Oleh: Yomiani Radja, ST *)
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia mengenang sosok Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi perempuan yang melampaui zamannya. Kartini bukan sekadar simbol perjuangan kesetaraan gender, melainkan juga pelita yang menyala dalam kegelapan panjang diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Namun dalam konteks hari ini, perjuangan Kartini tidak berhenti pada perempuan secara umum. Api perjuangan itu kini menyala dalam semangat para perempuan penyandang disabilitas yang terus menembus batas, mengatasi stigma, dan menantang dunia yang sering kali belum sepenuhnya ramah bagi mereka.
Melihat Disabilitas dari Kacamata Keadilan Sosial
Perempuan penyandang disabilitas sering menghadapi tantangan ganda, bahkan berlapis. Mereka tidak hanya harus menghadapi diskriminasi berbasis gender, tetapi juga stigma sosial terhadap disabilitas. Banyak dari mereka yang masih dikerdilkan kemampuannya, dibatasi ruang geraknya, dan tidak dlibatkan dalam pertemuan-pertemuan seperti rapat keluarga, pertemuan kelompok adat, pertemuan di level masyarakat maupun gereja dan lain sebagainya tentang pemberdayaan perempuan penyandang disabilitas. Padahal, mereka adalah bagian dari masyarakat yang memiliki potensi, aspirasi, dan hak yang sama untuk berkembang.
Penyandang disabilitas bukanlah kelemahan atau hambatan, namum mereka adalah bagian dari keragaman manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Imago Dei). Namun selama masyarakat masih melihat perempuan penyandang disabilitas sebagai beban keluarga, beban masyarakat, beban gereja, dan beban pemerintah, maka selama itu pula perempuan penyandang disabilitas harus terus berjuang lebih keras untuk mendapatkan akses terhadap layanan Administrasi dan Kependudukan (AdminDuk) Pendidikan, Pekerjaan, Kesehatan, dan hak-hak dasar lainnya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Perempuan Disabilitas di Tengah Keterbatasan Akses
Dalam banyak kasus, hambatan utama perempuan penyandang disabilitas bukan terletak pada hambatan fisik, sensorik, mental, dan intelektual semata. Melainkan juga pada hambatan-hambatan lain, seperti hambatan sikap dari keluarga bahwa penyandang disabilitas itu aib bagi keluarga, memiiki anak dengan disabilitas akibat kutukan/dosa orang tua, dan lain sebagainya. Selain itu juga ada hambatan lingkungan seperti masih kurangnya sarana prasarana jalan landai dan toilet di ruang-ruang publik, penyediaan akomodasi yang layak seperti penerjah Bahasa Isyarat, maupun hambatan seperti institusional/kebijakaan antara lain seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Kepala Daerah dan sebagainya.
Sekolah yang tidak memiliki guru atau kurikulum yang inklusif, transportasi umum yang tidak ramah disabilitas, tempat kerja yang diskriminatif, dan minimnya representasi di ruang publik menjadi dinding-dinding tak kasat mata yang membatasi langkah mereka.
Bayangkan seorang perempuan dengan disabilitas fisik yang harus menempuh pendidikan tinggi, namun kampusnya tidak memiliki aksesibilitas seperti jalan landai, lift, atau toilet khusus. Atau seorang ibu tunggal penyandang disabilitas yang harus bekerja, tetapi tidak ada transportasi umum yang bisa ia gunakan secara mandiri. Tantangan-tantangan ini nyata dan sering kali diabaikan oleh kebijakan publik.
Namun, justru dalam ketidaknyamanan itulah semangat Kartini tumbuh kembali—melalui mereka yang tak mau menyerah, yang terus bergerak, dan yang mengubah kesunyian menjadi keberanian. Sinergitas terbangun melalui Pemerintah, LSM/NGO, Masyarakat, lembaga agama serta organisasi penyandang disabilitas lainnya.
Perempuan Disabilitas sebagai Agen Perubahan
Banyak perempuan penyanda disabilitas di Indonesia yang telah membuktikan bahwa hambatan fisi, sensorik, mental dan intelektual tidak pernah menjadi penghalang untuk memberi dampak. Mereka menjadi aktivis, pengusaha, pemimpin komunitas, seniman, guru, dan ibu yang menginspirasi.
