KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID – Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kekerasan Seksual Terhadap Anak melakukan aksi penyerahan petisi dan tuntutan kepada Kapolri terkait kekerasan seksual oleh eks Kapoles Ngada. Aksi dimulai dari depan Gereja St Yoseph Naikoten. Massa berjalan kaki dari depan Gereja St Yoseph menuju ke Polda NTT, Jumat (21/3).
Aksi yang diikuti oleh para aktivis, tokoh agama dan tokoh masyarakat itu diterima di Polda NTT dan bertemu dengan Kabid Humas Polda NTT.
Menurut koordinator aksi, Pdt Mery Kolimon, kekerasan seksual yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja terhadap anak dan perempuan merupakan kejahatan kemanusian yang tidak bisa ditolerir.
"Kejadian ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual ada disekitar kita, berlangsung sehari-hari bahkan dilakukan aparat penegak hukum (APH), khususnya dari Polri. Seharusnya Polri merupakan institusi diharapkan bisa memberikan rasa aman, menyediakan perlindungan serta penegakkan hukum, tetapi telah berubah menjadi predator untuk mereka yang rentan," ungkapnya.
Mantan Ketua Sinode GMIT ini mengatakan, berbagai pemberitaan, analisis dan hasil investigasi sementara terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada memberikan sinyalemen awal bahwa kekerasan seksual beroperasi secara sistemik, melibatkan APH, terkoneksi dalam jaringan kriminal internasional dan bertali-temali dengan jenis kejahatan yang lain, seperti jaringan perdagangan orang, jaringan pedofil internasional dan jaringan narkoba.
"Kejahatan yang dilakukan AKBP Fajar merupakan kejahatan luar biasa dan sungguh ironis pejabat kriminal pedofil semacam ini bisa lolos dan menjadi pejabat dalam institusi Polri selama bertahun-tahun. Ini menunjukkan sistem rekrutmen dan penjenjangan karier di tubuh Polri ada dalam masalah besar. Sebab, sistem Polri tidak mampu membedakan antara manusia jahat atau buruk, yang tercermin dari AKBP Fajar maupun di strata yang lebih tinggi seperti dalam kasus Ferdy Sambo," ungkapnya.
Forum Academia NTT dan berbagai jaringan masyarakat sipil, gereja dan individu di NTT, nasional dan internasional yang membentuk Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kekerasan Seksual Terhadap Anak, telah melakukan pertemuan. Forum diskusi bersepakat untuk mengambil langkah-langkah bersama yang sistematis, konstan dan berkelanjutan dalam rangka memerangi berbagai bentuk kejahatan dan kekerasan seksual di NTT dan Indonesia.
Atas dasar itu, kata Pdt Mery, mereka menyatakan sikap yaitu, menuntut Polri melakukan proses hukum yang transparan dan adil atas kasus dengan tersangka AKBP Fajar.
"Bagi kami, kekerasan seksual yang dilakukan oleh yang bersangkutan harus dilihat sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), terutama dilakukan oleh aparat penegak hukum," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua LPA NTT, Veronika Ata mengatakan bahwa pelaku harus dihukum seberat-beratnya dengan pasal berlapis tanpa impunitas, termasuk membuka opsi untuk diberikan hukuman tambahan berupa kebiri kimia sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 17/2016 tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan dari Perpu Nomor 1/2016. Polri harus mengusut kejahatan AKBP Fajar lainnya yang belum disebutkan atau dibuka oleh polisi Australia. Polri harus sangat malu terhadap kejadian ini.
Mereka juga mendesak Kapolri dan jajarannya untuk meminta maaf secara kelembagaan kepada masyarakat NTT. "Kasus AKBP Fajar sangat melukai warga Nusa Tenggara Timur dan kami menuntut Kapolri untuk memulihkan hubungan dengan warga NTT. Polri harus tahu adat. Polri tidak boleh menempatkan pejabat kriminal di wilayah Nusa Tenggara Timur, karena sudah menjadi pengetahuan umum pejabat yang dilempar ke NTT adalah pejabat yang buruk. Trend ini harus diubah," ungkapnya.
