Dua Kapal Riset BRIN Dilelang, Dua Kapal Pengganti Menjelang
Faktor usia, keselamatan peneliti dan ongkos restorasi yang sangat mahal adalah argumen di balik dilelangnya kapal Baruna Jaya II dan Baruna Jaya IV. Dua kapal pengganti segera datang, masing-masing untuk riset jelajah samudra dan laut dangkal.
M HILMI SETIAWAN, Jakarta
DUA unit kapal Baruna Jaya yang sudah mengarungi lautan Indonesia puluhan tahun dilelang Rp 7,94 miliar. Yang terpampang di situs lelang Kementerian Keuangan itu segera menyedot perhatian.
Dua kapal riset yang dilelang itu adalah Baruna Jaya II dan Baruna Jaya IV. Baruna Jaya II dibuat bersamaan dengan Baruna Jaya I dan Baruna Jaya III pada 1989 di galangan kapal CMN Cherbourg, Prancis.
Sementara itu, Baruna Jaya IV dibuat pada 1994, juga di galangan kapal yang sama. Indonesia juga punya kapal riset Baruna Jaya VII buatan PT PAL pada 1998 dan kapal riset Baruna Jaya VIII yang diproduksi di Norwegia pada tahun yang sama.
Direktur Pengelolaan Armada Kapal Riset BRIN Nugroho Dwi Hananto menganggap wajar polemik soal lelang kapal tersebut. Sebab, keduanya dikenal secara luas karena semua kapal riset BRIN, yang sebelumnya milik LIPI dan BPPT, banyak melakukan misi-misi di luar kegiatan riset. Mulai penanganan gempa sekaligus tsunami di Aceh. Lalu, misi pencarian kotak hitam Adam Air serta Air Asia yang mengalami kecelakaan.
’’Kalau yang turun di tsunami Aceh itu Baruna Jaya III dan IV,’’ katanya kepada Jawa Pos (grup Timex) di kantor BRIN, Jakarta, Senin (17/2).
Terkait dengan tidak munculnya lagi pengumuman lelang Baruna Jaya saat ini, Nugroho mengatakan bukan berarti kapal sudah laku terjual. ’’Ini sedang dimobilisasi barang-barang milik negara yang tidak masuk dilelang dahulu. Setelah itu, lelang dimulai lagi,’’ ungkapnya ketika dihubungi kembali, Selasa (25/3).
Urusan lelang, lanjut dia, kewenangan Kemenkeu. Sedangkan keputusan untuk melelang Baruna Jaya II dan Baruna Jaya IV sudah berdasarkan pertimbangan yang matang.
Faktornya tak cuma usia. Di antara kapal itu ada yang sudah lama tidak beroperasi. Bahkan ada yang 10 hari layar dalam satu tahun dan itu sudah berlangsung beberapa tahun.
’’Kalau 10 hari layar itu, seperti hanya memanasin mesin saja,’’ katanya.
Restorasi Tidak Efektif
Menurut dia, idealnya kapal riset beroperasi 100 hari layar dalam setahun. Bahkan bisa dimaksimalkan lagi menjadi 150 hari layar dalam satu warsa. Namun, dengan kondisi fisik yang sudah tua, kapal riset tidak bisa dipaksa berlayar selama itu.
Dua kapal Baruna Jaya itu juga sudah tidak efektif untuk dilakukan restorasi, perbaikan atau sejenisnya. Biaya besar, tapi usia kapal tidak lantas jadi muda. Ongkos perbaikannya tidak sebanding dengan pemanfaatannya.
Ketika kapal tua dipaksa untuk berlayar melakukan misi penelitian, tentu sangat berisiko. Dengan beragam pertimbangan seperti itu, keputusan untuk melelang dua unit kapal Baruna Jaya tidak bisa dielakkan.
’’Kita tidak bisa berpaling ke belakang. Akan ribut terus. Lebih baik melihat ke depan,’’ tuturnya.
Karakteristik Kapal Baru
Nugroho mengatakan, dua kapal dilelang, dua kapal baru bakal beroperasi. Beberapa kapal Baruna Jaya juga masih dipertahankan.
Kapal riset yang baru nanti tidak hanya dibekali perlengkapan anyar. Tapi juga sistem pembiayaan atau anggaran yang relevan. Sebab, anggaran untuk kapal riset tidak bisa mengikuti APBN tahunan.
Harga dua kapal riset buatan Prancis itu ditaksir 89 juta euro atau sekitar Rp 1,5 triliun. Anggaran untuk pengadaan kapal riset itu didapat dari pinjaman lunak Badan Pembangunan Prancis (Agence Francaise de Development/AFD). Kerja sama dengan AFD sudah dijajaki sejak 2021. Diharapkan, dalam beberapa waktu ke depan kapal baru tersebut bisa tiba di Indonesia.
Dua kapal itu memiliki karakter berbeda. Yang pertama kapal jelajah samudra dengan panjang sampai 70 meter. Kapal ini digunakan untuk riset perairan atau laut dalam.
Lalu, yang kedua adalah kapal jelajah pesisir yang bisa berlayar di laut dangkal. Kapal riset penjelajah pesisir itu memiliki panjang sekitar 45 meter.
Menurut Nugroho, baik di laut dalam maupun dangkal, masih banyak tersimpan misteri untuk jadi bahan penelitian. Dia mencontohkan, penelitian riset dalam yang sekarang sedang banyak digarap kalangan peneliti adalah gunung bawah laut. Di kedalaman tertentu, misalnya 3.000 meter di bawah permukaan air laut bahkan lebih, memiliki kehidupan yang sangat beragam.
Sementara itu, untuk penelitian di laut dangkal, biasanya untuk pemetaan arus lautan. Aktivitas riset ini masuk kategori penelitian oseanografi. Adanya arus tersebut memicu pengetahuan tentang banyak fenomena lain. ”Khususnya mengenai iklim,” katanya. (ttg/jpg/ays/dek)