Kesaksian Para Korban Kekerasan Demonstrasi Tolak UU TNI di Surabaya
Tak hanya massa aksi yang mengaku mendapat perlakuan represif aparat, jurnalis yang meliput juga. Tapi, Polrestabes Surabaya juga menyebut belasan anggota mereka mengalami luka, seorang di antaranya harus rawat inap.
SHOLEH HILMI QOSIM & JULIANA CHRISTY KAKIAY, Surabaya
MAMAT dan Abe (keduanya nama samaran) sempat merasa sudah aman ketika membaur dengan para pengunjung sebuah rumah makan di kawasan jalan Pemuda, Surabaya.
Tapi, dugaan mereka salah. Sejumlah personel kepolisian yang menyisir kawasan sepelemparan dari pusat demonstrasi menolak Undang-undang TNI di depan gedung Grahadi, Surabaya, Senin (24/3) itu tetap mengejar. Abe lantas diseret oleh petugas keamanan yang menyisir di sekitaran lokasi, Senin (24/3) petang.
”Dikiranya saya termasuk massa perusuh. Padahal, saya sudah bilang kalau bukan,” ungkap Abe.
Mahasiswa salah satu kampus negeri di Surabaya itu mengaku dipukul pada wajah dan perut. Akibatnya, di pelipis mahasiswa angkatan 2023 tersebut masih tersisa bekas memar kecil.
”Perut saya juga masih sakit, sampai sekarang ini rasanya nyeri,” imbuhnya kepada Jawa Pos (grup Timex), Selasa (25/3) dini hari.
Mamat yang bermaksud melerai justru gantian menjadi sasaran. Dia lantas digelandang untuk diamankan ke Mapolrestabes Surabaya, sedangkan Abe berhasil meloloskan diri.
Mamat satu dari 25 massa aksi yang diamankan ke Mapolrestabes Surabaya. Perinciannya, 12 mahasiswa, 12 pekerja serta satu pelajar SMK. Ke-25 massa aksi itu digelandang ke Mapolrestabes Surabaya untuk dimintai keterangan.
Saat baru tiba di mapolrestabes, Mamat menuturkan, dirinya bersama sejumlah massa aksi lain sempat mendapatkan pemukulan dari aparat. ”Mungkin karena ngiranya kami yang provokatif waktu kejadian ricuh,” ujar mahasiswa 19 tahun tersebut.
Hapus Video
Tak hanya massa aksi yang jadi korban kekerasan dalam demonstrasi yang berakhir ricuh itu. Rama Indra, wartawan beritajatim.com, mengaku dipukuli dan diintimidasi lima orang yang di duga personel kepolisian.
Mereka merampas ponsel dan memaksanya menghapus rekaman video liputan.
Awalnya, tutur Rama, dirinya merekam beberapa kelompok dari terduga aparat berpakaian bebas yang memukuli massa aksi hingga roboh, bahkan sampai menginjak-injak mereka.
”Dari situlah kelima orang itu mulai menekan saya, meminta saya menghapus video. Mereka mengancam akan membanting handphone saya. Lalu saya didorong, dipiting, sampai di bawa ke pinggir jalan,” ujar Rama saat melaporkan kasus ini ke Polda Jawa Timur di Surabaya.
Akibat insiden tersebut, Rama mengalami luka di beberapa bagian tubuh. ”Di kepala ada benjol, pelipis saya masih ada bekas merah, pipi kanan sobek dekat bibir dan di leher ada bekas pitingan,” ungkapnya.
Upaya Rama melapor ke Polrestabes Surabaya ditolak. Alasannya karena kurang bukti. Namun, Komite Advokasi Jurnalis Jatim menegaskan memiliki bukti rekaman video yang menunjukkan insiden kekerasan tersebut. ”Rekaman ini memperlihatkan bagaimana Saudara
Rama mengalami kekerasan saat meliput. Ini bukti kuat yang kami ajukan dalam laporan,” kata Salawati Taher, kuasa hukum Rama dari KAJ Jatim.
Laporan ke Polda Jatim didaftarkan dengan nomor laporan TBL/XXX/III/2025/SPKT/Polda Jatim.
Rama melaporkan dugaan tindak pidana kekerasan dan intimidasi yang melanggar Undang-undang Pers Nomor 40/1999 serta Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
Tak hanya Rama, Wildan Pratama, reporter Suara Surabaya juga mengalami intervensi saat meliput aksi
yang sama. Dia dipaksa aparat untuk menghapus foto-foto ke-25 peserta aksi yang diamankan.
”Saya sudah bilang bahwa foto ini hanya untuk pendataan, bukan untuk dipublikasikan. Tapi, tetap saja saya dipaksa menghapus, bahkan sampai dari folder sampah,” ujar Wildan kepada Jawa Pos.
Meski mengalami intimidasi, Wildan memilih tidak melaporkan kejadian tersebut. ”Saya rasa pendampingan dari AJI sudah cukup,” katanya.
Ketua AJI Surabaya Andre Yuris menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal kasus ini. ”Ini harus diproses
hukum agar tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis,” tegasnya.
Polisi Membantah
Polrestabes Surabaya membantah adanya pemukulan kepada massa aksi. Kasi Humas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty Dewi mengungkapkan
bahwa dalam pemeriksaan 25 massa aksi personel kepolisian telah di dampingi oleh provos.
”Sudah diwanti-wanti juga sama pak Kapolrestabes untuk tidak melakukan kekerasan,” tuturnya.
Rina menambahkan, aksi penganiayaan justru dialami oleh personel kepolisian. Total terdapat 15 anggota kepolisian yang mengalami luka akibat dilempari batu oleh massa aksi.
Satu orang di antaranya, lanjut Rina, mengalami luka parah di bagian kepala karena menjadi korban pengeroyokan
dari para demonstran. ”Satu orang personel kami dari Satreskrim masih menjalani rawat inap di RS Bhayangkara,” imbuhnya.
Setia Menunggu
Selasa (25/3) pukul 03.30 dini hari secara berangsur ke-25 massa aksi yang di angkut polisi keluar dari Markas Polrestabes Surabaya. Dengan kepalan kedua tangan diacungkan ke atas, mereka disambut ratusan kawan seperjuangan yang menanti di pelataran tepi jalan.
Mereka setia menunggu sejak Senin (24/3) malam begitu mendapati kabar sebagian rekan mereka di amankan kepolisian. Padahal, pemeriksaan berlangsung sekitar tujuh-delapan jam.
Buruh tani mahasiswa//rakyat miskin kota petikan lagu Buruh Tani yang dipopulerkan band Marjinal langsung menggema. Serupa seperti ketika demonstrasi berlangsung di depan Grahadi. (ttg/jpg/ays/dek)