Mereka juga menuntut Polri, TNI dan Komdigi perlu bekerja keras memerangi cybercrime di Indonesia. Indonesia ketinggalan jauh dalam hal memerangi kejahatan di dalam dunia digital. Jaringan pedofil global yang bisa masuk hingga pejabat Polri merupakan tamparan yang memalukan.
"Database pelaku kekerasan seksual perlu dibuat terbuka dan bisa diakses publik. Polri perlu mempublikasikan database terpusat mengenai identitas pelaku kekerasan seksual yang sedang dihukum, masih buron ataupun telah bebas (sesuai UU Nomor 17/2016) secara terbuka untuk dapat diakses oleh masyarakat umum dan lembaga agar masyarakat dapat waspada sehingga tidak membuka peluang pelaku melakukan tindakan bejatnya kembali," jelasnya.
Selain itu, Gubernur NTT dan jajaran perlu menjadikan program pencegahan kekerasan seksual pada anak sebagai program prioritas di NTT, menyediakan fasilitas rumah aman dan tenaga profesional yang cukup di seluruh kota/kabupaten di NTT, menyatakan bahwa materi pendidikan dan sosialisasi kekerasan seksual pada anak wajib diberikan kepada seluruh perangkat daerah dan tokoh masyarakat.
"Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan pendidikan dan sosialisasi di lembaga pendidikan, organisasi perangkat daerah, BUMD yang dimulai dari provinsi, kabupaten hingga tingkat desa. Maraknya prostitusi remaja dan banalitas sex child trafficking di Kupang harus menjadi tanggung jawab bersama untuk diselesaikan," katanya.
Peristiwa ini kata dia, menjadi pukulan keras bagi masyarakat NTT terkait fenomena prostitusi online di kalangan anak dan remaja. Perlu dilakukan kajian-kajian terkait kerentanan anak dan remaja terhadap prostitusi online dan upaya melindungi mereka dari kejahatan tersebut. Berbagai komunitas keagamaan maupun organ kemasyarakatan lain perlu bergerak bersama membahas dan menyelesaikan persoalan sosial ini.
Salah satu aktivis perempuan, Sarah Lerry Mboeik yang ikut dalam aksi damai tersebut mengatakan kedatangan mereka ke Polda NTT untuk menuntut Kapolda NTT, Irjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga menuntaskan kasus yang melibatkan eks Kapolres Ngada.
Dia mengatakan, tiga korban kekerasan seksual yang dilakukan eks Kapolres Ngada itu juga harus mendapat perlindungan dari Polda NTT.
"Apa yang dilakukan AKBP Fajar sudah tergolong predator anak atau pedofilia. Karena korban bukan hanya satu orang tetap tiga orang dan bahkan bisa lebih. Bisa saja korbannya lebih dari tiga makanya perilaku eks Kapolres Ngada itu sudah bisa digolongkan dalam predator anak, sehingga harus mendapat hukuman yang seberat-beratnya," ujarnya.
Dia meminta aparat jangan lagi dilindungi, jangan lagi memelihara kejahatan di dalam tubuh Polri.
Senada, aktivis lainnya, Ana Djukana mengatakan apa yang dilakukan eks Kapolres Ngada membuat kepercayaan kepada Polri semakin menurun.
"Polisi harusnya menjadi pelindung bukan menjadi predator anak," kata Ana.
Menurut Ana, polisi yang harus jadi pelindung saat ini sudah bukan institusi yang aman bagi masyarakat terutama kaum rentan. Karena apa yang dilakukan AKBP Fajar menunjukkan polisi bukan lagi sebagai pelindung.
Dia mengatakan, apa yang dilakukan eks Kapolres Ngada membuat kepercayaan kepada Polri semakin menurun. "Polisi harusnya menjadi pelindung bukan menjadi predator anak," kata Ana. (thi/ays/dek)