Prabowo: Tenang, Kita Punya Kekuatan

  • Bagikan
Prabowo Subianto

Tanggapi Tarif Resiprokal, Presiden Siap Berunding dengan Trump

MAJALENGKA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Presiden Prabowo Subianto memberikan tanggapan menenangkan terkait kebijakan terbaru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menaikkan tarif impor. Prabowo menegaskan, Indonesia siap menghadapi tantangan tersebut dengan kepala dingin dan penuh percaya diri.

"Mungkin sudah mendengar, seluruh dunia digoncang oleh banyak masalah, di mana-mana. Perseteruan antara negara-negara besar. Yang terakhir, perang dagang, kita juga kena. Tapi kita tenang. Kita punya kekuatan," ujarnya di sela-sela panen raya di Majalengka, Senin (7/4).

Presiden menegaskan, Indonesia akan mengambil langkah diplomatik. Pemerintah akan berunding dengan pemerintah AS. Menurut dia, Indonesia menginginkan hubungan internasional yang sehat dan setara. “Kita akan buka perundingan sama Amerika. Kita akan menyampaikan, kita ingin hubungan yang baik. Kita ingin hubungan yang adil. Kita ingin hubungan yang setara. Jadi kita tidak ada masalah,” tegasnya.

Presiden juga menekankan pentingnya prinsip resiprokal dalam hubungan internasional. Ia menyatakan, setiap permintaan dari negara lain yang masuk akal akan dihormati, selama hal tersebut juga memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia. “Pemimpin-pemimpin Amerika memikirkan kepentingan rakyat Amerika. Kita memikirkan kepentingan rakyat kita. Tidak perlu ada rasa kecewa, tidak perlu ada rasa khawatir. Kita percaya dengan kekuatan kita sendiri,” tambahnya.

Presiden menutup pernyataannya dengan optimisme bahwa Indonesia mampu menghadapi berbagai tantangan global yang ada, termasuk dampak dari perang dagang. “Kalaupun ada tantangan, ya kita hadapi dengan gagah, dengan tegar. Mungkin ada berapa saat, tapi kita yakin akan bangkit. Dengan tingkat yang baik,” katanya.

Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kemarin bertemu dengan lebih dari 100 asosiasi pengusaha. Airlangga meminta masukan dari para pengusaha mengenai langkah pemerintah menyikapi tarif resiprokal AS yang berlaku mulai, Rabu (9/4).

Setelah pertemuan tersebut, Airlangga mengadakan konferensi pers. Dia menuturkan, berdasar arahan Presiden Prabowo, Indonesia siap meningkatkan volume impor barang dari AS. ’’Arahan bapak presiden adalah bagaimana delta dari impor ekspor kita yang bisa mencapai USD 18 miliar itu diisi produk-produk yang kita impor, termasuk gandum, kapas, bahkan produk minyak dan gas,’’ ujarnya di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (7/4).

Indonesia juga akan merealisasikan beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk kilang minyak. Dia mengatakan, salah satu komponen untuk kilang itu juga mungkin dibeli dari AS. Pemerintah juga akan mempertimbangkan revisi penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) impor atas produk AS. Saat ini, tarif umum PPN impor sebesar 11 persen. Sedangkan tarif umum PPh impor 2,5 persen (bagi pemegang API/Angka Pengenal Importir) atau 7,5 persen (tanpa API).

Mantan Menperin itu menyebut, Indonesia telah berkomunikasi dengan United States Trade Representative (USTR) mengenai kebijakan tarif resiprokal yang ditetapkan sebesar 32 persen. USTR kini menunggu proposal negosiasi konkret dari Indonesia terkait tarif tersebut. Upaya tersebut diharapkan bisa mendapat respons yang baik.

Airlangga menjelaskan, tarif resiprokal yang dikenakan kepada Indonesia masih lebih rendah dibanding beberapa negara ASEAN. ’’Pengenaan yang lebih tinggi diterapkan pada Vietnam, Kamboja dan Thailand. Yang lebih rendah dari kita adalah Malaysia, Filipina dan Singapura,’’ paparnya.

Dia mengakui, salah satu sektor yang terdampak adalah foot and apparel. Namun, Airlangga masih optimistis. Sebab, negara kompetitor Indonesia di sektor itu mendapat bea masuk AS yang lebih tinggi. ’’Bagi kami ini another kesempatan,’’ katanya.

Dia juga mengatakan bahwa para menteri perdagangan ASEAN akan bertemu pada 10 April. ’’Tujuannya untuk mengakalibrasi sikap bersama ASEAN. Yang jelas, kami semua sepakat mengambil langkah negosiasi, bukan retaliasi,’’ tegasnya.

Stabilkan Rupiah, BI Lakukan Intervensi

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) makin tertekan. Merujuk Bloomberg Market Spot Rate, Rupiah berada di level Rp 16.821,5 per USD pada pukul 15.22 WIB, kemarin. Karena itu, Bank Indonesia (BI) memutuskan melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas di pasar.

Keputusan untuk melakukan intervensi itu disepakati dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Senin kemarin. Intervensi dilakukan di pasar off-shore atau non deliverable forward (NDF).

