Kalau Jatuh Sudah Risiko, Nggak Apa-apa, Demi Anak

  • Bagikan
MUHSIN/FAJAR BERBAHAYA. Potongan video ketika Mariama memanjat tali kapal di pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar. Foto bawah, Mariama.

Momen Mudik di Pelabuhan Makassar: Dari Ibu Pemanjat Tali sampai Perjuangan Dua Kakek

Mariama memanjat tali kapal untuk berjualan roti demi bisa menghidupi lima anak. Di pelabuhan yang sama, Herman dan Nusram menghabiskan masa muda sampai tua demi menafkahi keluarga.

MUHSIN, Makassar

DI sana, di tali tempatnya bergelantungan untuk merayap pelan-pelan menuju kapal, Mariama bukannya

tidak sadar risiko. Nyawa taruhannya. Tapi, kalau dia tidak melakukannya, nyawa anak-anaknya yang harus dia pertaruhkan.

Perempuan 32 tahun itu ibu tunggal bagi lima anak sejak bercerai empat tahun silam. Tiga di antaranya masih bersekolah, dua lainnya harus berhenti karena tak ada lagi biaya.

”Saya berani, kalau jatuh sudah risikonya, pak. Demi anak,” ucapnya, sebagaimana dikutip dari fajar.co.id, Selasa (18/3).

Jadilah dia bergelayutan di tali kapal yang sedang singgah di pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan, untuk menjual roti kepada para penumpang. Seperti terlihat dalam video yang menyebar ke berbagai platform beberapa waktu lalu. Mudik seperti saat ini adalah momen baginya untuk meraup rezeki sebanyak mungkin.

Pelabuhan Soekarno Hatta bandar penting di Indonesia Timur. Tempat persinggahan berbagai kapal dari berbagai pelabuhan di sudut tanah air.

Mariama mengaku sering memanjat tali kapal untuk naik ke atas kapal yang baru sandar. “Rotiku ada yang kasih meluncur naik, ada yang kasih naik di tangga kalau di atas. Seringkali manjat begitu,” ujarnya.

Sejak Bercerai

Mariama mengaku telah menjalani pekerjaan berbahaya itu selama empat tahun terakhir setelah bercerai dengan suaminya. “Saya sendiri yang hidupi anak setelah cerai dengan suami,” tambahnya.

Dari berjualan roti, Mariama bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 100 ribu per hari. “Sehari biasa dapat Rp 100 ribu, roti saja kujual,” Mariama menuturkan.

Ada sekitar 100-an pedagang asongan yang menggantungkan penghasilan di pelabuhan Soekarno Hatta. Di antaranya ada Herman yang sudah berdagang di sana sejak 1990-an.

Penghasilan penjual tikar dan barang asongan lainnya itu perbulan jika dirata-rata sekitar Rp 2 juta saja. Tapi, berkat kegigihannya, dia bisa membeli rumah. Tiga anaknya juga sudah berumah tangga. ”Cucuku sudah 10 sekarang,” tutur kakek 58 tahun itu bangga.

Dia membenarkan banyak di antara kawan-kawannya sesama pedagang yang memilih naik ke kapal dengan memanjat tali. Sebab, petugas melarang mereka menggunakan tangga.

”Banyak juga anak-anak di sini lebih memilih panjat tali kalau mau naik ke kapal menjual. Bagaimana tidak, mau naik di tangga, dilarang, akhirnya terpaksa,” katanya kepada FAJAR.

Nusram yang nyaris sepantaran dengan Herman sudah sedari muda menggantungkan hidup di pelabuhan Soekarno Hatta sebagai kuli panggul. Jika hari sedang baik, sekitar Rp 100 ribu bisa dia kantongi sehari. Tapi, kalau tidak, ayah tiga anak itu pulang tanpa membawa apa-apa.

Ketika banyak kapal masuk seperti di momen mudik, para buruh panggul seperti Nursam dibagi dalam sif berdasarkan warna seragam.

”Ada hijau, ada cokelat. Jadwal kerjanya dibagi sif istilahnya, bukan bagi kapal,” jelasnya.

Nursam menjelaskan, shift kerja biasanya berlangsung selama empat jam dengan pendapatan terendah Rp 50 ribu. ”Namun, tidak selamanya juga angkat barang,” tuturnya.

Larangan Memanjat Tali

Video Mariama bergelayutan di tali kapal yang banyak menuai sorotan mendorong pengelola pelabuhan melakukan penertiban.

Per Selasa (18/3) pekan lalu, Mariama dkk dilarang melakukan hal serupa lagi. Sebagai gantinya, mereka diizinkan menaiki tangga untuk menjajakan dagangan.

Tapi, Kasi Patroli Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Utama Makassar Musafir menyebut, hanya pedagang dengan rompi resmi. “Ini sifatnya edukasi, bukan permanen. Nanti akan ditinjau ulang oleh pimpinan dan stakeholder terkait,” jelasnya.

Mariama tentu senang bisa memasuki kapal lewat tangga. ”Tidak perlu manjat lagi,” katanya.

Tapi, seperti disampaikan Musafir, ini kebijakan temporer. Kalau nantinya dicabut? Demi perut yang harus diisi setiap hari, demi anak-anak yang harus sekolah, masih ada tali yang bisa dipanjat. (ttg/jpg/ays/dek)

  • Bagikan