, Hanaf, YTB, Sabana Sumba, LBH Surya NTT, Solidaritas Perempuan Flobamoratas, PWI NTT, PIAR NTT, UDN, GMKI Cabang Kupang, GMNI Cabang Kupang, HMNI Cabang Kupang, PMKRI Cabang Kupang, JPIT, Rumah Harapan GMIT serta Jemaah Ahmadiyah Cabang NTT.
SAKSIMINOR menyampaikan pernyataan sikap, pertama, memberikan perlindungan penuh kepada korban dan keluarga selama proses hukum dan proses pemulihan berlangsung, termasuk perlindungan dari intimidasi, ancaman atau dampak psikososial lebih lanjut akibat kasus ini.
Kedua, pemenuhan hak-hak korban dan keluarga atas pemulihan psikologi, sosial, kesehatan dan hak atas restitusi sebagaimana amanat Undang- undang Nomor 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ketiga, negara segera membuka saluran pengaduan aman yang melibatkan Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komnas Perlinduangan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi Korban, Lembaga Layanan Perempuan dan Anak di NTT, lembaga agama, mengingat trend kasus kejahatan seksual memungkinkan adanya korban lain yang belum berani bersuara.
Keempat, mendukung keputusan sidang komisi kode etik Polri yang menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widya Dharma Lukman Sumaatmaja. Berdasarkan keputusan tersebut, Kapolri wajib menolak upaya banding yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada institusi Polri dan penghormatan terhadap rasa keadilan korban.
Kelima, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan wajib menerapkan pasal berlapis, menjatuhkan hukuman maksimal dengan pemberatan, menggunkan Undang-undang Nomor 23/2002 yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak; Undang-undang Nomor 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Undang-undang Nomor 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang Nomor 11/2008 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 19/2016 dan perubahan kedua pada Undang-undang Nomor 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Eletkronik; Undang-undang Nomor 44/2008 tentang Pornografi.
Keenam, Kapolri harus transparan dalam proses penyidikan kasus ini dan menyampaikan ke publik dengan mengedepankan prinsip-prinsip penghargaan dan perlindungan korban.
Ketujuh, kepolisian tidak mengeluarkan pernyataan yang menggiring opini publik untuk membangun alasan pemaaf bagi pelaku. Setiap pernyataan yang menguntungkan pelaku adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan bagi korban.
Kedelapan, Kapolri mengusut tuntas keterlibatan pelaku lain, jaringan pornografi, perdagangan orang dan melakukan patroli cyber secara intens, menghapus jejak digital untuk perlindungan korban demi percepatan pemulihan. Melacak transaksi elektronik pelaku, termasuk aliran dana yang diduga berkaitan dengan kejahatan ini melalui rekening dan perangkat seluler pelaku, sebagaimana diatur dalam UU TPKS.
Kesembilan, pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah tentang Penghapusan Dokumen Elektronik Bermuatan Pornografi Anak, sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS.
Kesepuluh, mendukung kerja-kerja insan pers mempublikasi kasus ini sebagai bagian dari salah satu fungsi pers melakukan kontrol. Insan pers agar tunduk dan taat pada a). Peraturan Dewan Pers Nomor 6/PeraturanDP/V/2008 tentang Kode Etik Jurnalistik, Pasal 5 menyatakan Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
b). Peraturan Dewan Pers Nomor 1/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), Pasal 19 yang menyatakan identitas anak, anak korban dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak atau elektronik. Identitas anak meliputi nama, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak.
Masyarakat harus mengawal proses penegakan hukum dan memberikan dukungan kepada korban dan keluarga dalam memperjuangkan keadilan dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Untuk diketahui, kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, terkuak ke publik saat kejahatannya terbongkar oleh Kepolisian Federal Australia (Australian Federal Police/AFP). Temuan tersebut kemudian diinformasikan kepada pihak Indonesia lewat Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri pada 22 Januari 2025 yang diteruskan ke Polda NTT. (dek/ays)