Kebijakan tarif resiprokal pemerintah AS, Rabu (2/4) lalu dan respons retaliasi dari Tiongkok dua hari setelahnya menimbulkan gejolak pasar keuangan global. Termasuk arus modal keluar dan tingginya tekanan pelemahan nilai tukar di banyak negara, khususnya emerging market.  "Tekanan terhadap nilai tukar rupiah telah terjadi di pasar off-shore di tengah libur panjang pasar domestik," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso.

Intervensi NDF, lanjut dia, dilakukan secara berkesinambungan di pasar Asia, Eropa dan New York. BI juga akan melakukan intervensi secara agresif di pasar domestik sejak awal pembukaan hari ini, Selasa (8/4). Caranya dengan intervensi di pasar valas pada transaksi spot maupun domestic non-deliverable forward (DNDF) serta pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.

Bank sentral juga akan melakukan optimalisasi instrumen likuiditas rupiah. Tujuannya untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan dalam negeri. "Serangkaian langkah Bank Indonesia ditujukan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah serta menjaga kepercayaan pelaku pasar dan investor terhadap Indonesia," ujar Denny.

Namun, menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Intervensi di pasar off-shore atau NDF tidak akan efektif menstabilkan nilai tukar rupiah. Sebab, pasar NDF dipenuhi oleh trader spekulan. Tidak mencerminkan pergerakan riil nilai tukar rupiah. "Karena off-shore di luar jurisdiksi regulasi BI. Ibarat menggarami air laut saja," ujar Bhima kepada Jawa Pos (grup Timex).

Seharusnya, lanjut Bhima, Bank Sentral menyiapkan amunisi cadangan devisa (cadev) untuk mengintervensi nilai tukar rupiah. Fokus ke pasar yang berada dalam jurisdiksi BI. Untuk mencegah rupiah melemah lebih jauh dan menembus level Rp 17.500 per USD, estimasinya memerlukan cadangan devisa sekitar USD 20 miliar. "Fokus di situ dulu sambil mencermati pergerakan pasar pascapembukaan bursa efek," ujar lulusan University of Bradford itu.

Pasar Saham Global Anjlok

Pasar saham global mengalami penurunan tajam, Senin (7/4). Bursa Asia memimpin kerugian besar setelah Tiongkok membalas kebijakan tarif Trump.

Indeks Hang Seng di Hong Kong anjlok lebih dari 13 persen. Penurunan ini tercatat sebagai yang terbesar sejak krisis keuangan Asia pada 1997. Di Jepang, indeks Nikkei 225 juga turun hingga 7,8 persen. Hal ini menambah kekhawatiran investor di seluruh dunia.

Aksi jual besar-besaran ini dipicu oleh pengumuman Tiongkok pada Jumat lalu yang akan mengenakan tarif balasan sebesar 34 persen pada barang-barang dari Amerika mulai 10 April. Langkah ini semakin memperburuk ketegangan dalam perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun.

Wakil Menteri Perdagangan China, Ling Ji, menyatakan bahwa tarif yang dikenakan Beijing bertujuan membawa Amerika Serikat kembali ke jalur yang benar dalam sistem perdagangan multilateral. "Akar penyebab masalah tarif terletak di Amerika Serikat," kata Ling kepada perwakilan perusahaan Amerika Serikat seperti dilansir dari AFP.

Bursa saham Eropa juga mengalami tekanan, dengan indeks DAX Frankfurt merosot lebih dari 10 persen. Sementara itu, bursa Paris dan London masing-masing turun lebih dari 5 persen. Harga minyak juga anjlok hingga di bawah USD 60 per barel.

Kerugian besar juga terjadi di bursa Asia Tenggara. Singapura, Seoul dan Shanghai mengalami penurunan signifikan. Sektor teknologi pun terkena dampak besar. Raksasa e-commerce dari Tiongkok, Alibaba, sahamnya turun 18 persen. Lalu SoftBank serta Sony masing-masing merosot lebih dari 10 persen.

Ekonom memproyeksikan bahwa kebijakan tarif ini dapat memicu resesi di AS. Dampaknya tentu saja akan merembet ke Tiongkok. “Jika terjadi resesi di AS, tentu saja Tiongkok juga akan merasakannya karena permintaan terhadap barang-barangnya akan terpukul lebih keras,” kata Kepala Ekonom Asia Pasifik Moody's Analytics Steve  Cochrane.

Banyak pihak memperkirakan bahwa konsumen AS akan merasakan dampak langsung. Namun, Washington menampik hal itu. "Saya tidak berpikir akan ada dampak besar pada konsumen di AS," kata Kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih Kevin Hassett.

Dengan proyeksi resesi yang semakin nyata, perhatian kini beralih pada langkah selanjutnya yang akan diambil oleh The Federal Reserve. Banyak yang memperkirakan bahwa bank sentral AS akan segera menurunkan suku bunga untuk meredakan ketegangan ekonomi. (dee/far/oni/han/lyn/jpg/ays/dek)

  • Bagikan