Sebut saja Angkie Yudistia, seorang perempuan tuli yang kini menjadi Staf Khusus Presiden. Ia membuktikan bahwa suara bisa disampaikan tanpa bunyi, bahwa pengaruh tidak selalu harus disertai suara yang terdengar. Dengan kiprahnya, ia mendorong lahirnya kebijakan yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas.
Ada pula nama-nama seperti Yafas Lay, Elmi Ismau, Dinna Noach, Yanni Nunuhitu, Nita Baitanu, mereka adalah penyandang disabilitas fisik yang berkolaborasi bersama Berti Malingara (non disabilitas) mendriikan organisasi di Kupang bernama Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN) NTT pada 14 Februari 2020. Saya pun telah bergabung di organisasi ini sejak 2023.
Organisasi ini memiliki impian untuk membangun solidaritas dengan semangat inklusi untuk bergerak memperjuangkan kesetaraan hak-hak penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan di provinsi NTT. GARAMIN sudah bertumbuh dan berkembang selama kurang lebih 12 tahun melalui aksi-aksi nyata di lapangan, hal ini membuktikan bahwa penyandang disabilitas bisa berdaya, mandiri dan memperk dan menginspirasi banyak perempuan lainnya untuk berdamai dengan tubuh dan keadaan mereka. Kisah-kisah ini bukan sekadar cerita inspiratif. Mereka adalah bukti nyata bahwa perempuan disabilitas bukan objek belas kasihan, melainkan subjek perubahan sosial yang perlu didukung, didengar, dan diberdayakan.
Mewarisi Api Kartini
Perjuangan Kartini dimulai dari pena dan pemikiran. Ia melawan ketidakadilan melalui surat-suratnya, menyuarakan keresahan atas budaya patriarki yang mengekang perempuan. Hari ini, perempuan penyandang disabilitas melanjutkan warisan itu dengan cara mereka sendiri. Ada yang menulis blog, ada yang berbicara di forum-forum, menjadi aktivis, ada yag terlibat dalam pelayanan di gereja, ada yang membuat konten digital, ada pula yang berjuang secara diam-diam dalam kehidupan sehari-hari.
Mewarisi api Kartini berarti meneruskan semangat untuk melawan ketidakadilan. Artinya, kita tidak boleh tinggal diam melihat perempuan penyandang disabilitas masih mengalami perlakuan diskriminatif. Kita harus membuka ruang, menciptakan lingkungan yang ramah, serta mendorong regulasi yang berpihak pada kelompok rentan. Lebih dari sekadar memperingati, Hari Kartini seharusnya menjadi momentum refleksi: sudah sejauh mana perjuangan kita untuk menjadikan Indonesia sebagai rumah yang adil bagi semua, tanpa kecuali?
Menuju Masyarakat yang Inklusif
Kita membutuhkan perubahan paradigma dan terminology Penyandang Disabilitas tidak boleh lagi dilihat sebagai “kekurangan”, tidak agi disebut sebagai orang “cacat”, “orang sakit” tetapi sebagai bagian dari keberagaman manusia. Kita membutuhkan kurikulum yang inklusif, wadah yang menampung aspirasi, media yang representatif, arsitektur yang aksesibel, serta kebijakan yang berpihak. Dalam proses menuju masyarakat inklusif ini, suara perempuan penyandang disabilitas harus didengarkan dan ditindaklanjuti. Bukan hanya sebagai penerima kebijakan dan objek pembangunan, tetapi juga sebagai subjek pembangunan, penyusun dan penggeraknya. Kita perlu melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Karena tidak ada yang lebih tahu kebutuhan penyandang disabilitas selain mereka sendiri.
Cahaya dari Api yang Tak Pernah Padam
Api yang dinyalakan Kartini tidak padam. Ia berpindah dari tangan ke tangan, dari generasi ke generasi. Dan hari ini, api itu menyala di mata perempuan penyandang disabilitas yang terus melangkah, meski dunia tak selalu memberi jalan. Mereka bukan hanya penerus Kartini. Mereka adalah Kartini itu sendiri—yang memilih melawan dalam diam, yang berdiri dalam keterbatasan, dan yang menyala dalam kegelapan. Sudah saatnya kita mengubah cara kita memandang perempuan penyandang disabilitas. Bukan sebagai “yang perlu dikasihani”, tetapi sebagai inspirasi, pemimpin, dan bagian tak terpisahkan dari masa depan bangsa. Karena seperti yang pernah ditulis Kartini: “Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.” Selamat Memperingati Hari Kartini tahun 2025, Salam Inklusi.
*) Senior Friends GMKI